Oleh: Zon Jonggol
Kalau kita telusuri akar permasalah an dalam dunia Islam yang timbul pada masa  sekarang, salah satu sebabnya adalah dikarenaka n para ahli ilmu (ulama)  mengikuti dan meneladani  pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah.
Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdullah bin Muhammad Ibn Taimiyyah lahir dari lingkungan  mazhab Hanbali. Ayahnya, Shihabuddi n
 bin Abdul Halim,   adalah seorang ulama Hanbali. Kakeknya, Majduddin 
bin Abdullah, juga   adalah ulama besar Hanbali. Demikian pula dengan 
pamannya, Fakhruddin    bin Abdul Salam. Dia sendiri tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama   Hanbali.
Ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama pelopor perubahan pemikiran atau pembaharua n agama (modernisa si agama) dalam  rangka membasmi pemikiran- pemikiran taklid kepada Imam Mazhab yang  empat. Sebagian besar tulisan atau kitab yang ditulisnya  tidak merujuk  kepada Imam Mazhab yang empat.
Beliau menggeraka n cara  mendalami ilmu agama lebih bersandark an dengan muthola'ah  (menelaah  kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri bermazhab  dzahiriyya h yakni berpendapa t, berfatwa, beraqidah (beri'tiqo d) selalu  berpegang pada nash secara dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan  istilah (terminolo gi) saja
Pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah diikuti oleh "murid" atau pengikutny a yang tidak pernah  bertemu muka karena masa kehidupann ya
 terpaut 350 tahun yakni ulama  Muhammad bin Abdul Wahhab , ulama yang 
dikenal mendalami ilmu agama  secara otodidak (shahafi) sebagaiman a yang dapat diketahui dari  http:// suryadhie.w ordpress.c om/2007/ 08/16/ artikel-tok oh-islam-u lama-islam /
***** awal kutipan *****
Lengkaplah   sudah ilmu yang diperlukan  oleh seorang yang pintar yang  kemudian  dikembangk an sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri)   sebagaiman a lazimnya para ulama besar Islam mengembang kan ilmu-ilmun ya.   Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutny a   untuk dapat dikembangk an dan digali sendiri oleh yang bersangkut an
***** akhir kutipan *****
Rasulullah   shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsia pa  menguraika n Al  Qur’an dengan akal pikirannya  sendiri dan merasa benar,  maka  sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan” . (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita b hadits layak disebut ahli hadits
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan  ini: “Orang yang hanya  mengambil  ilmu melalui kitab saja tanpa memperliha tkannya kepada ulama  dan tanpa  berjumpa dalam majlis-maj lis ulama, maka ia telah mengarah  pada  distorsi. Para ulama tidak menganggap nya sebagai ilmu, mereka   menyebutny a
 shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai   orang 
semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi   yang 
diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang   mempelajar i ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para   ulama, maka ia melenceng dari kebenaran.  Dengan demikian, Sanad dalam   riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindar i kesalahan   semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri  al-Jahili 10)
Selain itu ulama-ulam a yang mengikuti pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah  adalah ulama Jamaluddin  Al-Afghani  dan ulama Muhammad Abduh yang  berkecimpu ng  dalama pergerakan  (harakah) atau perpolitik an yang  membutuhka n  kendaraan organisasi , kelompok atau jama'ah minal  muslimin.
Berbeda dengan para pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang pada umumnya mengharamk an berorganis asi  atau berkelompo k atau berjama'ah  minal muslimin dan memberikan  sebutan  sebagai hizbiyyah atau hizbiyyun
Pengharama n   berorganis asi atau berkelompo k atau berjama'ah  minal muslimin pada   hakikatnya  dalam rangka menjaga kelanggeng an kekuasaan kerajaan  dinasti  Saudi karena dikhawatir kan akan timbul pemimpin informal dari   organisasi  atau kelompok.
Salah satu contoh penjelasan   hubungan pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dengan ulama Muhammad Abduh  diuraikan dalam tulisan pada  http:// www.geociti es.ws/ abu_amman/ Pembelaan.h tml
Tentang ulama Muhammad Abduh yang dapat kita ketahui sedikit tentang beliau dari percakapan  antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani  al-Syafi’i ,  dengan Syaikh Rasyid Ridha yang kami kutip dari  http:// santrigengg ong.wordpr ess.com/ 2011/07/13/ seri-kontra -wahabi-ce rdas-berma dzhabdari- %e2%80%9cb uku-pintar -berdebat- dengan-wah habi%e2%80 %9d-karya- ust-muhamm ad-idrus-r amli/
***** awal kutipan *****
Dalam mukaddimah  kitab al-’Uqud al-Lu’luiy yah fi al-Madaih al-Nabawiy yah,  Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani 
 berkata: “Ketika saya berkumpul  dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya 
berdialog dengannya tentang pribadi  Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. 
Saya berkata:
“Kalian menjadikan 
 Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan  kalian 
mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar.
Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara   kewajiban- kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama.  Sebagaiman a dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali   meninggalk an shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah  menemaniny a dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang  laki-laki yang mengundang 
 kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat  zhuhur dan ashar, tanpa ada 
uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat  saya shalat zhuhur dan 
ashar, tetapi ia tidak melakukann ya.”
Mendengar pernyataan  saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering  meninggalk an shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha  masih membelanya  dengan memberikan  jawaban: “Barangkal i madzhab beliau  membolehka n jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar) .”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya dibolehkan  dalam bepergian, 
 ketika turun hujan dan sedang sakit menurut  sebagian imam mujtahid, 
antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib  dan isya’, sebagaiman a hadits shahih dari Nabi shallallah u alaihi  wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapa t bahwa  zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena  itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan  ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal  ia mampu melakukann ya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan  fisik dan finansial,  ia seringkali  pergi ke Paris, London dan  negara-neg ara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk  menunaikan 
 ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi  tidak 
diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan  
meninggalk an salah satu rukun Islam”.
***** akhir kutipan *****
Selain itu , orang-oran g
 yang mengikuti pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah  adalah kaum liberal
 yakni mereka yang memahami Al Qur'an dan As Sunnah  sesuai semangat 
kebebasan mereka yang mereka katakan menyesuaik an dengan  kemajuan zaman
Charles Cruzman mengemukak an teori  tentang asal muasal kaum liberal dan  fundamenta lis yang berakar pada  pemikiran yang sama. Keduanya berangkat  dari kegelisaha n untuk  melakukan perubahan. 
