Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

3365. INILAH HAL-HAL YANG DAPAT MENGGUGURKAN PAHALA PUASA

PERTANYAAN :

Permisi, saya mau nanya Tadz, agak VULGAR DIKIT katanya ada salah satu perbuatan yang bisa meng-CANCEL pahala ibadah Puasa, yaitu NADZARA BIS SYAHAWAT, itu maksudnya apa? apakah yang dimaksud bis syahawat? jika seorang laki-laki melihat perempuan cantik lalu dalam hatinya bilang" wah cantik banget" (namun si Mr.P tidak ereksi) apakah itu masuk kategori nadzara bis syahawat ? [Saifuddin Wong Kawool Tulungagung].

JAWABAN :

Bismillahirrohmanirrohiim. Bulan suci Ramadhan telah tiba, bulan penuh rahmat dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesempatan sangat berharga untuk meraih ampunan besar dari Allah Ta’ala dengan menjalankan ibadah puasa sebaik mungkin secara zahir dan bathin yakni dengan menjaga zahir kita dari melakukan perkara yang membatalkan puasa dan menjaga bathin kita dari perkara yang merusak pahala puasa sehingga puasa kita menjadi sempurna zahir dan bathin.

Berbicara tentang perkara yang membatalkan puasa, maka sudah maklum diketahui dalam kitab-kitab feqah yang ada dari kalangan empat mazhab seperti murtad, haid, nifas, bersetubuh, makan minum dan lainnya. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa semisal berdusta, sumpah palsu, berkata kotor, mengghibah dan semisalnya, apakah membatalkan puasa atau pahala puasa sahaja ? Seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :

خمس يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة

“ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa ; dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “.
Dan bagaimana kedudukan hadits tersebut ? Jumhur fuqaha dari mazhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah mengatakan bahwa perkara ma’shiat semacam itu tidak membatalkan puasa, kecuali imam al-Awza’i beliau mengatakan bahwa ghibah dapat membatalkan puasa dan wajib diqadhai, beliau mendasarinya salah satunya dengan dalil hadits di atas dan juga hadits berikut :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari).
Pendapat al-Awza’i dijawab oleh para ulama sebagaimana disebutkan oleh imam an-Nawawi berikut :

وأجاب أصحابنا عن هذه الأحاديث سوى الأخير بأن المراد أن كمال الصوم وفضيلته المطلوبة إنما يكون بصيانته عن اللغو والكلام الرديء لا أن الصوم يبطل به . وأما الحديث الأخير ، خمس يفطرن الصائم ” فحديث باطل لا يحتج به ، وأجاب عنه الماوردي والمتولي وغيرهما بأن المراد بطلان الثواب لا نفس الصوم

“ Para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah) menjawab tentang hadits-hadits tersebut selain hadits yang terakhir, bahwasanya yang dimaksud adalah sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut adalah dapat diperoleh dengan menjaga dari perbuatan sia-sia dan ucapan kotor, bukan puasa dapat batal dengannya. Adapun hadits terakhir yakni ; “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa “, maka hadits itu bathil tidak boleh dibuat hujjah. Maka dijawab oleh imam al-Mawardi , al-Mutawalli dan selain keduanya, bahwasanya yang dimaksud hadits itu adalah membatalkan pahala puasa bukan dzatnya puasa itu sendiri “. [kitab Al-Majmu' syarah muhadzad 6/356]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’atnya dari hadits ‘Anbasah, dan ia mengatakan hadits itu palsu. Ibnu Ma’in mengatakan, “ Sa’id seorang yang pendusta, dan dari Sa’id sampai ke Anas, semua perawinya tertuduh. Ibnu Abi Hatim mengatakan dalam kitab ‘Ilalnya, “ Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits tersbut yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dari Muhammad al-Hajjaj dari Maisarah bin Abd Rabbih dari Jaban dari Anas…maka beliau menjawab, “ Ini adalah pendusta…”. [kitab Nashbu Ar-royah 2/483]

Sedangkan imam as-Subuki menilainya dhaif meskipun maknanya sahih :

قال السبكي: وحديث خمس يفطرن الصائم الغيبة والنميمة إلى آخره ضعيف وإن صح

“ Imam as-Subuki mengatakan, “ Dan hadits “ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa, yakni ghibah, adu domba dan seterusnya adalah dhaif walaupun sahih (maknanya) “. [kitab Al-Iqna 1/220]

