PERTANYAAN 
:
Asalamualaikum.. pengen 
tanya termasuk perbuatan dzolim orang tua kpada anak bukan? memaksa anaknya tuk 
menikah(dijodohkan) tapi si anaknya tidak mau karena punya pilihan sendiri. 
sebelumnya saya ucapkan terimakasih. [Mobat 
Kembali].
JAWABAN 
:
WA'ALAIKUM 
SALAM. Masalah 
ini ada dua pendapat yang populer di kalangan ulama fiqih :
1.Pendapat pertama : orang 
tua boleh menikahkan paksa anak gadisnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam 
Malik dan Imam Syafii serta riwayat dari Imam Ahmad. Alasan pendapat ini adalah 
hadist di atas bahwa kalau janda lebih berhak atas dirinya, maka artinya orang 
tua lebih berhak atas anak gadisnya. Kemudian juga hadist yang mengatakan 
“seorang gadis datang ke Rasulullah s.a.w. mengadu kepada Rasulullah bahwa 
ayahnya menikahkannya dengan seseorang yang ia tidak menyukainya, lalu 
Rasulullah s.a.w. memberinya pilihan (boleh melanjutkan dan boleh menolak)” (Hr. 
Abud Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad). Rasulullah memberinya pilihan, itu 
menunjukkan bahwa nikahnya sah. Ada juga riwayat hadist tersebut dengan redaksi 
“gadist walinya lah yang menikahkannya” (HR. Daraqutni).
2.Pendapat kedua : gadis dan 
janda yang baligh aqil sama sekali tidak boleh dipaksa menikah dan nikah paksa 
hukumnya tidak sah. Pendapat ini berlandas pada hadist riwayat Bukhari Muslim 
“Seorang gadis Tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya, begitu 
juga seorang janda tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya. 
Seorang sahabat bertanya “bagaimana mengetahui persetujuannya (umumnya mereka 
malu)?” Rasulullah s.a.w. menjawab “Izinnya adalah ketika ia diam dan tidak 
menolak”. Shan’ani penulis kitab Subulus Salam Syarah Bulughul Maraam bahwa 
hadist ini juga menunjukkan kaharaman nikah paksa.
· 
تَنْبِيهٌ : لِتَزْوِيجِ الْأَبِ أَوْ الْجَدِّ الْبِكْرَ بِغَيْرِ إذْنِهَا 
شُرُوطٌ : الْأَوَّلُ أَنْ لَا يَكُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ 
.
الثَّانِي 
: أَنْ يُزَوِّجَهَا مِنْ كُفْءٍ .
الثَّالِثُ 
: أَنْ يُزَوِّجَهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا .
الرَّابِعُ 
: أَنْ يَكُونَ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ .
الْخَامِسُ 
: أَنْ لَا يَكُونَ الزَّوْجُ مُعْسِرًا بِالْمَهْرِ .
السَّادِسُ 
: أَنْ لَا يُزَوِّجَهَا بِمَنْ تَتَضَرَّرُ بِمُعَاشَرَتِهِ كَأَعْمَى أَوْ شَيْخٍ 
هَرَمٍ .
السَّابِعُ 
: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهَا نُسُكٌ فَإِنَّ الزَّوْجَ يَمْنَعُهَا 
لِكَوْنِ النُّسُكِ عَلَى التَّرَاخِي وَلَهَا غَرَضٌ فِي تَعْجِيلِ بَرَاءَةِ 
ذِمَّتِهَا قَالَهُ ابْنُ الْعِمَادِ .
وَهَلْ 
هَذِهِ الشُّرُوطُ الْمَذْكُورَةُ شُرُوطٌ لِصِحَّةِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ الْإِذْنِ 
أَوْ لِجَوَازِ الْإِقْدَامِ فَقَطْ ؟ فِيهِ مَا هُوَ مُعْتَبَرٌ لِهَذَا وَمَا 
هُوَ مُعْتَبَرٌ لِذَلِكَ ، فَالْمُعْتَبَرَاتُ لِلصِّحَّةِ بِغَيْرِ الْإِذْنِ 
أَنْ لَا يَكُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلِيِّهَا عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ ، وَأَنْ 
يَكُونَ الزَّوْجُ كُفُؤًا ، وَأَنْ يَكُونَ مُوسِرًا بِحَالِ صَدَاقِهَا ، وَمَا 
عَدَا ذَلِكَ شُرُوطٌ لِجَوَازِ الْإِقْدَامِ .
قَالَ 
الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ : وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْتَبَرَ فِي الْإِجْبَارِ أَيْضًا 
انْتِفَاءُ الْعَدَاوَةِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الزَّوْجِ انْتَهَى
Kembali kepada mazhab 
Syafii yang mengatakan bahwa nikah paksa hukumnya sah, kalau ditelusuri lebih 
jauh dari kitab-kitab mazhab Syafii kita menemukan bahwa pendapat tersebut tidak 
mutlak. Artinya ada syarat-syarat tertentu yang menjadikan nikah paksa sah. 
Seperti ditegaskan dalam kitab Hasyiah Bujairami dan kitab al-Iqna’ karangan 
Khatib Al-Syarbini bahwa seorang ayah atau kakek bisa menikahkan anak gadisnya 
tanpa persetujuan dengan ketentuan sebagai berikut :
1.Tidak ada permusuhan antara 
ayah dan gadis tersebut. Artinya tidak terbukti ada unsur penganiayaan dan 
kepentingan sepihak dalam pernikahan tersebut;
2.Sang ayah menikahkanya 
dengan orang yang sepadan dengannya (kafa’ah).
3.Ayah menikahkannya dengan 
mahar mitsil (yaitu senilai mahar atau lebih mahal dari mahar yang diterima ibu 
sang gadis);
4.Mahar harus dengan valuta 
yang berlaku di negeri dimana mereka hidup;
5.Suaminya harus mampu 
membayar mahar tersebut;
6.Ayah tidak menikahkanya 
dengan seseorang yang membuat gadis tersebut menderita, misalnya seorang yang 
buta atau orang yang sudah tua;
7.Gadis tersebut belum wajib 
melaksanakan haji, karena kalau sudah wajib akan tertunda hajinya oleh 
pernikahan tersebut;
Ulama Wali Iraqi 
menambahkan satu syarat lagi, yaitu tidak ada permusuhan antara gadis dan lelaki 
yang dinikahkan dengannya. [Mujawwib : Mbah 
Jenggot II].
 
