Alhamdulillah Puji puja
dan sukurku tak henti-hentinya
kepada pemilik alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan
penyayang setiap makhluknya,
maha adil, maha bijaksana, maha
pengampun hambanya yang kembali kepadanya. Sholawat dan Salam Allah, Malaikat dan semua
makhluk, tetap tercurah tanpa henti-hentinya kepada makhluk yang paling mulia, kekasih raja
alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta keluarga, para sohabat,
tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikuti mereka hingga Akhir alam
ini.
Telah dibuktikan
didalam kitab-kitab para Imam
walaupun ada perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat
bahwa para imam tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram, seperti perkataan
mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram)”, juga
“bid’ah ghairu mustahibbah
(bid’ah yang tidak dianjurkan)”
maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah
munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya.
Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah
bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan
untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan
haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan penetapannya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah,
mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut,
melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah
tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan
terlihat/dapat
disimpulkan status hukum untuk
perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib,
sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus
ditetapkan status hukumnya.
Nikah pun yang jelas-jelas
sunnah Rasulullah, tidak serta
merta dihukumi wajib tergantung
kondisi dan situasinya. Oleh
karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam
menetapkan hukum :
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan
menyebutnya sebagai “bid’ah
makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum
makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)” ; Jika masuk pada
kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya
mubah)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan
menyebutnya sebagai “bid’ah
mustahabbah (bid’ah yang
hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai
“bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Sebagaimana Imam
an-Nawawi menyebutkan didalam
al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة
ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة
والمبتدعين وشبه ذلك ومن المندوبة تصنيف
كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن المباح التبسط في ألوان الأطعمة وغير
ذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء
واللغات
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum)
yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub),
muharramah (bid’ah yang haram),
makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”, diantara
bid’abh yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah
orang-orang atheis, ahli bid’ah
dan seumpamanya; diantara bid’ah
mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun madrasah
dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara bid’ah yang mubah adalah
mengkreasi
macam-macam makanan dan yang
lainnya, sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah
jelas dan telah dijelaskan
permasalahannya dengan dalil yang
rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal Lughaat” [1]
Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang
menjelaskan lebih rinci lagi tentang
pembagian bid’ah tersebut :
قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه في أنواع
العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في آخر كتاب
“القواعد”: البدعة منقسمة إلى:
واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة، ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على
قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة،
أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة
منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى وكلام رسول الله – صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى حفظها إلا
بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني حفظ غريب الكتاب والسنة في اللغة،
الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه، الرابع الكلام في الجرح والتعديل، وتمييز
الصحيح من السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد
على المتعين ولا يتأتى ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب
القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة، وللبدع
المندوبة أمثلة منها إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول،
ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال
إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة المساجد، وتزويق
المصاحف، وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح والعصر، ومنها: التوسع في
اللذيذ من المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.
وقد يختلف في بعض ذلك فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن
المفعولة في عهد رسول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فما بعده، وذلك
كالاستعاذة في الصلاة والبسملة هذا آخر
كلامه
“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir
kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram,
mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode yang demikian untuk
memaparkan bid’ah
berdasarkan
kaidah-kaidah syari’ah, sehingga
1. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
2. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah
muharramah,
3. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
4. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
5. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.
Diantara contohnya masing-masing adalah ;
1. Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa
paham firman-firman Allah Ta’ala
dan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam,
itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga
kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali
dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan
as-Sunnah, mencatat
(membukukan) ilmu
ushuluddin dan ushul fiqh,
perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah
syariah menunjukkan bahwa menjaga
syariah adalah fardlu kifayah”.
2. Bid’ah Muharramah
seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang
wajib (bid’ah wajibah).
3. Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun
tempat-tempat rubath dan
madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam,
diantaranya adalah
(pelaknasaan) shalat tarawih,
perkataan pada detik-detik
tashawuf, dan lain sebagainya.
4. Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain
sebagainya.
5. Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan
‘asar, jenis-jenis makanan dan
minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian
‘ulama ada yang memasukkan pada
bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya
memasukkan perkara sunnah yang
dilakukan pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam
dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan
beliau. “ [2]
Kesimpulannya sudah
jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau
terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak
bertentangan dengan syariat
Islam, diistilahkan dengan
bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang bertentangan dengan syariat Islam, di
istilahkan dengan bid’ah yang
buruk. al-Imam asy-Syafi’i
rahimahullah pernah
mengatakan
sebagaimana
disebutkan olah
al-Muhaddits
al-Baihaqi :
أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب , ثنا
الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان:
أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه لبدعة الضلالة.
والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا , فهذه محدثة غير مذمومة وقد
قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان: «نعمت البدعة هذه» يعني أنها محدثة لم تكن
, وإن كانت فليس فيها رد لما مضى
“Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub,
telah menceritakan kepada kami
ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : perkara baru
(muhdatsaat) itu terbagi menjadi
menjadi dua bagian :
1. Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini termasuk perkara
baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini perkara baru
(muhdats) yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata tentang shalat pada bulan Ramadhan
(shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”, yakni perkara muhdats
yang tidak ada sebelumnya,
walaupun keberadaannya tidaklah
bertentangan dengan
sebelumnya. [3]
Contoh-contoh semacam
ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca
perkataan ulama syafi’iyah juga
mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam
tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab lainnya, sehingga
menyebutnya bukan sebagai bid’ah
melainkan sebagai maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara
memahaminya pun berbeda walaupun
esensinya sebenarnya sama yaitu
sama-sama para ‘ulama menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang
sebenarnya terjadi, bukan
seperti kalangan yang selalu menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti
pemahaman mereka itu.
LANJUT MASALAH BID’AH
Pembahasan bid’ah
adalah sebenarnya
pembahasan “usang” yang selalu
di gembar-gemborkan oleh
beberapa kalangan hingga akhirnya menimbulkan keresahan diantara kaum Muslimin dengan berbagai
tudingan yang sebenarnya
bermuara pada perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah. Misalnya
seperti kalangan ulama menolak pembagian bid’ah hasanah,
hakikatnya adalah tidak menerima
penyebutan bid’ah terhadap
masalah yang masih di naungi oleh keumuman nas atau masalah yang masih ada
asalnya dari al-Qur’an,
as—Sunnah, Ijma’, Qiyas, Mashlahah
Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya, sehingga menurut mereka, yang
seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada nasnya (walaupun nas-nya
umum).
Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka
menganggap bahwa perkara
tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa
Rasulullah yang perlu di di
tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi al-Qur’an dan As-Sunnah atau
masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti itu perkara baru yang baik. Hal
ini juga didasarkan pada
ungkapan Sayyidina ‘Umar yaitu “ni’amatul bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang
dari sini kemudian muncul istilah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau
bid’ah hudaa dan lain sebagainya. Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda antara
perkara yang ada pasa masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan yang tidak. Imam an-Nawawi
rahimahullah didalam al-Majmu’
juga menjelaskan :
(قوله) صلى الله عليه وسلم ” كل بدعة ضلالة ” هذا من العام المخصوص لأن
البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق قال العلماء وهي خمسة أقسام واجبة ومندوبة
ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الأسماء
واللغات
“Sabda Nabi shallallahu
‘alayhi wa salam “setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, ini bagian dari ‘amun
makhshush, karena
sesunggguhnya bid’ah adalah
setiap perkara yang dilakukan atas tidak adanya contoh
sebelumnya, ulama juga berkata :
bid’ah terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah, dan sungguh telah aku
sebutkan contoh-contohnya dan telah
aku jelaskan didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal Lughaat”. [4]
Disini Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits “kullu bid’atin dlalalah” sebagai
bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususkan) oleh hadits-hadits lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi
takhsish terhadapnya adalah
sebagaimana yang telah beliau
sebutkan penjelasannya didalam Syarh
Shahih Imam Muslim :
وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة
ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب
صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة
ومباحة
Dan dalam hadits ini (man sanna fil Islam) [5] merupakan takhsish
terhadap sabda Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam “setiap perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah dlalalah (sesat)”, sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah
perkara-perkara baru yang bathil
dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah berlalu penjelasan masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami
telah menuturkan disana bahwa
bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah”. [6]
Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah sayyi’ah pada
hadits “man sanna fil Islam” sebenarnya merupakan bid’ah yang buruk, karena
mensunnahkan atau
mencetuskan sesuatu baru yang
buruk didalam Islam. Adapun para sahabat Nabi sendiri,
mensunnahkan atau
mencetuskan sesuatu yang baik
Islam. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksudkan pada hadits yang masih umum tersebut adalah bid’ah
madzmumah atau perkara muhdats yang bathil.
