Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

5343. TAFSIR QS AT-TAHRIM 1-6 : MENGHARAMKAN APA YANG DIHALALKAN ?

PERTANYAAN :

Assalamualaikum wr wb. Kepada para ustadz/ah mohon penjelasannya asbabul nuzulnya surat at tahrim beserta tafsirnya mulai ayat 1 - 6. Matur suwun [Vivi Alviyah]

JAWABAN :

Wa'alaikum salam. Tafsir dan Asbab nuzul QS at-Tahrim 1-5

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (1)
قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (2)
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ  إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ  اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا  نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ  الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ (3)
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ  فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ  هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ  بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ (4)
عَسَى رَبُّهُ إِنْ  طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ  مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ  وَأَبْكَارًا (5) }

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan  apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati  istri-istrimu ? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari  sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi  Mahabijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan  secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu  peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada  Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara  Hafsah dengan Aisyah) kepada Muhammad, lalu Muhammad memberitahukan  sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian  yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan  pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah), lalu Hafsah bertanya, "Siapakah  yang telah memberitahukan hal itu kepadamu?” Nabi menjawab, "Telah  diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha  Mengenal.” Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya  hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu  berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah  Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik;  dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
Jika  Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadamu  dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang  beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadat, yang  berpuasa, yang janda, dan yang perawan. Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan asbabun nuzul yang melatarbelakangi penurunan permulaan surat At-Tahrim ini.
Menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa Mariyah Al-Qibtiyyah, lalu Rasulullah Saw. mengharamkannya  bagi dirinya (yakni tidak akan menggaulinya lagi). Maka turunlah firman  Allah Swt.: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah  menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu?  (At-Tahrim: 1), hingga akhir ayat.
Abu Abdur Rahman  An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yunus  ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan  kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, bahwa  Rasulullah Saw. mempunyai seorang budak perempuan yang beliau gauli,  lalu Siti Aisyah dan Siti Hafsah terus-menerus dangan gencarnya  menghalang-halangi Nabi Saw. untuk tidak mendekatinya lagi hingga pada  akhirnya Nabi Saw. mengharamkan budak itu atas dirinya. Maka Allah Swt.  menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang  Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1), hingga akhir ayat.
Ibnu  Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abdur Rahim  Al-Burfi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah  menceritakan kepada kami Abu Gassan, telah menceritakan kepadaku Zaid  ibnu Aslam, bahwa Rasulullah Saw. menggauli ibu Ibrahim di rumah salah  seorang istri beliau Saw. Maka istri beliau Saw. berkata, "Hai  Rasulullah, teganya engkau melakukan itu di rumahku dan di atas  ranjangku." Maka Nabi Saw. mengharamkan ibu Ibrahim itu atas dirinya.  Lalu istri beliau Saw. bertanya, "Hai Rasulullah, mengapa engkau  haramkan atas dirimu hal yang halal bagimu?" Dan Nabi Saw. bersumpah  kepada istrinya itu bahwa dia tidak akan menggauli budak perempuannya  itu lagi. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu  mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya atas dirimu? (At-Tahrim: 1).
Zaid  ibnu Aslam mengatakan bahwa ucapan Nabi Saw., "Engkau haram bagiku,"  adalah lagwu (tiada artinya). Hal yang sama telah diriwayatkan oleh  Abdur Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya.

وَقَالَ ابْنُ  جَرِيرٍ أَيْضًا حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا ابْنِ وَهْبٍ، عَنْ  مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، قَالَ: قُلْ لَهَا: "أَنْتِ عليَّ  حَرَامٌ، وواللَّهِ لَا أطؤك".

Ibnu Jarir mengatakan,  telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami  Ibnu Wahb, dari Malik, dari Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Nabi  Saw. berkata kepada ibu Ibrahim: Engkau haram atas diriku. Demi Allah,  aku tidak akan menggaulimu. Sufyan  As-Sauri dan Ibnu Aliyyah telah meriwayatkan dari Daud ibnu Abu Hindun,  dari Asy-Sya'bi, dari Masruq yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.  melakukan sumpah ila dan mengharamkan budak perempuannya itu atas  dirinya. Lalu beliau Saw. ditegur melalui  surat At-Tahrim dan diperintahkan untuk membayar kifarat sumpahnya.  Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dan hal yang semisal telah  diriwayatkan dari Qatadah dan lain-lainnya, dari Asy-Sya'bi. Hal yang  semisal telah dikatakan pula oleh bukan hanya seorang dari ulama salaf,  antara lain Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.  Al-Aufi telah meriwayatkan kisah ini dari Ibnu Abbas secara panjang  lebar.

