Allah Azza wa Jalla menciptakan orang-orang yang membenci kaum muslim adalah kaum Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah
orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik” (QS
Al Maaidah [5]: 82)
Jadi kaum muslim yang membenci kaum muslim lainnya kemungkinannya adalah kaum muslim korban
hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat)
dalam rangka menghancurkan
misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas
masyarakat mereka
berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari
paham agama telah dikumandangkan
dimana-mana. Tinggal
masalah waktu maka agama-agama
itu akan bertumbangan…..
Oleh karena kebenciannya,
kaum Zionis Yahudi berupaya meruntuhkan Ukhuwah Islamiyah, salah satunya dengan mengupayakan agar kaum muslim tidak lagi
mengikuti apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat
Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama
Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai
Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan
berkesimpulan bahwa
kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Laurens mengupah
ulama-ulama yang anti
tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang
tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan
dibiayai oleh pihak orientalis.
Mereka yang termakan hasutan atau korban ghazwul fikri
(perang pemahaman)
yang dilancarkan oleh
kaum Zionis Yahudi sehingga mereka tidak mempercayai apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat dan
kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah lebih bersandarkan dengan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) yang umumnya memahami dengan makna
dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot)
dan istilah (terminologi)
saja.
Rasulullah
shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an
dengan akal pikirannya
sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu
melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya
kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang
alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif
(lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang
artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak
mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat
menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir
asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Al-Hafidz adz-Dzahabi
berkata: “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i: “Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia,
yang saling dipelajari
oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan
dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” Riwayat ini juga dikutip oleh
Ibnu Mubarak dari al-Auza’i.
Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi
kesalahan, apalagi
dimasa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya.
Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari ilmu dari para guru”
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA
dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm menuliskan
***** awal kutipan *****
Kerancuan Istilah Salaf
Istilah 'salaf' artinya adalah sesuatu yang lampau atau
terdahulu. Terjemahan salaf dalam bahasa Indonesia bisa
bermacam-macam,
seperti lampau, kuno, konservatif,
konvensional,
ortodhox, klasik, antik, dan seterusnya.
Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah
salaf sebenarnya
bukan nama yang baku untuk menamakan sebuah medote istimbath hukum.
Istilah salaf hanya menunjukkan
keterangan tentang sebuah
kurun waktu di zaman yang sudah lampau.
Kira-kira perbandingannya
begini, kalau kita ingin menyebut skala panjang suatu benda dalam
ilmu ukur, maka kita setidaknya
mengenal ada dua metode atau besaran, yaitu centimeter dan inchi. Di Indonesia biasanya kita
menggunakan besaran
centimeter, sedangkan
di Amerika sana biasa orang-orang
menggunakan ukuran
inchi. Nah, tiba-tiba ada orang menyebutkan bahwa panjangnya meja adalah 20 'masa lalu'.
Lho? Apa maksudnya '20 masa lalu' ?
Apakah istilah 'masa lalu' itu adalah sebuah besaran atau
ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya pasti tidak. Yang kita tahu hanya
besaran 20 centimeter atau
20 inchi, tapi kalau '20 masa lalu', tidak ada seorang pun yang
mengenal istilah itu.
Ya bisa saja sih segelintir orang menggunakan istilah besaran 'masa lalu' sebagai besaran
untuk mengukur panjang suatu benda, tetapi yang pasti besaran itu
bukan besaran standar yang diakui dalam dunia ilmu ukur. Jadi kalau
kita ke toko material bangunan, lalu kita bilang mau beli kayu triplek
ukuran 20 'masa lalu', pasti penjaga tokonya bingung dan dahinya
berkerut 10 lipatan.