 Bedanya adalah bahwa jika  kaum liberal melakukan  perubahan dengan 
menatap ke depan sambil membawa  masa lalu yang  relevan, sementara kaum
 fundamenta lis sepenuhnya  kembali  ke masa lalu.
Kaum fundamenta lis adalah mereka kembali ke masa lalu tanpa mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Padahal pendapat ulama Ibnu Taimiyyah telah banyak menyelisih i pendapat para  ulama terdahulu.  Sebagaiman a  bantahan  para ulama terdahulu yang dapat  diketahui contohnya dalam  tulisan pada  http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangk abawi,
 ulama besar Indonesia yang  pernah  menjadi imam, khatib dan guru besar
 di Masjidil Haram, sekaligus  Mufti  Mazhab Syafi’i pada akhir abad 
ke-19 dan awal abad ke-20  menjelaska n  dalam kitab-kita b beliau seperti ‘al-Khitht hah al-Mardhiy ah  fi Raddi fi  Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffu zh bian-Niyah ’, ‘Nur  al-Syam’at  fi  Ahkam al-Jum’ah’  bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu  Qoyyim Al  Jauziah menyelisih i pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy ) berkata ” Maka berhati-ha tilah  kamu,  jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan  muridnya  Ibnul Qoyyim Al-Jauziyy ah dan selain keduanya dari orang-oran g  yang  telah menjadikan  hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah   menyesatka nnya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan   menjdaikan  penghalang  atas pandangann ya. Maka siapakah yang mampu  memberi  petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”.  (Al-Fatawa    Al-Haditsi yyah : 203)
Begitupula  dalam kitab “Risalah  Ahlussunna h
 wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh  Hasyim Asy’ari (pendiri  pondok 
pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur  dan pendiri organisasi   Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 diterangka n sebagai  berikut:
**** awal kutipan ****
و منهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده و رشيد رضا , و يأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي , و أحمد بن تيمية و تلميذه ابن القيم و ابن عبد الهادى , فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه , و هو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه و سلم , و خالفو هم فيما ذكر و غيره , قال ابن تيميه فى فتاويه : و اذا سفر لاعتقاده أنها أي زيارة قبر النبي فلى الله عليه و سلم طاعة , كان ذلك محرما باجماع المسلمين , فصار التحريم من الأمر المقطوع به .
Sebagian lagi ada golongan yang mengikuti kepada pendapat Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho. Mereka mengikuti kepada perbuatan bid’ah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi. Golongan ini mengharamk an apa yang  telah  disepakati  oleh mayoritas umat Islam untuk dilaksanak an sebagai  sunnah  Nabi, seperti berziarah ke makam Rasulullah . Mereka menolak semua  hal  yang telah disebutkan  di atas dan hal-hal lainnya.
Ibnu Taimiyah dalam kitab “Fatawi”-n ya berpendapa t: Apabila seseorang  melakukan  ziarah ke makam Rasulullah , karena yakin bahwa ziarah itu  perbuatan  taat, ziarah yang dianggapny a menurut Ibnu Taimiyah adalah  haram yang  telah disepakati  oleh kaum muslimin, maka ziarahnya adalah  perbuatan  yang haram secara pasti.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي فى رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الاعتقاد : و هذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا و خلفا , فكانوا وصمة و ثلمة فى المسلمين و عضوا فاسدا يجب قطعه حتى لا يعدى الباقى ف…هو كالمجذوم يجب الفرار منه , فانهم فريق يلعبون بدينهم , يذمون العلماء سلفا و خلفا , و يقولون : انهم غير معصومين فلا ينبغى تقليدهم , لا فرق فى ذلك بين الأحياء و الأموات , و يطعنون عليهم و يلقون الشبهات , و يذرونها فى عيون بصائر الضعفاء لتعمى أبصارهم عن عيوب هؤلاء , يقصدون بذلك القاء العداوة و البغضاء , بحلولهم الجو و يسعون فى الأرض فسادا , يقولون على الله الكذب و هم يعلمون , , يزعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف و النهي عن المنكر , حاضون الناس على اتباع الشرع و اجتناب البدع , و الله يشهد انهم لكاذبون , قلت : و لعل وجهه أنهم من أهل البدع و الأهواء , قال القاضى عياض فى الشفاء : و كان معظم فسادهم على الدين , و قد يدخل فى أمور الدنيا بما يلقون بين المسلمين من العداوة الدينية التى تسرى لدنياهم , قال العلامة ملا على القارى فى شرحه : و قد حرم الله تعالى الخمر و الميسر لهذه العلة كما قال تعالى : انما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة و البغضاء فى الخمر و الميسر
Menurut Al-’Allama h Syeikh Muhammad  Bahit Al-Hanafi Al-Muthi’i  dalam  kitabnya yang bernama “Tathirul Fu’adi  min Danasil I’tiqod” (Mensucika n  Hati Dari Keyakinan Yang Kotor), ia  berpendapa t: “Bahwa golongan ini  merupakan cobaan besar bagi umat Islam  yang salaf (tempo dulu) maupun  yang kholaf (modern)”. 
 Mereka adalah  aib, pemecah belah umat, dan  sebagai organ yang rusak 
yang harus  dipotong, sehingga tidak menular ke  organ lainnya. Ia 
bagaikan penyakit  kusta yang harus dihindari.  Mereka  adalah golongan menjadikan  agama  sebagai permainan.  Mereka mencaci maki  ulama salaf dan ulama kholaf,  mereka sambil berkata: Mereka semuanya  tidak ma’shum (tidak terpelihar a  dari perbuatan dosa), maka tidak layak  untuk mengikutin ya dan tidak  ada bedanya yang hidup dan yang mati.