Ibnii Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada  kami Sa'id ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah  menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari  Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia  pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab, "Siapakah kedua wanita itu?"  Umar ibnul Khattab menjawab, "Keduanya adalah Aisyah dan Hafsah."  Permulaan kisahnya ialah berkenaan dengan ibu Ibrahim (yaitu Mariyah  Al-Ojibtiyyah). Nabi Saw. menggaulinya di rumah Hafsah di hari  gilirannya, maka Hafsah mengetahuinya, lalu berkata, "Hai Nabi Allah,  sesungguhnya engkau telah melakukan terhadapku suatu perbuatan yang  belum pernah engkau lakukan terhadap seorang pun dari istri-istrimu.  Engkau melakukannya di hari giliranku dan di atas peraduanku." Maka Nabi  Saw. menjawab: Puaskah engkau bila aku mengharamkannya atas diriku dan  aku tidak akan mendekatinya lagi? Hafsah menjawab, "Baiklah." Maka Nabi  pun mengharamkan dirinya untuk menggauli Mariyah, Nabi Saw. bersabda,  "Tetapi jangan kamu ceritakan hal ini kepada siapa pun." Hafsah tidak  tahan, akhirnya ia menceritakan kisah itu kepada Aisyah. Maka Allah Swt.  menampakkan (memberitahukan) hal itu kepada Nabi Saw., dan Allah Swt.  menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang  Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati  istri-istrimu? (At-Tahrim, 1) hingga beberapa ayat sesudahnya. Maka  telah sampai kepada kamu suatu berita yang menyebutkan bahwa Rasulullah  Saw. membayar kifarat sumpahnya dan kembali menggauli budak perempuannya  itu.

Al-Haisam  ibnu Kulaib mengatakan di dalam kitab musnadnya, bahwa telah  menceritakan kepada kami Abu Qilabah alias Abdul Malik ibnu Muhammad  Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah  menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim,  dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Umar yang menceritakan  bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepada Hafsah: Janganlah engkau  ceritakan kepada siapa pun, dan sesungguhnya ibu Ibrahim haram atas  diriku. Hafsah bertanya, "Apakah engkau mengharamkan apa yang dihalalkan  Allah bagimu?" Nabi Saw. bersabda, "Demi Allah, aku tidak akan  mendekatinya lagi." Dan Nabi Saw. tidak mendekatinya lagi sampai Hafsah  menceritakan peristiwa itu kepada Aisyah. Maka Allah menurunkan  firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian  membebaskan diri dari sumpahmu. (At-Tahrim: 2).

Sanad  hadis ini sahih, tetapi tiada seorang pun dari Sittah yang  mengetengahkannya. Hadis ini dipilih oleh Al-Hafiz Ad-Diya Al-Maqdisi di  dalam kitabnya yang berjudul Al-Mustakhraj.
Ibnu Jarir  mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah  menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami  Hisyam Ad-Dustuwa-i yang mengatakan bahwa Yahya menulis surat kepadanya  menceritakan hadis yang ia terima dari Ya’la ibnu Hakim, dari Sa'id ibnu  Jubair, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan ucapan  pengharaman terhadap seorang istri, bahwa itu merupakan sumpah yang  dapat dihapus dengan membayar kifaratnya. Dan Ibnu Abbas membaca  firman-Nya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri  teladan yang baik bagimu. (Al-Ahzab: 21) Yakni Rasulullah Saw. pernah  mengharamkan budak perempuannya atas dirinya. Maka Allah menurunkan  firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah  menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) sampai dengan firman-Nya:  Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan  diri dari sumpahmu. (At-Tahrim: 2) Maka beliau Saw. membayar kifarat  sumpahnya, dan menjadikan kata pengharamannya itu sebagai sumpah yang  telah dia hapuskan dengan membayar kifaratnya.