Dari keterangan imam Nawawi, dipahami bahwasanya ghibah dan ucapan kotor tidak membatalkan puasa, adapun hadits “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa…”, maka dijawab oleh para ulama bahwa hadits itu bathil dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan batalnya puasa. Akan tetapi, imam al-Mawardi dan imam al-mutawalli menjawab bahwa yang dimaksud hadits itu adalah perkara yang membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Artinya walaupun hadits itu dinilai bathil, namun masih bisa menerima takwil yakni bahwa yang dimaksudkan adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya itu sendiri. Dengan demikian jika ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya puasa, maka hujjahnya tertolak karena jumhur ulama sudah menetapkan berdasarkan hadits-hadits sahih bahwasanya perkara maksyiat semacam ghibah, dusta dan lainnya tidak membatlkan puasa. Namun apabila ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya pahala orang yang berpuasa, maka hal ini tidak bisa ditolak, karena imam al-Mawardi, imam al-Mutawawlli dan ulama lainnya membolehkannya dengan menerima makna takwilannya yaitu yang dimaksud adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Hal yang mendasari hal ini adalah banyaknya hadits-hadits sahih tentang bahayanya lima perkara tersebut. Ghibah, adu domba, dusta, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat memanglah haram dan wajib dijauhi walaupun tidak dalam keadaan berpuasa dari sisi menjauhi perbuatan maksyiat, dan lebih ditekankan untuk dijauhi bagi orang yang berpuasa akan tetapi dari sisi merusak pahala puasa. Maka dengan demikian di saat puasa pun lebih wajib untuk meninggalkan semua perbuatan dosa termasuk lima perkara tersebut, karena bulan puasa pahala ibadah dilipat gandakan demikian juga dosa perbuatan maksyiat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapapan dusta, perbuatan dusta dan perbuatan bodoh, maka Allah tidak perduli dengan ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukari).

Imam ash-Shan’ani mengomentarinya :

الحديثُ دليلٌ على تحريم الكذب والعملِ به، وتحريمِ السفَهِ على الصائم، وهما محرَّمان على غير الصائم ـ أيضًا ـ، إلَّا أنَّ التحريم في حقِّه آكَدُ كتأكُّد تحريم الزنا مِنَ الشيخ والخُيَلَاءِ مِنَ الفقير

“ Hadits tersebut dalil atas keharaman berdusta dan berbuat dusta dan keharaman berbuat bodoh atas orang yang berpuasa, keduanya adalah haram bagi orang yang tidak berpuasa juga, akan tetapi keharamannya bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan seperti keharaman berzina bagi seorang syaikh (tua) dan sifat sombong bagi orang yang faqir “. [kitab Subulus Salam 2/320]

Para ulama lainnya pun seperti imam Ibn Ash-Shabbagh mengomentari hadits lima perkara tersebut sebagai berikut :

وأما الخبر: فالمراد به: أنه يسقط ثوابه، حتى يصير في معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب: أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى يصير في معنى من لم يصل

“ Adapu hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah “, maka tidak ada jum’at baginya “, hadits ini tidak bermaksud sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala jum’atnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak sholat “. [kitab Al-Bayan fi Madzhabi syafi'i 3/536]

Maka tidak salah jika ada seorang ustadz yang membawakan hadits tersebut dalam konteks sebagaimana disebutkan para ulama di atas yakni menjelaskan rusaknya pahala puasa bukan puasanya itu sendiri, karena ia bukan sedang membawakan hujjah untuk menyatakan batalnya puasa sebagaimana pendapat al-Awza’i. Karena makna seperti itu (merusak pahala puasa) telah disaksikan (syawahid) oleh banyak hadits sahih lainnya, di antaranya :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)
Nabi juga bersabda :

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش

“ Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus “ (HR. Al-Hakim; sahih ‘ala syartil Bukhari).
Juga hadits :

الصائم في عبادة من حين يصبح إلى أن يُمسي ما لم يغتب، فإذا اغتاب خرق صومه

“ Orang yang berpuasa di dalam beribadah sejak pagi hingga sore hari semenjak ia tidak berghibah, jika ia berghibah maka ia telah merusak (pahala) puasanya “. [kitab Al-taisir syarah jami'is shoghir Imam munawi 2/201]. (Hadits ini diisyaratkan dhaif oleh imam as-Suyuthi)