Golongan tersebut mendiskred itkan ulama dan menciptaka n  persoalan- persoalan syubhat,  kemudian menyebarka nnya secara luas ke  masyarakat  awam supaya orang  awam tidak mengerti terhadap kekuaranga n  yang ada pada golongan  tersebut. Tujuan mereka… adalah menebar  permusuhan  dan kebencian.   Mereka berkelilin g di atas muka bumi untuk  menciptaka n kerusakan.   Mereka berkata bohong tentang Allah, padahal  mereka tahu tentang hal  yang sebenarnya . Mereka berdalih sedang  melakukan “amar ma’ruf nahyi  munkar” (memerinta h kebaikan dan mencegah  kemunkaran ). Mereka mengajak  manusia mengikuti agama yang mereka  jalankan dan menjauhkan 
 bid’ah  (menurut mereka). Padahal, Allah tahu  bahwa mereka adalah para
  pendusta. Menurut pendapat saya, sangat mungkin  mereka adalah para  
pelaku bid’ah yang selalu mengikuti hawa nafsu  mereka.
Imam Qadhi ‘Iyadh berkata: Kehancuran  terbesar dalam agama sampai  urusan  dunia adalah karena ulah perbuatan mereka dengan menimbulka n  permusuhan   antar umat Islam, yang menyebabka n mereka terperangk ap dalam  masalah  urusan dunia.
***** akhir kutipan ****
Imam Ibn Hajar Al-Haitami  dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithi yyah  menisbahka n  kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu  menyesatka n  kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami  dalam kitab tersebut lalu mensyarahk an perkataan itu:
“Sesungguh nya   hadits-had its Rasulullah  shallallah u alaihi wasallam sama seperti   Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung  lafaz umum yang maknanya   khusus begitu juga sebaliknya , bahkan ada juga yang mengandung  nasikh   mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya.  Bahkan dalam hadits   juga mengandung  lafaz-lafa z
 yang dzahirnya membawa kepada tasybih   seperti hadits yanzilu Rabbuna…
 yang mana tidak diketahui maknanya   melainkan golongan fuqaha’ (ahli 
fiqh). Berbeda dengan mereka yang   sekedar mengetahui  apa yang dzahir daripada hadits-had its (khususnya    mutasyabih at) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-had its   mutasyabih at dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada   sebahagian  ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah   dan para pengikutny a.” (Al-Fatawa  Al-Hadithi yyah halaman 202)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami  dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata   dengan menukil permasalah an-permasa lahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi   kesepakata n umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapa t) bahwa   alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama   Allah. Ia telah menyandark an
 alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa  Ta’ala  bukan dengan perbuatan 
Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur  Allah  dari penyifatan  yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga  berkeyakin an  adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan  perpindaha n. Ia  juga berkeyakin an
 bahwa Allah tidak lebih kecil dan  tidak lebih besar  dari Arsy. 
Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan  keji dan buruk ini  serta 
kekufuran yang nyata
Ulama Ibnu Taimiyyah terjerumus   kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibat kan  beliau diadili oleh para  qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat  mazhab dan diputuskan  hukuman  penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak  menyebarlu askan  kesalahapa hamannya sehingga beliau wafat di penjara.
Pada hakikatnya  cara mengangkat  kembali pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah  adalah bagian dari hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman)  yang  dilancarka n oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang sebagai kaum  Zionis Yahudi
Protokol Zionis yang ketujuhbel as
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskred itkan para  ulama  non-Yahudi  (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka  menghancur kan  misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius  menghalang i misi  kita. Pengaruh mereka atas masyarakat  mereka berkurang  dari hari ke  hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama  telah  dikumandan gkan dimana-man a. Tinggal masalah waktu maka agama-agam a  itu  akan bertumbang an…..
Contoh hasutan "Padahal orang-oran g yang bersandar kepada mazhab Asy’ari dan pengikut  mazhab  yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pr ibadi yang tidak  maksum"
Imam Mazhab yang empat memang tidak maksum namun Imam Mazhab yang empat sejak dahulu kala sampai pada masa kini, telah diakui oleh jumhur ulama sebagai ulama yang berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Disamping  itu Imam Mazhab yang empat masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Jadi gerakan hasutannya  adalah agar umat Islam seluruhnya  berupaya menjadi imam mujtahid.
Padahal tidak mungkin orang awam (bukan ahli istidlal) akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau orang awam (bukan ahli istidlal)  mencoba hendak  menjadi mujtahid maka akan rusaklah agama, akan  hancurlah agama dan  akan porak porandalah  hukum-huku m agama Islam yang  suci. Ini masuk  akal.
Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam negara Hukum?
Sudah pasti tidak.
Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi hakim, maka hukum itu akan diinjak-in jaknya dan ia akan menjalanka n “Hukum Rimba”,  yang  berdasarka n siapa kuat siapa di atas.
Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-oran g  yang bertugas mengeluark an hukum dari dalam Al-Qur’an dan  Hadits, maka  orang itu harus memenuhi beberapa syarat sebagaiman a yang  disampaika n oleh KH. Muhammad Nuh Addawami
***** awal kutipan ******
a. Mengetahui  dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena  al-quran  dan as-sunnah diturunkan  Allah dan disampaika n Rasulullah   Shallallah u  ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan  balaghah yang  bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung   hukum yang  harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainy a bukan  hanya arti  bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa  arab itu  seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui 
 dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,  bagaimana  mungkin 
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan   as-Sunnah 
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d dalam al-Quran dan   as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang   masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung  di dalamnya.