Imam  Bukhari meriwayatkannya dari Mu'az ibnu Fudalah, dari Hisyam  Ad-Dustuwa-i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Hakim alias Ya'la dari  Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dalam kasus  pengharaman yang halal ada kifaratnya karena dianggap sebagai sumpah.  Dan Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Sesungguhnya telah ada pada (diri)  Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (Al-Ahzab: 21)
Demikianlah menurut riwayat Imam Muslim dari hadis Hisyam Ad-Dustuwa-i dengan sanad yang sama.
Imam  Nasai mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abdus Samad  ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Makhlad (yakni Ibnu Yazid),  telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Salim, dari Sa'id ibnu  Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan  bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu bertanya,  "Sesungguhnya aku telah mengharamkan istriku atas diriku." Ibnu Abbas  menjawab, "Engkau dusta, dia tidak haram atas dirimu." Kemudian Ibnu  Abbas membaca firman Allah Swt.: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa  yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) Kamu harus membayar  kifarat yang terberat, yaitu memerdekakan budak. Imam Nasai  meriwayatkannya melalui jalur ini dengan lafaz yang sama.
Imam  Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu  Zakaria, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah  menceritakan kepada kami Israil, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu  Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu  mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) Bahwa  Rasulullah Saw. pernah mengharamkan budak perempuannya atas dirinya.  Berangkat dari pengertian ini maka ada sebagian ulama fiqih yang  mengatakan bahwa diwajibkan membayar kifarat bagi seseorang yang  mengharamkan budak perempuannya, atau istrinya, atau suatu makanan atau  suatu minuman atau suatu pakaian atau sesuatu yang lain yang  diperbolehkan. Ini menurut mazhab Imam Ahmad dan segolongan ulama.
Imam  Syafii berpendapat bahwa tidak wajib baginya membayar kifarat apa pun  kecuali dalam kasus pengharaman terhadap istri atau budak perempuan,  jika yang bersangkutan mengharamkan diri keduanya dengan jelas, atau  memutlakkan pengharamannya terhadap keduanya, menurut suatu pendapat di  kalangan mazhabnya. Adapun jika seorang lelaki dalam pengharamannya itu  berniat menceraikan istrinya atau memerdekakan budak perempuannya, maka  berlakukan hal itu terhadap keduanya.
Ibnu Abu Hatim  mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Abdullah Az-Zahrani, telah  menceritakan kepadaku Hafs ibnu Umar Al-Adni, telah menceritakan  kepadaku Al-Hakam ibnu Aban, telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari  Ibnu Abbas yang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai  Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu?  (At-Tahrim: 1) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan wanita yang  menghibahkan (menyerahkan) dirinya untuk dinikahi oleh Nabi Saw. Tetapi  hal ini merupakan pendapat yang garib.
Pendapat yang  benar menyatakan bahwa hal ini terjadi berkenaan dengan pengharaman Nabi  Saw. terhadap madu (putih), sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam  Bukhari dalam tafsir ayat ini.
Disebutkan bahwa telah  menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepadaku  Hisyam ibnu Yusuf, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ubaid ibnu Umair,  dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Nabi Saw. suka minum madu  (putih) di rumah Zainab binti Jahsy, lalu tinggal bersamanya di  rumahnya. Maka aku (Aisyah) dan Hafsah sepakat untuk melakukan suatu  tindakan, bahwa kepada siapa pun di antara kami berdua beliau Saw.  masuk, maka hendaklah ia mengatakan kepadanya, "Engkau telah makan  magafir (madu putih yang rasanya enak, tetapi baunya tidak enak), karena  sesungguhnya aku mencium bau magafir darimu."
Maka Nabi Saw. bersabda:

"لَا  وَلَكِنِّي كُنْتُ أَشْرَبُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحش، فَلَنْ  أَعُودَ لَهُ، وَقَدْ حَلَفْتُ لَا تُخْبِرِي بِذَلِكَ أَحَدًا"،  {تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ}