Pendefinisian Bid’ah
Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh
sebelumnya,
أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق
“setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh
sebelumnya” [7]
dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau
mendefinisikan :
بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله – صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة
“Bid’ah didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa
Rasulullah shalullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu
terbagi menjadi hasanah dan qabihah”. [8]
Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam
mendefinisikan bid’ah sebagai berikut
:
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -. وهي
منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة،
والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam,
dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan
metode dalam mengetahui
pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”. [9]
Berdasarkan definisi
ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang tidak ada pada masa
Rasulullah maka itu dinamakan
sebagai bid’ah. Sehingga apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi
pasca wafatnya Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu di ketahui,
bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat
merupakan orang-orang yang
mendapatkan petunjuk sehingga
perkara baru yang mereka lakukan walaupun kadang terjadi
perselisihan diantara mereka
tetap saja disebut sebagai sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. [10] Sunnah yang dimaksud adalah
sunnah dalam pengertian
kebiasaan umum bukan khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam
baik berupa perkataan, perbuatan
maupun taqrir beliau.
Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda tergantung dari sudut pandang apa mereka
mendefinisikannya, sehingga
nantinya cara memahami pun akan terjadi perbedaan namun pada
hakikatnya
sebenarnya sama. [11]
[1] Lihat : syarah Shahih Muslim lil-Imam an-Nawawi
[6/154-155].
[2] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat lil-Imam an-Nawawi [3/22-23] ;
Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam [2/ 204]
[3] Lihat : al-Madkhal
ilaa Sunanil Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [253] ; disebutkan juga didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/23]
[4] Lihat ; al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[5] Hadits yang dimaksud adalah (HR. Musim 4/2059).
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ،
كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ
فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa
mensunnahkan/mencetuskan (sanna) didalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang
baik) kemudian orang setelahnya
mengamalkannya, niscaya ditulis
baginya seumpama pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sesuatu pun dari pahala mereka, dan
barangsiapa yang
mensunnahkan/mencetuskan (sanna) didalam Islam sunnah sayyi’ah (sunnah
yang buruk) kemudian orang setelahnya mengamalkanya, maka ditulis atasnya seumpama dosa orang yang
mengamalkannya, tanpa
mengurangi sesuatu pun dari dosa
mereka”.
[6] Lihat : al-Minhaj syarh Shahih Muslim [7/104] Imam Nawawi
[7] Lihat : al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[8] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/22] Imam an-Nawawi
[9] Lihat : Qawaidul Ahkaam lil-Imam ‘Izzuddin bin
‘Abdissalam [2/204].
[10] Maksud dari bid’ah yang hakikatnya sunnah yaitu ; karena perkara tersebut tidak
dilakukan pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa salam,
namun hanya dilakukan pada masa setelah Rasulullah. Contohnya seperti pelaksanaan shalat tarawih. Shalat Tawarih adalah perbuatan
(sunnah) Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam,
namun Rasulullah
meninggalkannya dan para sahabat
juga tidak berjama’ah (shalat
tarawih berkumpul) pada
pelaksaan shalat tarawih tersebut, bahkan tidak ada pada masa Sayyidina Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Maka, karena
tidak ada masa Rasulullah,
pelaksanaan tarawih dengan cara
berjama’ah tersebut dinamakan
sebagai bid’ah yaitu ni’amatul bid’ah (sebaik-baiknya bid’ah). Haqiqatnya adalah sunnah, berdasarkan sabda Nabi tentang sunnah Khulafaur Rasyidin.