c. Mengetahui  dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras  dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui  yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui  asbab  an-nuzul  dan asbab al-wurud, mengetahui  yang mutawatir dan yang ahad,  baik dalam  al-Quran maupun dalam as-Sunnah.  Mengetahui  yang sahih dan  yang  lainnya dan mengetahui  para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui  ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan,  syarat dan sarana untuk menggali   hukum-huku m dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-ma salah   ijtihadiya h padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah  Shallallah u   ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain   kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertangg ungjawabka n   kemampuann ya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya  mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk an  taqlid dan mewajibkan  ijtihad atau ittiba’ dalam arti  mengikuti  pendapat orang disertai mengetahui  dalil-dali lnya terhadap  orang awam  (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatka n  yang akan  merusak sendi-send i kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukann ya.  (lihat Hasyiyah ad-Dimyath i ‘ala syarh al- Waraqat hal 23  pada baris  ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak an dalilnya maka  dia sama saja dengan si awam yang menerima  fatwa orang yang tidak  disertai dalil yang dikemukaka n. Dalam artian  mereka sama-sama muqallid,  sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang  tanpa mengetahui  dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin   adalah seorang ahli istidlal  (mujtahid)  yang menerima pendapat orang  lain karena dia selaku ahli  istidlal dengan segala kemampuann ya  mengetahui  dalil pendapat orang  itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya   dalam istilah ushuliyyin   adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti  ijtihad mujtahid yang lain
***** akhir kutipan *****
Contohnya,  Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm ~rahimahul lah mengatakan
***** awal kutipan *****
"rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab "ijtihad" adalah mengetahui  naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah  mengetahui  nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian   khitab-khi tab atau perintah-p erintah itu amatlah mudah, yaitu hanya  dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat) dari berita-ber ita yang  ada. Demikian pula untuk menanggung  bebannya tidaklah begitu sulit  pelaksanan anya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui  bagaimana caranya mengambil kesimpulan  hukum-huku m  dari makna yang tersirat di balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara  penyelidik an yang menyangkut  nas-nas tersebut adalah mengetahui  kedua  perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan makna yang tersirat, serta  pengertian -pengertia n lain yang terkandung  di dalamnya.
Sehubungan   dengan hal yang telah disebutkan  di atas, ada sebuah atsar yang  bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritak an bahwa sahabat Ali  ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya  kepadanya "Apakah kamu mengetahui  masalah nasikh dan masukh?" Si Qadi  tadi menjaab: "Tidak". Maka Ali ra menegaskan  "Kamu adalah orang yang  celaka dan mencelakak an"
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Berikut kami kutipkan tulisan tentang tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi'i dari http:// almanar.wor dpress.com /2010/09/ 21/ tingkatan-m ufti-madzh ab-as-syaf i’i/
***** awal kutipan *****
Imam An Nawawi menyatakan  dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 
 (1/71),   mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk 
kepada   pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam 
madzhab   menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
2. Mujtahid Madzhab
3. Ashab Al Wujuh
4. Mujtahid Fatwa
5. Mufti Muqallid
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutka nnya
 sebagai mujtahid mutlaq.   Artinya, tidak terikat dengan madzhab. 
Bahkan mujtahid inilah perintis   madzhab. Tentu dalam Madzhab As 
Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As   Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri
 menyebutka n pendapat 
beberapa ulama   ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As
 Syafi’i. (lihat,   Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab , 1/72)
Keistimewa an   mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya   adalah kemampuann ya menciptaka n metode yang dianut madzhabnya .
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat)    atau dalilnya namun tetap menisbatka n kepada imam karena mengikuti   metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadza b, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah  yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani  dan  Al Buwaithi, sebagaiman a disebutkan  Nawawi Al Bantani dan Syeikh   Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyid in,   hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutka n
 bahwa   Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As
  Syafi’i  mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al 
  Muhadzadza b, 1/72)
Di kalangan muta’akhir in Imam As   Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaiman a disebutkan    Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyid in, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaiman a disebutkan  Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi  Syarh Al  Muhadzdzab , 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapa t bahwa pelarangan  taklid dari para imam tidak  bersifat  mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab , 1/72).
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi  pendapat Imam, di saat mereka mengetahui  ada hadits shahih   yang bertantang an dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa   jadi imam sengaja meninggalk an hadits walau ia shahih dikarenaka n   manshukh atau ditakhsis,  dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang   bersangkut an telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para   pengikutny a, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama   sekaliber Imam An Nawawi sekalipun.  (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al   Muhadzdzab , 1/ 99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al   Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisih i pendapat imamnya sendiri, dan hal ini   tidaklah jadi persoalan, 
 karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau   tetap memakai kaidah 
imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al   Muzani berbeda dengan 
pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah   masa nifas, Imam As 
Syafi’i berpendapa t bahwa maksimal masa nifas 60   hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah  Al   Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan  hukum yang belum disebutkan  imam dengan   menyimpulk an dan menkiyaska n (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaiman a   para mujtahid menentukan nya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupka n   diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/73)
Imam An Nawawi menyebutka n bahwa para ulama As Syafi’iyah  yang sampai pada   derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyask an   masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga,   orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya  tidak bertaklid kepada   mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al   Muhadzdzab , 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyya h di Bashrah, sebagaiman a disebutkan    Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar  Al Fawaid Al   Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-p endapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al   Muhadzdzab , 1/73)
Perlu diketahui,  dengan adanya   mufti-muft i
 yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah   banyak terjadi
 khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga   disebabkan  perbedaan kesimpulan  para ashab al wujuh terhadap pendapat   imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutka n bahwa yang berada dalam   tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai   mujtahid fatwa.(lih at, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-muft i di atasnya. Maka fatwa mufti   yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilann ya tentang madzhab dari   pendapat imam dan cabang-cab angnya yang berasal dari para mujtahid   madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi  termasuk kelompok   mufti Muqallid, walau sebagian berpendapa t bahwa mereka juga melakukan   tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan   Bughyah Al Mustarsyid in, hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluark an fatwa, kecuali   jika mereka memandang bahwa masalahnya  sama dengan apa yang nash   madzhab, boleh ia mengkiyask annya. Namun, menurut Imam Al Haramain,   kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab ,   1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisih i ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyid in, hal. 9)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinterak si dengan karya-kary a para mujtahid fatwa, yang telah   menjelaska n pendapat rajih dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyebutka n bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah   disebutkan  di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap   menisbatka n
 diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang   dikuasai 
oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum   memenuhi 
syarat di atas, maka ia telah menjerumus kan diri kepada hal   yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!
Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-n yesatkan siapa  saja yang bertaklid.  Kemudian menyerukan   untuk mentarjih pendapat sesuai  berdasarka n dalil yang ia pahami  seakan-aka n ia setingkat dengan Imam  An Nawawi, atau bahkan  menggugurk an pendapat mujtahid mustaqil dengan  berargumen , idza shahah  al hadits fahuwa madzhabi (jika suatu hadits shahih maka itulah  madzhabku) ,  seakan-aka n ia satu  level dengan Imam Al Muzani! Padahal  yang bersangkut an belum  menghatamk an dan menguasai kitab fiqih yang  paling sederhana sekalipun  dalam madzhab.