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbincangkan
bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu
hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun
setelah Rasulullah SAW
wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik
lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi'i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad
bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan
salaf, barangkali dia
perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang
dibuangnya itu ternyata
lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real
salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau
dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena
mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz,
Utsaimin dan Al-Albani,
mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya,
Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk
Al-Albani, tak satu
pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan
manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa
mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin
fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis
file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa,
mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj
apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya
kalau kita perhatikan
metodologi istimbath
mereka yang mengaku-ngaku
sebagai salaf, sebenarnya
metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai
itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan
menggunakan nash
secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan
metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas,
mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak
kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah
dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru
turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam'i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak
bertentangan. Lalu
mereka semata-mata
cuma pakai pertimbangan
mana yang derajat keshahihannya
menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih
pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari
lebih dalam, klaim atas keshahihan
hadits itu keliru dan kesalahannya
sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur
keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar
dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena
belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang
banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul
agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah
ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua
orang salah, yang benar cuma saya seorang. Waduh, minum dimana mabok
dimana nih orang...
Bukan Salaf Tapi Taklid Kepada Ulama Dengan Sistem Tebang Pilih
Dan dalam kenyatanyaannya,
sebenarnya yang
mereka lakukan pada hakikatnya
hanyalah sekedar bertaklid buta kepada tokoh yang mereka anggap
sebagai ulama. Namun sayangnya,
ketika mereka bilang ikut para ulama, ternyata dengan cara tebang
pilih. Kalau ada ulama yang sekiranya punya pendapat cocok dengan
'selera' mereka, maka pendapatnya
itu diikuti bagaikan wahyu yang turun dari langit, sambil mencaci
maki semua ulama yang lain.
Ulama yang pandangannya
agak berbeda dengan pendapat mereka, maka tanpa ampun lagi ulama
itupun dicaci maki, bahkan dikatakan bodoh, tidak mengerti agama,
bahlul dan kadang dianggap keluar dari agama. Padahal ulama yang
mereka caci maki itu justru hidupnya di masa salaf, masa yang mereka
bangga-banggakan sebagai
masa yang paling suci dan murni. La haula wala quwwata illa billah.
Jadi mereka sih memang ikut pendapat ulama, tetapi hanya
terbatas pada ulama yang pendapatnya
sesuai dengan selera mereka sendiri saja. Kalau pendapat seorang
ulama ternyata tidak sesuai dengan selera, pendapat ulama itu pun
dibuang jauh-jauh.
Lucunya, seringkali
dalam beberapa pendapat, si ulama yang ditaklidi ini ternyata punya
pendapat yang tidak sesuai dengan 'selera' mereka, maka tulisan para
ulama ini pun disembunyikan.
Kalau perlu, mereka bisa cetak kitabnya, tetapi materi yang sekiranya
kurang sesuai dengan 'selera' mereka pun bisa dihapus.
Maka kita menemukan begitu banyak kitab para ulama dicetak
dan beredar, tetapi isinya sudah diputar-balik sedemikian rupa, sehingga seolah-olah penulisnya itu 100% cocok dengan 'selera' mereka.
Padahal yang sebenarnya
terjadi adalah kitmanul-haq,
atau setidaknya
sebuah pengkhianatan. Dalam
istilah ilmu hadits, namanya tadlis.
***** akhir kutipan *****
Jadi mazhab mereka adalah mazhab dzahiriyah yakni mereka yang menggunakan nash secara dzahirnya saja
Contoh mereka terhasut aqidah Yahudi karena bermazhab dzahiriyah
“Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad,
sesungguhnya Allah di
hari kiamat akan memegang seluruh lapisan langit dengan satu jari,
seluruh lapisan bumi dengan satu jari, gunung-gunung dan pepohonan dengan satu jari”.
Dalam satu riwayat mengatakan:
“Air dan tanah dengan satu jari, kemudian Allah menggerakan itu semua”. Maka Rasulullah tertawa, lalu bersabda dengan membaca
firmanNya yang artinya "Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah
dengan sebenar keagungan-Nya”.
(QS Az Zumar [39]:67)
Ibn Al Jawzi menjelaskan
bahwa “Tertawanya
Rasulullah dalam
hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi)
tersebut, dan sesungguhnya
kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما
قدروا الله حق قدره” ("Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan
sebenar keagungan-Nya”
(QS Az Zumar [39]:67) ) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri'tiqod
(berkeyakinan) dengan makna
dzahir maka "jari Allah" berada disetiap hati manusa
Dari 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya hati
semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang
Maha Pemurah. Allah Subhanahhu
wa Ta'ala akan memalingkan
hati manusia menurut kehendak-Nya.
(HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , "Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah
kekuasaan Allah. Ketika diungkapkan
“بين أصبعين”, artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha
berkehendak untuk
“membolak-balik” hati setiap
manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu
Salamah meceritakan
bahwa Rasulullah
shalallahu'alaihi wa
sallam memperbanyak
dalam do'anya: ALLAHUMMAA
MUQALLIBAL QULUB
TSABIT QALBI 'ALA DINIK (Ya Allah, yang membolak balikkan hati,
tetapkanlah hatiku di
atas agamamu). Ia berkata; saya berkata; "Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?"
beliau menjawab: "Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak
keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari
Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan jika Allah berkehendak, Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah;
'Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah
kami diberi petunjuk.'
Dan kami memohon kepada-Nya
supaya memberikan
kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha Pemberi'." (HR Ahmad No 25364)
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As
Sunnah dengan belajar sendiri secara otodidak (shahafi) melalui cara
muthola’ah (menelaah
kitab) dan memahaminya
dengan akal pikiran sendiri yang umumnya dengan makna dzahir,
kemungkinan besar akan
berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak
sesuai dengan apa yang disampaikan
oleh lisannya Rasulullah
shallallahu alaihi
wasallam dan ibadah yang kehilangan
ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah
Bikholqihi ,
penyerupaan Allah dengan
makhluq Nya
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan
al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati
Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang
dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal
kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat
Ibn ‘Arabi” mengatakan
“Ia (ayat-ayat
mutasyabihat) memiliki
makna-makna khusus
yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain
dan istiwa sebagaimana
makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,
bertempat), ia kafir (kufur
dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil
Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
dapat kita ketahui bahwa
- Barangsiapa
mengi’tiqadkan
(meyakinkan) bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang tersebut
hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa
mengi’tiqadkan
(meyakinkan) bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan
jisim-jisim lainnya
(tidak serupa dengan tangan makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau
orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa
sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah
ta’ala dengan sifat-sifat
benda dan anggota-anggota
badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan
dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-orang kafir
(kufur dalam i'tiqod)”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir
karena pengingkaran.
Mereka mengingkari
Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul
Faraj Abdurrahman bin
Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan
Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubah
at-tasybih bi-akaffi
at-tanzih contoh terjemahannya
pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
untuk menjelaskan
kesalahpahaman tiga ulama
Hambali yakni
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadi al-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad
al-Baghdadi
al-Hanbali, dikenal
dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali.
Lahir tahun 380 H, wafat 458 H
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghuni al-Hanbali, wafat 527 H
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat
Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله
خلق ءادم على صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah.
Kemudian mereka juga menambahkan
“al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar
bagi wajah-Nya, dua
tangan, jari-jari,
telapak tangan, jari kelingking,
jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang
kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah
memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat
disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara
indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak
seperti yang dibayangkan
dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara
yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik
dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas
menyebutkan bahwa
sifat-sifat tersebut
tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak
pernah mau melepaskan
makna sifat-sifat
tersebut dari tanda-tanda
kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas
dengan hanya mengatakan
“Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Ibn al Jawzi menjelaskan
bahwa "sesungguhnya
dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (dzahir) jika
itu dimungkinkan,
namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam
dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)".
Tuntutan takwil dengan makna majaz (bukan sembarang takwil
atau mencari-cari
takwil) timbul ketika ayat-ayat mutasyabihat jika dimaknai secara dzahir sehingga
mensifatkan Allah
dengan sifat-sifat
yang menunjuki kepada sifat baharu (huduts) atau menunjuki atas tanda
kekurangan contohnya
bertempat (dibatasi tempat), berpindah atau bergerak (dibatasi ruang
dan waktu) karena Allah ta’ala bersifat Qadim (terdahulu).