Tidak, tetapi aku baru saja meminum madu biasa di rumah  Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan meminumnya lagi; dan  sesungguhnya aku telah bersumpah untuk itu, maka janganlah engkau  ceritakan hal ini kepada siapa pun. Maka Allah menurunkan firman-Nya:  kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu. (At-Tahrim: 1)
Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini dengan lafaz sebagaimana yang tersebut di atas.
Dan  di dalam Kitabul Aiman dan Nuzur Imam Bukhari mengatakan, telah  menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad, telah menceritakan  kepada kami Al-Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Ata  mengira dirinya pernah mendengar Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa ia  pernah mendengar Siti Aisyah bercerita bahwa Rasulullah Saw. dahulu suka  tinggal di tempat Zainab binti Jahsy dan minum madu di rumahnya. Maka  Aku (Aisyah dan Hafsah) mengadakan kesepakatan bahwa kepada siapa pun di  antara kami berdua Nabi Saw. menggilirnya, hendaklah ia mengatakan  kepadanya, "Sesungguhnya aku mencium darimu bau magafir, engkau pasti  telah makan magafir.' Lalu Nabi Saw. menggilir salah seorang dari  keduanya, maka istri yang digilirnya mengatakan kepadanya hal tersebut,  lalu Nabi Saw. berkata kepadanya: Tidak, bahkan aku hanya minum madu di  rumah Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan meminumnya lagi. Maka  turunlah firman Allah Swt.: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang  Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) sampai dengan firman-Nya:  Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu  berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) (At-Tahrim: 4)  Kamu  berdua ini ditujukan kepada Aisyah dan Hafsah. Dan ingatlah ketika Nabi  membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya  (Hafsah) suatu peristiwa (At-Tahnm: 3) ' Ini karena ada sabda Nabi Saw.  yang mengatakan: Tidak, aku telah minum madu.
Ibrahim  ibnu Musa, dari Hisyam, mengatakan bahwa sabda Nabi Saw tersebut ialah:  Dan aku tidak akan mengulanginya lagi; sesungguhnya aku telah bersumpah  (untuk tidak mengulanginya lagi), maka janganlah engkau ceritakan kepada  siapa pun.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam  Bukhari di dalam Kitabut Talaq dengan sanad yang sama dan lafaz yang  mirip dengan hadis di atas.
Kemudian  Imam Bukhari mengatakan bahwa magafir mirip dengan getah yang terdapat  pada batang kayu, getah ini rasanya manis. Bila dikatakan agfarar ramsu  artinya batang kayu itu mengeluarkan getahnya. Bentuk tunggalnya ialah  magfur, ada juga yang mengatakan  magafir. Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Jauhari, bahwa adakalanya  getah yang dimaksud berasal dari pohon aysr, sammam, salam, dan talh.  Al-Jauhari mengatakan bahwa ar-rimsi adalah sejenis semak yang sering  dimakan oleh ternak unta. Al-Jauhari mengatakan bahwa 'urfut adalah nama  sebuah pohon dari jenis pohon 'udah yang biasa mengeluarkan getah putih  yang disebut magfur.
Imam Muslim telah meriwayatkan  hadis ini di dalam kitab Talaq, bagian dari kitab sahihnya, dari  Muhammad ibnu Hatim, dari Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, telah  menceritakan kepadaku Ata, dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah dengan  sanad yang sama, sedangkan lafaznya sama dengan apa yang diketengahkan  oleh Imam Bukhari di dalam Kitabul Aiman wan Nuzur.