Mudah-muda han  kita terlindung 
 dari  hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk  terus mencari 
ilmu,  hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai  dimana ilmu 
yang mampu  kita serap dan kita amalkan.
***** akhir kutipan *****
Dapat kita temukan mereka mengutip perkataan Imam Syafi’i ra seperti
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku”
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisih i sunnah   Rasulullah  shallahu ‘alayhi wa sallam, maka berkatalah  dengan sunnah   Rasulullah  itu dan tinggalkan  perkataank u itu”
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkut an menemukan sebuah hadits shahih yang  menurut  pemahaman mereka bertentang an dengan pendapat mazhab Syafi’i  maka yang  bersangkut an langsung menyatakan  bahwa pendapat mazhab itu  tidak benar,  karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan  bahwa hadits shahih  adalah  mazhab beliau.
Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkut an langsung mengklaim,  bahwa ini  adalah mazhab  Syafi’i.
Al-Imam Nawawi menyebutka n dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab , tidak bisa sembarang orang mengatakan  demikian.
Al-Imam Nawawi menyebutka n beberapa syarat. “Sesungguh nya untuk hal  ini,  dibutuhkan  seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam   mazhab yang telah dijelaskan  sebelumnya , dan dan ia harus berbaik   sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai kepada hadits tersebut, atau   belum mengetahui  keshahihan  hadits itu, dan ini hanya bisa dilakukan   oleh seseorang yang telah menela’ah semua kitab-kita b milik Imam Syafi’i   dan kitab-kita b
 para sahabat yang mengambil darinya, dan syarat ini   sulit, serta 
sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini. Syarat ini   kami sebutkan
 karena, Imam Syafi’i tidak mengamalka n dhahir hadits yang   telah beliau ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatka n  hadits  itu, atau yang menasakh hadits itu, atau yang mentakhish  atau  yang  menta’wilk an hadits itu.
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan  dalam kitab-kita b  hadits jumlahnya jauh di  bawah jumlah hadits yang dikumpulka n dan  dihafal oleh Al-Hafidz  (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil  dari jumlah hadits yang  dikumpulka n dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal  300.000 hadits).  Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulka n dan dihafal  oleh Imam Mazhab  yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits  yang dikumpulka n  dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh  Abu Amru  mengatakan : ”Barang siapa menemui dari Syafi’i  sebuah hadits yang  bertentang an
 dengan mazhab beliau, jika engkau sudah  mencapai derajat  mujtahid 
mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka  silahkan mengamalka n  hal itu“
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc, .MA dalam tulisan pada  http:// www.rumahfi qih.com/ x.php?id=13 57669611&t itle=adaka h-mazhab-s alaf.htm  menuliskan
***** awal kutipan *****
Kerancuan Istilah Salaf
Istilah ‘salaf’ artinya adalah sesuatu yang lampau atau terdahulu.   Terjemahan   salaf dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-m acam, seperti  lampau,  kuno,konse rvatif, konvension al, ortodhox, klasik, antik, dan   seterusnya .
Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah salaf sebenarnya  bukan nama yang baku untuk menamakan  sebuah medote istimbath  hukum. Istilah salaf hanya menunjukka n  keterangan  tentang sebuah kurun  waktu di zaman yang sudah lampau.
Kira-kira perbanding annya begini, kalau kita ingin menyebut skala  panjang suatu  benda dalam ilmu ukur, maka kita setidaknya  mengenal ada  dua metode  ataubesara n, yaitu centimeter  dan inchi. Di Indonesia  biasanya kita  menggunaka n besaran centimeter , sedangkan di Amerika sana  biasa  orang-oran g menggunaka n ukuran inchi. Nah, tiba-tiba ada orang   menyebutka n bahwa panjangnya  meja adalah 20 ‘masa lalu’.
Lho? Apa maksudnya ’20 masa lalu’ ?
Apakah istilah ‘masa lalu’ itu adalah sebuah besaran atau ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya  pasti tidak. Yang kita  tahu  hanya besaran 20 centimeter  atau 20 inchi, tapi kalau ’20 masa  lalu’,  tidak ada seorang pun yang mengenal istilah itu.
Ya bisa saja sih segelintir  orang menggunaka n istilah besaran ‘masa   lalu’sebag ai
 besaran untuk mengukur panjang suatu benda, tetapi yang   pasti besaran
 itu bukan besaran standar yang diakui dalam dunia ilmu   ukur. Jadi 
kalau kita ketoko material bangunan, lalu kita bilang mau   beli kayu 
triplek ukuran 20 ‘masalalu’ , pasti penjaga tokonya bingung   dan dahinya berkerut 10 lipatan.
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbinc angkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah  sistem,  sebenarnya  justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya  malah di  masasalaf,  alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah SAW wafat.  Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf?  Al-Imam Malik lahirtahun   93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’ i lahir tahun  150 hijriyah dan  Al-ImamAhm ad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah.  Apakah mereka bukan  orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali  dia perlu belajar sejarah Islam terlebih  dahulu. Sebab mazhab  yang dibuangnya  itu ternyata lahirnya di masa  salaf. Justru keempat  mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah  SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin  Baz,  Utsaimin dan Al-Albani,  mereka bahkan lebih bukan salaf lagi,  tetapi  malahan orang-oran g khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya,   Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin   termasukAl -Albani,
 tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau   yang kita maksud 
dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi    istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah   menciptaka n ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak   ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptaka n
 sistem operasi. Mereka punya  banyak fatwa, mungkin ribuan,  tetapi 
semua itu levelnya cuma fatwa,  bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya   kalau kita perhatikan  metodologi  istimbath mereka yang  mengaku-ng aku  sebagai salaf, sebenarnya  metode mereka itu tidak mengacu  kepada masa  salaf. Kalau dipikir-pi kir, metode istimbah yang mereka  pakai itu lebih  cenderung kepada mazhab Dzhahiriya h. Karena kebanyakan   mereka berfatwa  hanya dengan menggunaka n nash secara Dzhahirnya  saja.