Kesimpulannya : Puasa adalah menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lainnnya, dan juga menahan diri dari semua perkara haram yang dapat merusak kesempurnaan puasa seperti ghibah, dusta, sumpah palsu, melihat yang diharamkan dan lainnya. Walaupun maksyiat semacam itu haram dilakukan di setiap waktu dan kapanpun, akan tetapi lebih diharamkan lagi bagi orang yang berpuasa sebagaima hadits-hadits di atas supaya tidak dapat merusak pahala puasanya. Wallahu A'lam. [Ical Rizaldysantrialit].

Selain dalam kitab-kitab yang disebutkan diatas, bisa juga hal senada bisa juga dijumpai dalam kitab :
- Mirqotul Mafatih :

2014 - وعنه قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " كم من صائم ليس له من صيامه إلا الظمأ ، وكم من قائم ليس له من قيامه إلا السهر " . رواه الدارمي وذكر حديث لقيط بن صبرة في باب سنن الوضوء .
الحاشية رقم: 1
2014 - ( وعنه ) أي : أبي هريرة ( قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " كم من صائم ليس له " ) أي : حاصل أو حظ " من صيامه " أي : من أجله " إلا الظمأ " بالرفع أي : العطش ونحوه من الجوع ، واختار الظمأ بالذكر لأن مشقته أعظم " وكم من قائم " أي : في الليل " ليس له من قيامه " أي : أثر " إلا السهر " أي : ونحوه من تعب الرجل وصفار الوجه وضعف البدن ، قال الطيبي : فإن الصائم إذا لم يكن محتسبا أو لم يكن مجتنبا عن الفواحش من الزور والبهتان والغيبة ونحوها من المناهي فلا حاصل له إلا الجوع والعطش ، وإن سقط القضاء ، وكذلك الصلاة في الدار المغصوبة وأداؤها بغير جماعة بلا عذر فإنها تسقط القضاء ولا يترتب عليها الثواب اهـ . قال ابن الملك : وكذا جميع العبادات إذ لم تكن خالصة اهـ . كالحج والزكاة فإنه لا يحصل له بهما إلا خسارة المال ، وتعب البدن في المال ، والظاهر أنه أريد به المبالغة وأن النفي محمول على نفي الكمال ، أو المراد به المرائي فإنه ليس له ثواب أصلا ( رواه الدارمي ) قال ميرك : ورواه ابن ماجه ، ولفظه " رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر " ورواه النسائي وابن خزيمة في صحيحه ، والحاكم ، وقال : صحيح على شرط البخاري ، ولفظه : رب صائم حظه من الصيام الجوع والعطش ( وذكر ) بصيغة المجهول ( حديث لقيط بن صبرة ) بفتح الصاد وكسر الموحدة ، قال الطيبي : هو أبو رزين لقيط بن عامر صبرة صحابي مشهور ، وتوهم بعضهم أنهما شخصان ( في باب سنن الوضوء ) والحديث قوله بالغ في الاستنشاق إلا أن يكون صائما ، ذكره الطيبي ، وهو اعتراض من صاحب المشكاة على صاحب المصابيح وهو في محله كما لا يخفى ; لأن إيراد الحديث في الباب الموضوع للحكم السابق منه أولى .

- Musnad Abdullah Bin Mubarok :

رقم الحديث: 77
(حديث مرفوع) عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ , عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ , عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلا الْجُوعُ , وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلا السَّهَرُ " .

- Ghiza`ul Albab Fii Syarhi Mandzumatil Adab :

( فرع ) : الغيبة لا تفطر الصائم على الصحيح من المذهب فقها . قال الإمام أحمد : ويتعاهد صومه بصون لسانه من نحو غيبة كما في الإقناع وغيره .
وما ورد عن النبي صلى الله عليه وسلم من قوله { من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه } رواه البخاري وغيره . وعند ابن ماجه { من لم يدع قول الزور والجهل والعمل به } .
وقوله صلى الله عليه وسلم { ليس الصيام من الأكل والشرب إنما الصيام من اللغو والرفث } [ ص: 115 ] رواه ابن حبان وابن خزيمة في صحيحيهما .
وقوله صلى الله عليه وسلم { رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر } رواه ابن ماجه وابن خزيمة والحاكم وقال على شرطهما .