Kemudian  Imam Bukhari mengatakan di dalam Kitabut Talaq-nya, bahwa telah  menceritakan kepada kami Farwah ibnu Abul Migra, telah menceritakan  kepada kami Ali ibnu Misar, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari  Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah Saw. menyukai manisan dan  madu. Tersebutlah pula bahwa apabila beliau selesai dari salat Asarnya  selalu mampir di rumah istri-istri beliau, lalu mendekati salah seorang  dari mereka. Dan beliau masuk ke dalam rumah Siti Hafsah binti Umar,  lalu tinggal di dalam rumahnya dalam waktu yang lebih lama dari  istri-istri lainnya. Hal ini menimbulkan kecemburuan pada istri beliau  yang lainnya. Kemudian Aisyah r.a. menanyakan hal tersebut, maka dijawab  bahwa Hafsah menerima hadiah dari kaumnya berupa semangkuk madu, maka  Hafsah memberikan sebagian darinya sebagai sajian minuman. Aku (Aisyah)  berkata, "Ingatlah, demi Allah, kami benar-benar akan membuat tipu daya  terhadapnya (Nabi)." Kemudian kukatakan kepada Saudah binti Zam'ah,  "Sesungguhnya Nabi Saw. akan mendekatimu. Dan bila beliau mendekatimu,  katakanlah kepadanya bahwa engkau telah minum magafir. Maka pasti beliau  akan menjawabmu, 'Tidak.' Bila demikian, maka katakanlah kepada beliau,  'Lalu bau apakah ini?' Dan beliau pasti akan mengatakan kepadamu,  'Hafsah telah memberiku minuman madu.' Maka jawablah olehmu, 'Rupanya  lebahnya telah mengisap getah kayu 'urfut,' dan aku pun akan mengatakan  hal yang sama kepada beliau. Dan engkau juga, hai Safiyyah, katakanlah  kepada beliau kalimat yang sama." *
Siti Aisyah  melanjutkan kisahnya, Saudah mengatakan bahwa demi Allah tidak lama  kemudian Rasulullah Saw. muncul di depan pintu rumahnya, maka dengan  serta merta aku hendak mengatakan apa yang diajarkan olehku kepadanya  karena dia merasa takut kepadaku. Dan ketika Rasulullah Saw.  mendekatinya, Saudah langsung bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah engkau  telah makan magafir?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak." Saudah  bertanya lagi, "Lalu bau apakah ini yang aku cium darimu?" Maka Nabi  Saw. berterus terang kepadanya, "Hafsah telah memberiku minuman madu."  Saudah berkata, "Kalau begitu, berarti lebahnya telah mengisap sari  getah pohon 'urfut (yang menghasilkan magafir)!"
Ketika  Nabi Saw. datang kepada giliranku, maka kukatakan kepadanya hal yang  sama. Dan ketika sampai di rumah Safiyyah, maka Safiyyah pun mengatakan  hal yang sama.
Kemudian di lain hari ketika Nabi Saw. mendatangi Hafsah, Hafsah menawarkan kepadanya, "Maukah  engkau kusuguhkan minuman madu?" Nabi Saw. menjawab, "Aku tidak  memerlukannya lagi." Lalu Saudah berkata, "Demi Allah, beliau pasti  telah mengharamkannya atas dirinya." Maka aku katakan kepadanya,  "Diamlah kamu!" Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.
Imam  Muslim telah meriwayatkannya dari Suwaid ibnu Sa'id, dari Ali ibnu  Mis-har dengan sanad yang sama, juga dari Abu Kuraib, Harun ibnu  Abdullah, dan Al-Hasan ibnu Bisyr; ketiganya dari Abu Usamah Hammad ibnu  Usamah, dari Hisyam ibnu Urwah dengan sanad yang sama.
Dan  dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Siti Aisyah r.a. mengatakan  bahwa Rasulullah Saw. adalah seorang yang merasa sangat tidak enak  (tidak suka) bila dari dirinya tercium bau yang tidak enak. Yang  dimaksud dengan bau yang tidak enak ialah bau yang busuk. Karena itulah  mereka mengatakan, "Engkau telah makan magafir" mengingat bau magafir  tidak enak. Dan ketika Nabi Saw. menjawab, "Tidak, aku hanya minum  madu." Mereka (istri-istri beliau) menjawab, "Barangkali lebahnya  mengisap getah pohon 'urfut," yang getahnya menghasilkan magafir. Karena  itulah maka baunya terasa di madu yang diminumnya.
Al-Jauhari  mengatakan bahwa jarasatin nahlu al-'urfuta artinya lebah itu mengisap  sari getah 'urfut. Karena itulah maka lebah disebut pula dengan istilah  jawaris. Seorang penyair mengatakan:

تَظَلّ عَلَى الثَّمْرَاء مِنها جَوَارسُ ...

Lebah-lebah itu mengerumuni salah satu dari pohon-pohon yang berbuah.
Dikatakan  sami'tu jarasat tairi artinya aku telah mendengar suara patukannya pada  sesuatu yang dimakannya. Di dalam sebuah hadis disebutkan:

"فَيَسْمَعُونَ جَرْشَ طَيْرِ الْجَنَّةِ"

Maka mereka mendengar suara patukan burung surga.
Al-Asmu'i  mengatakan bahwa ia berada di majelis pengajian Syu'bah, lalu ia  mengatakan, "Maka mereka mendengar suara patukan burung surga," kata  al-jaras diungkapkannya dengan jarasy memakai syin. Maka aku mengatakan  jaras, lalu ia menoleh ke arahku dan berkata, "Turutilah apa katanya,  karena sesungguhnya dia lebih mengetahui hal ini daripada aku."
Tujuan  mengungkapkan riwayat ini untuk menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat  ini istri yang memberi Nabi Saw. madu adalah Hafsah.
Hal ini diriwayatkan melalui jalur Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari bibinya (yaitu Siti Aisyah).
Tetapi  menurut hadis yang diriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij, dari Ata,  dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah, disebutkan bahwa istri yang memberi  minum madu itu adalah Siti Zainab binti  Jahsy. Dan sesungguhnya sesudah itu Aisyah dan Hafsah mengadakan  kesepakatan untuk memprotes Nabi Saw. atas perlakuannya itu; hanya  Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Adakalanya dikatakan bahwa kedua  peristiwa ini terjadi, dan tidak mustahil pula bila memang benar  terjadi. Tetapi bila dikatakan bahwa keduanya merupakan peristiwa yang  melatarbelakangi turunnya ayat ini, masalahnya masih perlu diteliti  lagi; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Di antara  dalil yang menunjukkan bahwa kedua istri yang melakukan protes itu  adalah Aisyah dan Hafsah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad  di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada  kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ma'mar, dari Az-Zuhri,  dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Ibnu Abbas yang  menceritakan bahwa sudah lama ia ingin menanyakan kepada Umar r.a.  tentang dua orang wanita dari kalangan istri-istri Nabi Saw. yang  disebutkan di dalam firman-Nya: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah,  maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima  kebaikan). (At-Tahrim: 4) Hingga ketika Umar mengerjakan haji dan aku  ikut haji bersamanya. Di tengah perjalanan Umar menepi, lalu aku pun  menepi pula bersamanya dengan membawa wadah air, kemudian Umar membuang  air besar. Setelah itu Umar datang kepadaku, maka kutuangkan kepadanya  air, dan Umar berwudu dengannya. Lalu kutanyakan kepadanya, "Wahai  Amirul Mu’minin, siapakah dua orang wanita dari istri-istri Nabi Saw.  yang disebutkan di dalam firman Allah Swt.: Jika kamu berdua bertobat  kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk  menerima kebaikan) (At-Tahrim: 4)?"
Maka Umar berkata,  "Pertanyaanmu aneh, hai Ibnu Abbas." Az-Zuhri memberi komentar, bahwa  demi Allah, Umar tidak suka dengan pertanyaan itu, (sebab anaknya  sendiri —yaitu Hafsah— terlibat), sedangkan ia tidak boleh  menyembunyikannya (bila ada yang bertanya). Akhirnya Umar menjawab,  "Aisyah dan Hafsah."
Kemudian Umar melanjutkan kisahnya  dengan panjang lebar, "Dahulu kami orang-orang Quraisy adalah suatu kaum  yang tidak memberi kesempatan kepada wanita untuk berperan. Dan ketika  kami tiba di Madinah, kami jumpai suatu kaum yang kaum wanita mereka  mempunyai peran. Akhirnya kaum wanita kami setelah bergaul dengan kaum  wanita mereka belajar dari mereka."