Mereka tidak menggunaka n metode istimbath hukum yang justru sudah  baku,  seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, 
 mafhum dan   manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai 
tidak mengerti   adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus 
dengan adanya nash   yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabung an dua  dalil atau lebih  (thariqatu l-jam’i) bila ada dalil-dali l yang sama  shahihnya,  tetapi  secara dzhahir nampak agak bertentang an. Lalu mereka  semata-mat a cuma  pakai pertimbang an mana yang derajat keshahihan nya  menurut mereka lebih  tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya  shahih, tapi  menurut mereka  kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari   lebih dalam, klaim atas keshahihan  hadits  itu keliru dan kesalahann ya
  sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena  fatwanya sudah terlanjur  
keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih.  Maka digunakanl ah metode  menshahiha n hadits yang aneh bin ajaib alias  keluar dari pakem para  ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah , apalagi dalam  mengistimb ath hukumnya. Semua terjadi  karena belum apa-apa sudah keluar  dari pakem yang sudah ada.  Seharusnya ,
 yang namanya ulama itu, belajar  dulu yang banyak tentang  metode 
kritik hadits, setelah itu belajar ilmu  ushul agar mengeti dan  tahu 
bagaimana cara melakukan istimbath hukum.  Lah ini belum punya ilmu  
yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua  orang salah, yang benar  
cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiy yah:  Marhalah  Zamaniyyah  Mubarakah,  La Mazhab Islami yang sudah diterbitka n  dalam  bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaska n   bahawasany a, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam,   sebagaiman a
 yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai   salafi, 
tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal   umat 
Islam“.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah   shallallah u alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah  mengelokka n rupa  orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia  menghafaln ya-dalam lafadz  riwayat lain: lalu dia memahami dan  menghafaln ya- kemudian dia  menyampaik annya kepada orang lain. Terkadang  orang yang membawa ilmu  agama menyampaik annya kepada orang yang lebih  paham darinya,da n  terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak  memahaminy a” (Hadits  ShahihRiwa yat Abu Dawud, at-Tirmidz i, Ibnu Majah,  ad-Darimi,  Ahmad, Ibnu  Hibban,at- Thabrani dalam al-Mu’jamu l Kabir, dan  imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya . Pada hakikatnya ,  sebagian besar yang disampaika n oleh para  perawi hadits adalah perkataan  Rasulullah  bukan hasil pemahaman atau  ijtihad dan istinbat dari para  perawi hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzd zab
 berkata “dan tidak  boleh bagi  orang awam bermazhab dengan mazhab 
salah seorang dari pada  imam-imam di  kalangan para Sahabat radhiallah u ‘anhum dan selain mereka  daripada  generasi awal,walau pun mereka lebih alim dan lebih tinggi  darajatnya   dibandingk an dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena  mereka  tidak meluangkan  masa sepenuhnya  untuk mengarang (menyusun)  ilmu  dan  meletakkan  prinsip-pr insip asas/ dasar dan furu’/ cabangnya.
 Tidak ada   salah seorang daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab 
yang   dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah 
mereka   (para sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan 
Tabien dan   kemudian melakukan usaha meletakkan  hukum-huku m sebelum berlakunya    perkara tersebut; dan bangkit menerangka n prinsip-pr insip asas/ dasar dan   furu’/ cabangilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan  selain  dari mereka berdua.”
Hal yang perlu kita ingat bahwa kitab hadits dan apa yang disampaika n  oleh ahli hadits pada  hakikatnya  sebatas meriwayatk an hadits bukan  menjelaska n terhadap  matan/ redaksi hadits.
Begitupula  kitab tafsir bil  matsur yakni menafsirka n Al Qur’an dengan  Al Qur’an, atau dengan  as-Sunnah pada hakikatnya  hanya sebatas  meriwayatk an belum menjelaska n.
Termasuk kitab Al Umm, kitab yang disusun bersama murid Imam Syafi’i adalah kitab induk atau kitab sumber atau kumpulan “bahan mentah” serupa dengan kitab hadits hanya sebatas meriwayatk an belum termasuk   penjelasan  atau hasil ijitihad dan istinbat.
Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran  negara  tersebut  terjadi diakibatka n orang-oran g yang  memaksakan  syariat Islam  bersandark an mutholaah (menelaah kitab) secara  otodidak (shahafi)   dengan akal pikirannya  masing masing sehingga timbul  perselisih an di   antara faksi.
Sebagaiman a diketahui, 
 setelah  Syarif   diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009 
lalu, faksi  pejuang   Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan
 penentang.
Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun),  Harakah Tajammu’  Al   Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi  menyatakan    dukungan kepada Syarif.
Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.
Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintah an transisi menegaskan , “Islam  adalah   dasar dalam setiap gerak pemerintah  Somalia.” Akan tetapi Syeikh   Syarif  menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya  masih jauh   dari  konsep Islam ideal
Rektor Universita s Al Ahgaff, Prof. Habib Abdullah Baharun mengatakan
***** awal kutipan *****
Di negara Somalia, sampai kini, masih terjadi pertumpaha n darah   gara-gara  ada sekte yang suka mengkafir- kafirkan
 (Jama’ah Takfir), ini   yang saya  takutkan kalau sampai terjadi di 
Indonesia . Oleh sebab itu   ada  baiknya kita juga mengaplika sikan
 apa yang pernah diucapkan oleh   Habib  Abu Bakar Al Adny, da’i 
sekaligus pemikir Islam asal kota Aden,   dalam  satu lawatannya  di Univ. Al Ahgaff, beliau berkata bahwa da’wah,   itu  yang bermanfaat  bagi umat bukan malah memecah belah umat. Menuduh    kafir, pertikaian , perdebatan  yang berlandask an hawa nafsu itu adalah    dakwah yang memicu perpecahan  dan itu yang mesti kita tanggalkan  kini.
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, “Hai si hitam.” Rasul pun mendengar dan berkata, “Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang kecuali taqwa.” Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, “Aku telah mengolokmu  dan  aku mengaku salah.” “Aku telah memaafkanm u,” kata Bilal.   “Tidak,  belum, ini wajahku kutaruh di tanah dan injaklah hingga  keluar  virus  kesombonga n dariku,” kata Abu Dzar. “Aku telah  mengampuni mu,”
 kata   Bilal. “Tidak demi Allah hatiku takkan tenang  hingga kau 
menaruh kaki   di wajahku ini, hingga penyakit ini hilang,”  kata Abu 
Dzar. Beginilah   Rasul mendidik umat la ilaha illa Allah agar  saling 
menghormat i,   toleran, tidak menyakiti dan sikap inilah yang  mesti kita   implementa sikan
 ketika bertemu dengan sesama umat la ilaha  Illa Allah,   dari sekte 
apapun. Agar dakwah untuk mengajak umat kembali  pada Allah   terus 
langgeng dan tidak mandeg gara-gara disibukkan   dengan saling jegal   antar sekte.
