Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

F0080. INILAH PENJELASAN LENGKAP QODHO' PUASA DAN FIDYAH

Oleh Masaji Antoro
Seseorang yang memiliki tanggungan Qadha Puasa Ramadhan baik yang ditinggalkan karena udzur atau pun bukan wajib mengganti puasa tersebut dihari-hari yang diperbolehkan menjalankan puasa.
HARI-HARI YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJALANI PUASA
~ Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
~ Hari TASYRIQ (tanggal 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah)
~ Hari-hari yang telah ia tentukan untuk puasa NADZAR
~ Hari Syak (30 Sya'ban) kecuali bagi orang yang sebelumnya telah membiasakan berpuasa semacam senin kamis
YANG DIPERBOLEHKAN BERBUKA PUASA (mokel-java-pent)
• Lanjut Usia dan orang sakit
Berdasarkan ijma’ kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah 184. Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu hari.
Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi kesembuhannya, berdasar firman Allah “..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Hajj 78]. Dan bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah.
• Lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi
Seseorang yang tertimpa lapar atau dahaga yang tak tertahankan lagi, sekiranya jika ia berpuasa akan menemui kepayahan luar biasa, maka ia boleh membatalkan puasa dan wajib mengqadha’nya. Bahkan ia wajib membatalkan puasanya jika menduga akan menemui madharrat sehingga merusak mekanisme (syaraf) tubuh. Firman Allah: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan. [QS. Al Baqarah 195]
• Dalam keadaan dipaksa
Mayoritas ulama (berbeda dari Syafi’iyah) berpendapat bahwa seseorang yang dipaksa/diperkosa boleh membatalkan puasanya dan ia wajib mengqadha’nya. Dan jika ada seorang perempuan di gauli secara paksa atau dalam keadaan tidur, ia (si perempuan) wajib mengqadha’nya puasanya.
Ketentuan-ketentuan lain :
1. Pekerja berat Imam Abu Bakar Al-Ajiri mengatakan bahwa jika ia mengkhawatirkan kondisinya karena pekerjaan berat yang ia lakukan maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha’nya. Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib berpuasa dan jika ternyata ditengah hari dia tidak mampu lagi melanjutkan puasanya, barulah ia membatalkannya dan wajib mengqadha’ nya. Sebagaimana firman Allah “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, karena sesungguhnya Allah Maha Peenyayang kepadamu.” [Surat Annisa 29]
2. Penyelamat seseorang yang tenggelam Ulama Hanbali mengatakan bahwa ia boleh berbuka dan tidak wajib membayar fidyah jika tidak mampu menahan masuknya air, jika ia mampu menahannya maka ia tidak diperbolehkan berbuka.
• Wanita hamil dan menyusui
Semua Ulama sepakat tentang adanya rukhsah (keringanan) bolehnya wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa dibulan Ramadhan, namun mereka berbeda pendapat mengenai cara mengganti puasanya. Berikut adalah pendapat-pendapat yang ada :
a. Versi Imam Hanafi
Wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa dibulan Ramadhan (baik karena menghawatirkan dirinya sendiri atau bayinya atau bahkan keduanya) kewajibannya hanya meng-Qodho puasa yang mereka tinggalkan tersebut tanpa harus membayar Fidyah (tebusan), Tendensi Beliau Hadits Anas bin Malik al-Ka’bi menuturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan puasa dan separoh sholat dari musafir, dan menggugurkan puasa saja dari wanita hamil dan menyusui.”(HR. Imam Ahmad, 4/374; at-Tirmidzi, 3/94; an-Nasâ’i, 4/190). Pendapat Imam Auza’i, Zuhri dan At tsauri dalam masalah ini sama dengan pendapat Imam Hanafi.
b. Versi Imam Maliki
Wanita hamil yang tidak berpuasa dibulan Ramadhan kewajibannya hanya meng-Qodho puasa yang mereka tinggalkan tersebut tanpa harus membayar Fidyah, alasannya karena wanita hamil disamakan dengan orang sakit. Tendensi ketetapan hukum ini adalah firman Allah swt
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Albaqaarah Ayat 184)
Sedangkan Wanita menyusui yang tidak berpuasa dibulan Ramadhan kewajibannya meng-Qodho puasa yang mereka tinggalkan tersebut serta harus membayar Fidyah berdasarkan firman Allah swt : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Albaqaarah Ayat 184). Yang dimaksud dalam ayat tersebut menurut Imam Malik adalah Wanita menyusui dan orang tua renta.
c. Versi Imam Syafi’I dan Imam Hambali
Wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa dibulan Ramadhan wajib meng-Qodho puasa yang mereka tinggalkan tersebut tanpa harus membayar Fidyah dengan catatan apabila faktornya karena menghawatirkan terhadap dirinya sendiri, atau menghawatirkan terhadap dirinya sendiri dan anaknya, Tendensi ketentuan ini adalah firman Allah swt.
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Albaqaarah Ayat 184)
Imam Syafi’I menyamakan wanita hamil atau menyusui dengan orang sakit sedang orang sakit pada ayat diatas (saat tidak berpuasa) tidak diwajibkan membayar fidyah.
Jika faktor wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa murni karena menghawatirkan anak yang ia kandung atau ia susui maka dia wajib meng-Qodho puasa yang mereka tinggalkan tersebut sekaligus membayar Fidyah hal ini karena berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Daud ra dan Imam baehaqi : “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
Dan berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar ra. ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (HR. al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih). Jika dikonversikan dalam bentuk liter satu mud adalah 0,6875 liter atau 687,5 mililiter berupa makanan pokok.