Penyampaian Yusuf Qordhowi :

س : ما حكم صائم رمضان إذا اغتاب أو كذب أو نظر إلى أجنبية بشهوة . أيصح صيامه أم يبطل ؟.
ج: الصوم النافع المقبول هو الذي يهذب النفس ، ويقوي إرادة الخير ، ويثمر التقوى المذكورة في قوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون )البقرة : 183 . والواجب على الصائم أن يكف عن كل قول أو فعل يتنافى وصومه حتى لا يكون حظه من صيامه الجوع والعطش والحرمان . وفي الحديث : ( الصيام جنة فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يجهل ، وإذا سابه أو قاتله أحد فليقل : إني صائم ) رواه الشيخان . وقال عليه السلام : ( رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر ) (رواه النسائي وابن ماجة والحاكم ، وقال : صحيح على شرط البخاري) . وقال صلوات الله عليه ( من لم يدع قول الزور والعمل به ، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه ) .( رواه البخاري وأحمد وأصحاب السنن ).. قال ابن العربي : مقتضى هذا الحديث ألا يثاب على صيامه ، ومعناه أن ثواب الصيام لا يقوم في الموازنة بإثم الزور وما ذكر معه .
ورأى ابن حزم: أن هذه الأشياء تبطل الصوم كما يبطله الطعام والشراب ، وروى عن بعض الصحابة والتابعين ما يفهم منه هذا .
ونحن - وإن لم نقبل برأي ابن حزم - نرى أن هذه المعاصي تضيع ثمرة الصيام وتفسد المقصود من شرعيته ، ومن أجل ذلك كان سلف الأمة الصالحون يهتمون بالصوم عن اللغو والحرام كما يهتمون بالصوم عن الشراب والطعام .. قال عمر رضي الله عنه : ( ليس الصيام من الشراب والطعام وحده، ولكنه من الكذب والباطل واللغو ) . وروى عن علي مثله .. وعن جابر قال: ( إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمآثم ، ودع أذى الخادم ، وليكن عليك وقار وسكينة يوم صيامك ، ولا تجعل يوم فطرك ويوم صيامك سواء ) . وقال أبو ذر لطليق بن قيس : ( إذا صمت فتحفظ ما استطعت ) ، فكان طليق إذا كان يوم صيامه دخل فلم يخرج إلا إلى صلاة . وكان أبو هريرة وأصحابه إذا صاموا جلسوا في المسجد وقالوا : نطهر صيامنا .. وعن ميمون بن مهران : ( أهون الصيام الصيام عن الطعام والشراب ) .. وأياً ما كان الأمر فللصوم أثره وثوابه ، وللغيبة والكذب ونحوه عقابها وجزاؤها عند الله ( وكل شيء عنده بمقدار )الرعد : 8 . وكل عمل بحساب وميزان( لا يضل ربي ولا ينسى )طه : 52. وتأمل هذا الحديث النبوي عن دقة الحساب الإلهي في الآخرة تجد فيه الجواب الكافي عن هذا السؤال والسؤالين قبله : روى الإمام أحمد والترمذي عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم جلس بين يديه فقال : يا رسول الله إن لي مملوكين يكذبونني ويعصونني ، وأضربهم وأشتمهم ، فكيف أنا منهم؟ . ( يعني يوم القيامة ) فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : (يحسب ما خانوك وعصوك وكذبوك ، وعقابك إياهم ، فإن كان عقابك إياهم دون ذنوبهم كان فضلا لك ، وإن كان عقابك إياهم بقدر ذنوبهم كان كفافا لا لك ولا عليك ، وإن كان عقابك فوق ذنوبهم اقتص لهم منك الفضل الذي بقى قبلك) فجعل الرجل يبكي بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ويهتف . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ماله لا يقرأ كتاب الله ؟ ( ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئاً ، وإن كان مثقال حبة من خردل أتينا بها وكفى بنا حاسبين ) الأنبياء : 47 . فقال الرجل يا رسول الله : ما أجد شيئاً خيراً من فراق هؤلاء - يعني عبيده - إني أشهدك أنهم أحرار كلهم .

http://www.qaradawi.net/

LINK ASAL :

www.fb.com/groups/piss.ktb/809013902454753/