***** akhir kutipan *****
Kitapun dapat belajar dari apa yang dialami oleh negara kita terhadap orang-oran g yang memaksakan  syariat Islam bersandark an mutholaah    (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya  masing    masing.
Dahulu terjadi pemberonta kan yang dilakukan   oleh  mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam   Indonesia  (yang biasa disingkat DI/ TII)
 di bawah pimpinan SM.   Kartosuwiryo, yang  bermula dan berpusat di 
Jawa Barat, “tempat Negara   Islam Indonesia  diproklama sikan pada 7 Agustus 1949, gerakan ini   kemudian menyebar ke  bagian-bag ian Jawa Tengah, ke Kalimantan  Selatan,   ke Sulawesi Selatan,  dan ke Aceh.”
Berikut kutipan sebuah tulisan berjudul NU dan Pancasila karya Einar Martahan Sitompul
***** awal kutipan *****
Kartosuwir yo   adalah seorang bekas pengurus PSII dan pernah dekat dengan  pendiri   PSII Cokroamino to.(70).  Ia mempunyai latar belakang pendidikan   Barat.   “Jadi, ia bukan seorang santri dari sebuah pesantren.  Bahkan    diceritaka n orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahua n yang benar    tentang bahasa Arab dan agama Islam.“
Pemberonta kan   Darul  Islam ini bukan hanya membahayak an kesatuan negara dan ancaman   yang  serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaa n,   tetapi  juga membahayak an masa depan Islam di negara Republik Indonesia   justru  karena mengatasna makan agama Islam. Apalagi karena Kartosuwir yo    mengangkat  dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, 
 maka   kedudukan  Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam. Hal 
itu   mendorong K.H.  Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundan g
 para ulama   dari seluruh  Indonesia untuk memberi kata putus tentang 
kedudukan   Presiden Sukarno  dalam pandangan keagamaan (Islam).”
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal. Antara lain oleh karena untuk daerah-dae rah
 tertentu ummat Islam harus   melakukan pilihan  terhadap adanya “Kepala
 Negara” selain Presiden   Soekarno. Misalnya S.M.  Kartosuwir yo yang di daerah Jawa Barat menyebut   dirinya sebagai Kepala  Negara dari Negara Islam Indonesia.  Juga oleh   karena sebagai Presiden  Republik Indonesia,  Soekarno harus mengangkat    pegawai-pe gawai yang  menangani urusan-uru san yang langsung berkaitan   dengan masalah—ke agamaan  seperti wakaf, waris, pernikahan  dan   lain-lain.  Sedang dalam pandangan  ulama di Indonesia urusan-uru san itu   harus dilakukan oleh pejabat yang  berwenang yang diangkat oleh   kekuasaan yang sah dilihat dari hukum  Islam.
Pertemuan ulama yang diprakarsa i oleh K.H. Masjkur itu  berlangsun g
 di Cipanas   Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun  1954). 
Pertemuan — yang   disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim  
Ulama Se-Indones ia itu    memutuskan  memberi gelar kepada Presiden Sukarno  sebagai Waliyul Amri   Dharuri Bis Syaukati. Boland menerjemah kannya:  “pemerinta h yang   sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi  berdasar Surah 4 ayat   59).”
Menarik untuk disimak penjelasan  A.  Yusuf Ali   mengenai istilah ini dalam komentarny a tentang Surah 4: 59,  Ulu-l-amr   adalah orang-oran g yang melaksanak an kekuasaan atau tanggung  jawab atau   keputusan atau penyelesai an
 urusan. Kekuasaan yang mutlak ada  pada   Allah. Umat Allah menerima 
kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak    mengenal perbedaan yang tajam 
antara urusan yang sakral dan sekuler,    maka diharapkan  pemerintah an-pemerin tahan biasa akan melakokan    kebenaran,  berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormat i    dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada    ketertiban  dan kepatuhan. 
 Adalah sudah menjadi kenyataan di mana-mana    terdapat pemisahan yang 
tajam antara hukum dan moral, antara urusan    sekuler dan keagamaan,  sebagaiman a terjadi di berbagai negeri sekarang    ini, Islam tetap mengharapk an kekuasaan sekuler dijalankan  secara benar    ….
Keputusan ini sangat penting bagi NU khususnya dan bagi umat Islam umumnya sebab yang dihadapi pemerintah  adalah  gerakan  politik  keislaman yang menentang pemerintah an yang sedang  berkuasa.  Gelar itu  memberikan  kemantapan  atau kepastian bagi umat  Islam untuk  mematuhi  tindakan pemerintah  yang dipimpin Sukarno  terhadap DI/ TII.  Keputusan itu  makin diperlukan mengingat Masyumi  tidak tegas, bahkan  cenderung  simpati terhadap gerakan DI/TII.
***** akhir kutipan ******
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Kalau kita telusuri akar permasalah
Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdullah bin Muhammad Ibn Taimiyyah lahir dari lingkungan
Ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama pelopor perubahan pemikiran atau pembaharua
Beliau menggeraka
Pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah diikuti oleh "murid" atau pengikutny
***** awal kutipan *****
Lengkaplah
***** akhir kutipan *****
Rasulullah
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan
Selain itu ulama-ulam
Berbeda dengan para pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang pada umumnya mengharamk
Pengharama
Salah satu contoh penjelasan
Tentang ulama Muhammad Abduh yang dapat kita ketahui sedikit tentang beliau dari percakapan
***** awal kutipan *****
Dalam mukaddimah
“Kalian menjadikan
Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara
Mendengar pernyataan
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya dibolehkan
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan
***** akhir kutipan *****
Selain itu , orang-oran
Charles Cruzman mengemukak
Kaum fundamenta
Padahal pendapat ulama Ibnu Taimiyyah telah banyak menyelisih
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangk
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy
Begitupula
**** awal kutipan ****
و منهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده و رشيد رضا , و يأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي , و أحمد بن تيمية و تلميذه ابن القيم و ابن عبد الهادى , فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه , و هو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه و سلم , و خالفو هم فيما ذكر و غيره , قال ابن تيميه فى فتاويه : و اذا سفر لاعتقاده أنها أي زيارة قبر النبي فلى الله عليه و سلم طاعة , كان ذلك محرما باجماع المسلمين , فصار التحريم من الأمر المقطوع به .