QADHA PUASA YANG TERTUNDA
Ada beberapa perbedaan pendapat yang berkembang seputar tanggungan puasanya seseorang yang belum diqadha hingga datangnya bulan ramadhan berikutnya,
• Versi Imam Hanafi
Mengqadha sesuai berapa hari puasa yang ditinggalkan (baik menunda qadha'nya karena udzur/tidak). Berdasarkan dhahirnya Firman Allah : “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Albaqaarah Ayat 184).
• Versi Imam Syafi’I, Maliki dan Imam Hambali
Mengqadha sesuai berapa hari puasa yang ditinggalkan ditambah membayar Fidyah bila menunda qadhanya karena tanpa adanya udzur berdasarkan sabda Rasulullah saw : "Barangsiapa yang memutuskan puasa dibulan ramadhan dan tidak mengqadha'nya sampai datang bulan ramadhan berikutnya maka dia wajib berpuasa untuk hari itu, kemudian baru puasa qadha dan memberi makanan setiap hari terhadap orang miskin (HR Baehaqi). Namun pijakan Imam syafi'i dalam wajibnya mengqadha ditambah fidyah dalam masalah ini bukan berpijak pada hadits dhaif ini melainkan berdasarkan ijma ulama.
• Versi Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Sa'id bin Zubair
Tanggungan qadha puasanya berubah menjadi membayar fidyah bukan qadha puasa lagi berdasarkan Hadits Nabi : "Apabila tanggungan qadha puasa masih tetap (belum dipenuhi) hingga datangnya bulan puasa berikutnya maka dia wajib membayar kafarat (HR Baehaqi). [ Dinukil dari Kitab Madzahib Al-Arba'ah 1/902-905 ].

CARA MENGQADHA PUASA YANG TELAH LUPA
Wajib mengqadhai puasanya di selain hari-hari yang ia yakini telah dikerjakan puasanya, terhitung sejak ia mulai baligh. Niat melakukan qadha puasa ramadhannya dengan tanpa ditentukan waktunya (hari / tahunnya)
وعبارة الزواجر الحادي عشر أي من شروط التوبة التدارك فيما إذا كانت المعصية بترك عبادة ففي ترك نحو الصلاة والصوم تتوقف صحة توبته على قضائها لوجوبها عليه فورا وفسقه بتركه كما مر فإن لم يعرف مقدار ما عليه من الصلوات مثلا  قال الغزالي تحرى وقضى ما تحقق أنه تركه من حين بلوغه
Redaksi dalam kitab az-Zawaajir : Yang no. 11 (dari syarat-syaratnya taubat) adalah menyusul dan membenarkan kesalahan/maksiat yang telah ia perbuat akibat meninggalkan ibadah dimasa silam, dalam meninggalkan semacam shalat dan puasa misalnya, untuk dapat mengabsahkan taubatnya harus diqadha terlebih dahulu karena mengqadhanya diwajibkan sesegera mungkin dan dihukumi fasik bila ditinggalkan seperti keterangan yang telah lewat.
Bila tidak diketahui jumlah yang wajib ia qadha seperti dalam kasus shalat (juga puasa) menurut al-Ghazali wajib baginya meneliti dan mengqadha yang telah nyata ia tinggalkan mulai masa balighnya. [ I’aanah at-Thoolibiin IV/294, Is’aad ar-Rofiiq Hal. 143 ].
- Hawaasyi as-Syarwaani III/396 :
ولو علم أنه صام بعض الليالي وبعض الأيام ولم يعلم مقدار الأيام التي صامها فظاهر أنه يأخذ باليقين فما تيقنه من صوم الأيام أجزأه وقضى ما زاد عليه سم

Wallaahu A'lamu Bis Showaab.