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir”
(QS Al Hadiid [57]:3)
Allah ta’ala tidak berubah.
Allah ta'ala sebagaimana
sebelum diciptakan
'Arsy , sebagaimana
setelah diciptakan 'Arsy
Allah ta'ala sebagaimana
sebelum diciptakan
ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya
Allah ta'ala sebagaimana
awalnya dan sebagaimana
akhirnya
Mereka yang terhasut berkata bahwa setiap yang ada harus
mempunyai arah dan tempat sehingga mereka beri'tiqod (berkeyakinan) bahwa Tuhan berada (bertempat) di atas 'Arsy. Arsy tidak kosong
walaupun Tuhan turun setiap malam ke langit dunia, ketika masih
tersisa sepertiga malam terakhir. Perkataan mereka "Arsy tidak kosong"
menunjukkan bahwa
Tuhan berada (bertempat)
dalam ruang di atas 'Arsy dan mempunyai bentuk sehingga "tidak kosong"
ruang di atas 'Arsy.
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah
QS. Thaha: 5 (ar-Rahman
‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh
tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia
Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Dalam kitab al-Washiyyah,
Al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Kita menetapkan
sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan
dalam pengertian bahwa
Dia bertempat di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah
membutuhkan kapada
makhluk-Nya maka
berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah
maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah
membutuhkan untuk
duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika
sebelum menciptakan
arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia
berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci
dari pada itu semua dengan kesucian yang agung”
Mereka beri'tiqod
(aqidah) bahwa Tuhan berada (bertempat) di langit atau tepatnya di atas 'Arsy
, pada umumnya dikarenakan
menjadikan hadits
kisah budak Jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami
sebagai landasan utama dalam i'tiqod.
Hadits kisah budak Jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang
diriwayatkan oleh
Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tidak bisa dijadikan landasan untuk
i’tiqod karena pertanyaan
“di mana” tidak patut disandarkan
kepada Allah ta’ala
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan
bagi-Nya di mana (pertanyaan
tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya
bagaimana“
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:
“Karena sesungguhnya
jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia
ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini?
Sebagaimana tidak
boleh juga mengalamatkan
kepada keberadaan Dzat-Nya:
Di mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur
Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada
upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi
yang mampu menggambari-Nya,
atau menolak dengan perbuatan-Nya
atau kekurangan dan
aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.
Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Hadits kisah budak Jariyah tidak diletakkan dalam bab tentang iman (i’tiqod) namun pada
bab tentang sholat.
Hal pokok yang disampaikan
oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya,
“Sesungguhnya shalat
ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah
tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Pada saat Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan kisah budak Jariyah, beliau dalam
keadaan baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja
berada di dalam kejahiliyahan
kemudian datang Islam”.
Jadi redaksi/matan
kisah budak Jariyah adalah periwayatan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami
secara pribadi yang kemungkinan
besar masih dipengaruhi
keyakinan (aqidah) kaum sebelumnya
seperti paganisme , bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit, seiring
dengan ‘alam dewa-dewa’
keyakinan non muslim.
Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi,
yang dipersepsi
berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar
cerita-cerita tentang
‘turunnya’ para
dewa-dewi, bidadari,
atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke
Bumi. Keyakinan pagan adalah keyakinan yang menyembah dewa-dewi dan
unsur-unsur alam. Di
antaranya adalah keyakinan penyembah Matahari, Bintang, Bulan,
penyembah api, penyembah pepohonan,
gunung-gunung, dan
lain sebagainya.
Pengaruh keyakinan bahwa "alam Tuhan" itu berada di langit
mengakibatkan
segelintir umat Islam
berkeyakinan
(beri'tiqod) Tuhan
berada (bertempat) di
langit (fis sama) atau di atas 'Arsy (alal 'Arsy) atau di atas
Sidratul Muntaha atau berada di alam tinggi, di atas awan sana. Di
langit seperti negeri dongeng jaman dahulu kala, yang tidak akan
pernah anda temui ketika anda naik pesawat ruang angkasa sekalipun, baik dengan teknologi pesawat ruang angkasa
pada masa kini maupun nanti.