Sebagian lagi ada golongan yang mengikuti kepada pendapat Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho. Mereka mengikuti kepada perbuatan bid’ah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi. Golongan ini mengharamk
Ibnu Taimiyah dalam kitab “Fatawi”-n
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي فى رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الاعتقاد : و هذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا و خلفا , فكانوا وصمة و ثلمة فى المسلمين و عضوا فاسدا يجب قطعه حتى لا يعدى الباقى ف…هو كالمجذوم يجب الفرار منه , فانهم فريق يلعبون بدينهم , يذمون العلماء سلفا و خلفا , و يقولون : انهم غير معصومين فلا ينبغى تقليدهم , لا فرق فى ذلك بين الأحياء و الأموات , و يطعنون عليهم و يلقون الشبهات , و يذرونها فى عيون بصائر الضعفاء لتعمى أبصارهم عن عيوب هؤلاء , يقصدون بذلك القاء العداوة و البغضاء , بحلولهم الجو و يسعون فى الأرض فسادا , يقولون على الله الكذب و هم يعلمون , , يزعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف و النهي عن المنكر , حاضون الناس على اتباع الشرع و اجتناب البدع , و الله يشهد انهم لكاذبون , قلت : و لعل وجهه أنهم من أهل البدع و الأهواء , قال القاضى عياض فى الشفاء : و كان معظم فسادهم على الدين , و قد يدخل فى أمور الدنيا بما يلقون بين المسلمين من العداوة الدينية التى تسرى لدنياهم , قال العلامة ملا على القارى فى شرحه : و قد حرم الله تعالى الخمر و الميسر لهذه العلة كما قال تعالى : انما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة و البغضاء فى الخمر و الميسر
Menurut Al-’Allama
Golongan tersebut mendiskred
Imam Qadhi ‘Iyadh berkata: Kehancuran
***** akhir kutipan ****
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
“Sesungguh
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
Ulama Ibnu Taimiyyah terjerumus
Pada hakikatnya
Protokol Zionis yang ketujuhbel
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskred
Contoh hasutan "Padahal orang-oran
Imam Mazhab yang empat memang tidak maksum namun Imam Mazhab yang empat sejak dahulu kala sampai pada masa kini, telah diakui oleh jumhur ulama sebagai ulama yang berkompete
Jadi gerakan hasutannya
Padahal tidak mungkin orang awam (bukan ahli istidlal) akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau orang awam (bukan ahli istidlal)
Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam negara Hukum?
Sudah pasti tidak.
Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi hakim, maka hukum itu akan diinjak-in
Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-oran
***** awal kutipan ******
a. Mengetahui
b. Mengetahui
c. Mengetahui
d. Mengetahui
e. Mengetahui
Bagi yang tidak memiliki kemampuan,
Diantara para mujtahid yang madzhabnya
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukann
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya
***** akhir kutipan *****
Contohnya,
***** awal kutipan *****
"rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab "ijtihad" adalah mengetahui
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui
Sehubungan
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Berikut kami kutipkan tulisan tentang tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi'i dari http://
***** awal kutipan *****
Imam An Nawawi menyatakan
1. Mufti Mustaqil
2. Mujtahid Madzhab
3. Ashab Al Wujuh
4. Mujtahid Fatwa
5. Mufti Muqallid
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutka
Keistimewa
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat)
Contoh ulama Syafi’iyah
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutka
Di kalangan muta’akhir
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaiman
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapa
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisih
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan
Imam An Nawawi menyebutka
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyya
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-p
Perlu diketahui,
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutka
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-muft
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluark
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisih
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinterak
Imam An Nawawi menyebutka
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!
Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-n
Mudah-muda
***** akhir kutipan *****
Dapat kita temukan mereka mengutip perkataan Imam Syafi’i ra seperti
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku”
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisih
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkut
Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkut
Al-Imam Nawawi menyebutka
Al-Imam Nawawi menyebutka
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan
Asy-Syeikh
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,
***** awal kutipan *****
Kerancuan Istilah Salaf
Istilah ‘salaf’ artinya adalah sesuatu yang lampau atau terdahulu.
Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah salaf sebenarnya
Kira-kira perbanding
Lho? Apa maksudnya ’20 masa lalu’ ?
Apakah istilah ‘masa lalu’ itu adalah sebuah besaran atau ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya
Ya bisa saja sih segelintir
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbinc
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah
Sayangnya,
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptaka
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya
Mereka tidak menggunaka
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabung
Padahal setelah dipelajari
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah
***** akhir kutipan *****
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiy
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzd
Hal yang perlu kita ingat bahwa kitab hadits dan apa yang disampaika
Begitupula
Termasuk kitab Al Umm, kitab yang disusun bersama murid Imam Syafi’i adalah kitab induk atau kitab sumber atau kumpulan “bahan mentah” serupa dengan kitab hadits hanya sebatas meriwayatk
Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran
Sebagaiman
Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun),
Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.
Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintah
Rektor Universita
***** awal kutipan *****
Di negara Somalia, sampai kini, masih terjadi pertumpaha
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, “Hai si hitam.” Rasul pun mendengar dan berkata, “Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang kecuali taqwa.” Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, “Aku telah mengolokmu
***** akhir kutipan *****
Kitapun dapat belajar dari apa yang dialami oleh negara kita terhadap orang-oran
Dahulu terjadi pemberonta
Berikut kutipan sebuah tulisan berjudul NU dan Pancasila karya Einar Martahan Sitompul
***** awal kutipan *****
Kartosuwir
Pemberonta
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal. Antara lain oleh karena untuk daerah-dae
Pertemuan ulama yang diprakarsa
Menarik untuk disimak penjelasan
Keputusan ini sangat penting bagi NU khususnya dan bagi umat Islam umumnya sebab yang dihadapi pemerintah
***** akhir kutipan ******
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830