Didalam Lisanul ‘Arab [ [8/6]
disebutkan :
قد جعل له في ذلك ثوابا فقال : من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل
بها، وقال في ضده : من سن سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها، وذلك إذا كان
في خلاف ما أمر الله به ورسوله، قال: ومن هذا النوع قول عمر، رضي الله عنه: نعمت
البدعة هذه، لما كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدحها لأن
النبي، صلى الله عليه وسلم، لم يسنها لهم، وإنما صلاها ليالي ثم تركها ولم يحافظ
عليها ولا جمع الناس لها ولا كانت في زمن أبي بكر وإنما عمر، رضي الله عنهما، جمع
الناس عليها وندبهم إليها فبهذا سماها بدعة، وهي على الحقيقة سنة لقوله، صلى الله
عليه وسلم، عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Dalam hal itu sungguh dijadikan pahala baginya, dikatakan :
“barangsiapa yang
mensunnahkan sunnah hasanah maka
baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkannya” dan perkataan kebalikannya adalah : “barangsiapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah maka baginya dosa dan dosa
orang yang mengamalkannya”, dan
itu apabila menyelisihi apa-apa
yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, juga ia berkata : dan termasuk dari ragam hal
ini yaitu ucapan Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh : “ni’matul bid’ah hadzihi
(sebaik-baiknya bid’ah adalah
ini)”, maka ketika suatu perkara termasuk dari perbuatan-perbuatan baik dan termasuk dalam perkara yang
terpuji maka dinamakan bid’ah dan terpujinya karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak mensunnah bagi mereka,
sebab beliau hanya shalat tarawih pada malamnya, kemudian
meninggalkannya dan tidak
menjaganya (tidak
melanggengkannya), tidak pula
mengumpulkan manusia, bahkan
tidak ada pada zaman Abu Bakar, namun Sayyidina ‘Umar
mengumpulkan manusia pada shalat
tarawih dan mensunnahkan
melakukannya maka dari inilah
dinamakan sebagai bid’ah, dan itu pada haqiqatnya adalah sunnah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : “hendaklah mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidiin
setelahku”. []
[11] Misalnya : al-‘Imam ‘Ayni al-Hanafi didalam ‘Umdatul Qari syarh
Shahih Bukhari [5/230] menjelaskan
:
البدعة لغة: كل شيء عمل علي غير مثال سابق، وشرعا إحداث ما لم يكن له
أصل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهي عل قسمين: بدعة ضلالة، وهي التي
ذكرنا، وبدعة حسنة: وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو
الأثر أو الإجماع
“Bid’ah dari segi lughah : setiap sesuatu amalan tanpa contoh
sebelumnya. Sedangkan dari segi
syara’ : mengada-adakan perkara
yang tidak ada asal pada perkara tersebut di masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi 2
bagian yaitu : bid’ah dlalalah, itu yang telah kami sebutkan, dan bid’ah
hasanah, yakni suatu perkara yang orang mukmin memandangnya sebagai kebaikan (hasanah) dan perkara tersebut
tidak menyelisihi al-Qur’an atau
As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’.
Berdasarkan definisi
ini, setiap perkara yang tidak ada asalnya pada masa Rasulullah maka itu bid’ah menurut segi syariat, dan
berdasarkan segi syariat pula
maka bid’ah terbagi menjadi dua yakni hasanah dan dlalalah. Pada halaman
berikutnya [25/ 37], Imam al-‘Ayni juga menyebutkan :
قوله: والبدع جمع بدعة وهي ما لم يكن له أصل في الكتاب والسنة، وقيل:
إظهار شيء لم يكن في عهد رسول الله ولا في زمن الصحابة، رضي الله تعالى
عنهم
“Bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak ada asalnya pada perkara
tersebut didalam al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dikatakan : menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa
Rasulullah dan tidak pula pada
zaman shahabat radliyallahu ta’alaa
‘anhum”.
Berdasarkan definisi
yang berbeda ini (qil), yang mana lebih longgar dalam
pendefinisiannya yaitu ; jikalau
ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bukan bid’ah, namun
apabila tidak ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bid’ah.
Jadi, definisi ini menyertakan
perbuatan yang ada masa sahabat sebagai perkara yang bukan bid’ah. Tentu saja
hal ini berdasarkan
pengertian sunnah yang umum,
bukan yang khusus (Sunnah : Qaul, Fi’il & Taqrir Nabi saja) yaitu
berdasarkan hadits ;
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ، وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Hendaklah kalian
(berpegang) atas sunnahku (Nabi
Muhammad) dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin al-Mahdiyyin, gigitlah oleh kalian dengan gigi geraham, dan
jauhilah oleh kalian perkar-perkara baru yang diada-adakan, sebab sungguh setiap perkara muhdats adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah dlalalah”
[HR. Musnad Ahmad]..