Oleh karenanya ada di antara umat Islam yang berpendapat, untuk bertemu Allah kita harus
mengarungi jarak ke
langit, ke luar angkasa sana. Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Mi’raj. Beliau datang
ke Sidratul Muntaha itu dipersepsikan
untuk bertemu Allah. Sebab, dalam persepsi mereka, Allah itu di
langit, jauh dari kita dalam arti mempunyai jarak, ruang dan waktu.
Imam Nawawi (w. 676 H/1277
M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia
mentakwilnya agar tidak menyalahahi
Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai
pertanyaan tentang
kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa
digunakan untuk menanyakan
tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya;
“Seberapa besar pengagunganmu
kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul
kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Tentang hadits pada matan kisah budak Jariyah, berkata Imam
asy-Syafi’i –rahimahullah- :
واختلف عليه في إسناده ومتنه، وهو إن صح فكان النبي – صلى الله عليه
وسلم – خاطبها على قَدرِ معرفتها، فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا
يعتقدون في الأوثان أنها آلهة في الأرض، فأراد أن يعرف إيمانها، فقال
لها: أين اللَّه؟ حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة، فلما
قالت: في السماء، عرف أنها برئت من الأوثان، وأنها مؤمنة بالله الذي في
السماء إله وفي الأرض إله، أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب.
“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits
jariyah), dan seandainya
shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada
hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba)
dan kawan-kawan nya
sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di
bumi, maka Nabi ingin mengetahui
keimanan nya, maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila
ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala
ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan
bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit
dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam
Al-Quran”. [Lihat
Kitab Tafsir Imam asy-Syafi’i
pada surat al-Mulk -قال الله عزَّ وجلَّ: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
dan [Lihat Kitab Manaqib Imam Syafi’i jilid 1 halaman 597 karangan
Imam Baihaqqi, pada Bab
-ما يستدل به على معرفة الشَّافِعِي بأصول الكلام وصحة اعتقاده فيها- ]
Penjelasannya
واختلف عليه في إسناده ومتنه
“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya”
Maksudnya : Khususnya pada matan (redaksi) hadits Jariyah
telah banyak terjadi perbedaan pendapat ulama Hadits, baik dalam
keshohihan sanad nya
atau dalam matan nya, sepantasnya
Hadits ini ditinggalkan
bagi orang yang ingin beraqidah dengan aqidah yang selamat, karena
ketidak-jelasan status
Hadits ini.
وهو إن صح فكان النبي – صلى الله عليه وسلم – خاطبها على قَدرِ معرفتها
“dan seandainya
shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba
tersebut menurut kadar pemahaman nya”
Maksudnya : Bila ternyata Hadits Jariyah itu benar Hadits
Shohih, atau bagi orang yang menganggapnya sebagai Hadits Shohih, maka jangan
di telan mentah-mentah,
pahami dulu bagaimana maksud Nabi sesungguhnya dalam Hadits tersebut, Imam Syafi’i
mengatakan bahwa
maksud Nabi bertanya kepada hamba itu dengan pertanyaan “Dimana Allah” adalah bertanya
menurut kemampuan kepahaman hamba tersebut, artinya Nabi bertanya
“Siapa Tuhan nya” sebagaimana
didukung oleh sanad dan matan dalam riwayat yang lain, Nabi tidak
bermaksud menanyakan
arah atau tempat keberadaan
Allah.
فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدون في الأوثان أنها آلهة في
الأرض
“karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa
berhala adalah Tuhan yang ada di bumi”
Maksudnya : Cara Rasulullah bertanya untuk mengetahui status nya muslim atau non muslim
dengan pertanyaan
“Dimana Allah” adalah menyesuaikan
dan mempertimbangkan
keadaan hamba tersebut yang masih awam, karena mereka sebelum datang
Islam, mereka menyembah dan meyakini bahwa berhala yang bertempat di
bumi adalah Tuhan mereka, maka sesuailah keadaan tersebut dengan
pertanyaan Nabi “Di
mana Allah”. Sementara Allah tidak seperti Tuhan-Tuhan mereka yang bertempat.
فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟
“maka Nabi ingin mengetahui
keimanan nya, maka Nabi bertanya : Dimana Allah ?”
Maksudnya : Nabi bertanya “Dimana Allah” untuk mengetahui status keimanan hamba tersebut,
artinya Rasul bertanya siapa Tuhan yang ia imani, Nabi tidak bermaksud
bertanya di mana tempat berhala nya berada bila hamba itu seorang
penyembah berhala, dan tidak bermaksud menanyakan di mana tempat Allah berada bila
hamba tersebut percaya kepada Allah, tapi hanya menanyakan apakah ia beriman kepada Allah atau bukan.
حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة
“sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam”
Maksudnya : Mempertimbangkan
keadaan orang-orang
dimasa itu yang masih banyak menyembah berhala, maka ketika Rasul
ingin mengetahui
status hamba tersebut, Rasul bertanya dengan pertanyaan “Di mana Allah” agar mudah bagi nya
menjawab bila ia penyembah berhala, maka ia menunjukkan tempat berhala yang ia sembah, dan
otomatis diketahui bahwa ia bukan orang yang percaya kepada Allah.
فلما قالت: في السماء، عرف أنها برئت من الأوثان
“maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala”
Maksudnya : Ketika hamba itu menjawab “Di atas langit” maka
Nabi mengetahui
bahwa ia adalah bukan penyembah berhala, jawaban hamba ini juga tidak
bisa dijadikan alasan bahwa Nabi mengakui “Allah berada (bertempat) di atas langit” karena tidak ada
hubungan antara jawaban dan pertanyaan Nabi, seperti dijelaskan di atas bahwa maksud Nabi bertanya
demikian adalah ingin mengetahui
status hamba muslim atau non muslim, maka jawaban hamba ini dipahami
sesuai dengan maksud dari pertanyaan,
Nabi tidak menanyakan
apakah ia berakidah “Allah ada tanpa arah dan tempat” atau “Allah ada
di mana-mana” atau
“Allah berada (bertempat) di
atas langit” atau lain nya, bukan itu masalah nya di sini.
وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله
“dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di
langit dan Tuhan di bumi”
Maksudnya : Dan dari jawaban hamba tersebut dapat diketahui
bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit
dan Tuhan di bumi. Allah di langit bukan berarti Allah berada
(bertempat) di
langit, dan Allah di bumi bukan berarti Allah berada (bertempat) di bumi atau di mana-mana, tapi Allah adalah Tuhan sekalian alam,
baik di langit atau di bumi, makhluk di langit bertuhankan Allah, dan makhluk di bumi juga
bertuhankan Allah.
Firman Allah ta'ala yang artinya "Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan
di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (QS Az Zukhruf [43]:84]
أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب
“atau Nabi mengisyarah
dan ia mengisyarah kepada
dhohir yang datang dalam Al-Quran”
Maksudnya : Imam Syafi’i berkata kemungkinan tanya-jawab Nabi dan hamba di atas tidak pernah
ada, Nabi hanya mengisyarah
tidak bertanya dengan kata-kata,
dan hamba juga menjawab nya dengan isyarah tanpa kata, dan kata-kata
di atas hanya berasal dari perawi atau pemilik hamba yang menceritakan kejadian tersebut, maka tidak
mungkin sama sekali menjadikan
Hadits Jariyah ini sebagai landasan dalam i'tiqod.
Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali , terhadap riwayat yang
lain yang menerangkan
bahwa budak wanita ini adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki
cara lain untuk menunjukkan
ketinggian Allah Yang
Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog
ini dilakukan oleh Rasul shallallahu alaihi wasallam karena para sahabat
menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul shallallahu alaihi wasallam ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap
keyakinan sang budak, maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang disangkakan terhadapnya (Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al
I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, Hal.: 245)
Dalam al-Fiqh al-Absath,
al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ
اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن
وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di
manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat,
Dia ada sebelum segala makhluk-Nya
ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada
makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta
segala sesuatu”
al-Imam al-‘Allamah
al-Qadli Nashiruddin
ibn al-Munayyir
al-Maliki, salah
seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya
berjudul al-Muqtafa Fi
Syaraf al-Musthafa
telah menuliskan
pernyataan al-Imam Malik
bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat
al-Imam Malik bahwa Rasulullah
bersabda: “La Tufadl-dliluni
‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah
kalian melebih-lebihkan aku
di atas nabi Yunus ibn Matta).
Dalam penjelasan
hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi Yunus dalam
hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa Allah ada
tanpa tempat dan tanpa arah-.
Hal ini karena Rasulullah
diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara
nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam
-ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik
arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. artinya
satu dari lainnya tidak mempunyai jarak dan arah kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat.
Seandainya
kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”.
Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan
salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat
penjelasan ini dalam
al-Muqtafa Fi syaraf
al-Mustahafa.
Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian
pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad
Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).
Berikut penjelasan
ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad
bin Alwi Maliki. Kami kutipkan dari terjemahan kitab beliau yang aslinya berjudul “Wa
huwa bi al’ufuq al-a’la” diterjemahkan oleh Sahara publisher dengan judul
“Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa
antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu
termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan.
Meskipun Nabi shallallahu
alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau
lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam
ubudiyah (kedudukan sebagai
seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke
samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah
ta’ala dengan ciptaan-Nya,
ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu
membawa Nabi Yunus alaihissalam
sejauh perjalanan
enam ribu tahun. Hal ini disebutkan
oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi
Shallallahu walaihi
wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk
langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah
ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun
Allah Mahakuasa untuk mengangkat
beliau tanpa menggunakan
buraq.
****** akhir kutipan ******
Mi’raj dan Arah (hal 286)
****** awal kutipan *****
Ketahuilah
bahwa bolak-baliknya
Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala
pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah
subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya:
“kembalilah ke tempat
engkau bermunajat
kepada Tuhanmu. Maka kembalinya
Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat
memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau
menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah
dan tempat. Maka kembalinya
Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu
karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat
permohonan Nabi Musa
alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati
suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau
shallallahu alaihi
wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam
ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke
dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena
Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari
menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar
bin al-’Arabi al Maliki mengatakan,
‘Telah mengabarkan
kepadaku banyak dari sahabat-sahabat
kami dari Imam al-Haramain
Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia
ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia
Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab,
“Sesungguhnya Yunus
bin Matta alaihissalam
menghempaskan
dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di
dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan
selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi
Muhammad shallallahu
alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga
sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan
bermunajat kepada
Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan
apa yang Ia wahyukan kepadanya,
tidaklah Beliau shallallahu
alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa
ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada
yang tersembunyi
atasNya, keadaan mereka bagaimanapun
mereka bertindak, tanpa
ada jarak antara Dia dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam
pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih
para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain
Dia, yang mengetahui
yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala
sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak
Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit karena Allah di
arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa
Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan
lain nya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di
timur/barat karena ia
menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena
ia menunaikan haji ke
Mekkah” [Kitab At-Tauhid - 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang
menyeru-Nya, orang itu
menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan
tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di
arah Ka’bah, karena sesungguhnya
langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang
Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata:
sesungguhnya langit
itu qiblat doa, sebagaimana
Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun
angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf,
jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga
berkata: “Jika dipertanyakan,
ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah
(jihat), maka apa maksud mengangkat
tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang
telah disebutkan oleh
At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya
angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah
dalam Shalat, dan meletakkan
dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud,
maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan
wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari
langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah
tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan
Malaikat-lah yang
memberikan kepada
penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan
(kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit
ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat
bagi perkara-perkara
mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya
tertujulah semua
kepentingan ke
langit, dan orang-orang
berdoa pun menunaikan
ke atas langit”[Ittihaf,
jilid 5, hal 244]
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830