Umar melanjutkan  kisahnya bahwa tempat tinggalnya berada di perkampungan Bani Umayyah  ibnu Zaid, yaitu di tempat yang tinggi. Umar melanjutkan bahwa pada  suatu hari ia marah terhadap istrinya, tetapi tiba-tiba istrinya itu  melawannya sehingga Umar kaget melihat sikapnya yang demikian, ia tidak  menyukai sifat tersebut. Istrinya menjawab, "Mengapa engkau merasa kaget  bila aku berani melawanmu. Demi Allah, sesungguhnya istri-istri  Rasulullah Saw. sendiri berani melawan beliau, bahkan salah seorang dari  mereka berani tidak berbicara dengan beliau hari ini sampai malam  harinya."
Umar  melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia pergi dan masuk ke dalam tempat  Hafsah (putrinya), lalu bertanya kepadanya, "Apakah engkau telah berani  menentang Rasulullah?" Hafsah menjawab, "Ya." Umar berkata, "Apakah  benar ada seseorang dari kalian yang mendiamkan  beliau hari ini sampai malam harinya?" Hafsah menjawab, "Ya." Umar  berkata, "Sungguh telah kecewa dan merugilah orangyang berani berbuat  demikian dari kalian terhadapnya. Apakah dia dapat menyelamatkan dirinya  bila Allah murka terhadap dirinya karena murka Rasulullah? Sudah dapat  dipastikan dia akan binasa. Dan kamu janganlah sekali-kali berani  memprotes Rasulullah Saw. dan jangan pula kamu meminta sesuatu darinya,  tetapi mintalah kamu kepadaku dari hartaku menurut apa yang kamu sukai.  Dan jangan sekali-kali kamu teperdaya oleh madumu yang lebih cantik  serta lebih dicintai oleh Rasulullah Saw. daripada kamu (maksudnya  Aisyah)."
Umar melanjutkan kisahnya, "Dahulu aku  mempunyai seorang tetangga dari kalangan Ansar, dan kami biasa siiih  berganti turun menemui Rasulullah Saw. Di suatu hari gilirannya dan di  hari yang lain giliranku. Maka tetangga­ku itu menyampaikan kepadaku  tentang berita wahyu dan hal penting lainnya, begitu pula yang kulakukan  kepadanya bila tiba giliranku."
Umar melanjutkan  kisahnya, bahwa kami mendapat berita bahwa orang-orang Gassan sedang  mempersiapkan pasukan berkuda untuk menyerang kami, berita ini menjadi  topik pembicaraan yang hangat di kalangan kami. Kemudian di suatu hari  tiba giliran temanku itu untuk turun, kemudian di waktu isya ia datang  dan langsung mengetuk pintu rumahku seraya memanggilku. Maka aku keluar  menemuinya, dan ia langsung berkata, "Telah terjadi peristiwa yang  besar." Aku bertanya memotongnya, "Apakah pasukan Gassan telah datang?"  Lelaki Ansar tetangganya menjawab, "Bukan, tetapi peristiwanya lebih  besar dan lebih panjang daripada itu. Rasulullah Saw. telah menceraikan  istri-istrinya."
Umar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu  ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa Hafsah benar-benar telah kecewa  dan merugi. Aku telah menduga kuat bahwa peristiwa ini pasti terjadi.  Dan setelah ia menyelesaikan salat Subuhnya, lalu ia langsung turun dan  menuju ke rumah Hafsah, kemudian masuk menemuinya yang saat itu Hafsah  dijumpainya sedang menangis. Umar bertanya, "Apakah Rasulullah telah  menceraikanmu?" Hafsah menjawab, "Tidak tahu, tetapi beliau sedang  menyendiri di ruangan itu."
Maka  aku (Umar) menemui pelayan beliau Saw. yang berkulit hitam dan  kukatakan kepadanya, "Mintakanlah izin kepadanya buat Umar." Pelayan itu  masuk untuk meminta izin, kemudian ia keluar lagi dan menemuiku, lalu  berkata, "Aku telah menyebutkan namamu, tetapi  beliau hanya diam." Maka aku pergi hingga sampai di mimbar. Ternyata di  dekat mimbar terdapat sekumpulan orang-orang yang sedang duduk,  sebagian dari mereka ada yang menangis. Maka aku duduk sebentar di  tempat itu, kemudian aku tidak tahan lagi karena penasaranku, maka  kudatangi lagi pelayan itu dan kukatakan kepadanya, "Mintakanlah izin  masuk buat Umar." Maka pelayan itu masuk, kemudian keluar lagi dan  mengatakan, "Aku telah menyebutkan namamu, tetapi beliau hanya diam  saja."
Maka aku keluar lagi dan menuju ke mimbar,  kemudian rasa penasaranku kembali mendorongku dengan dorongan yang kuat.  Akhirnya kudatangi lagi pelayan itu dan kukatakan kepadanya,  "Mintakanlah izin masuk buat Umar." Pelayan itu masuk, kemudian kembali  lagi kepadaku dan mengatakan, "Aku telah sebutkan namamu, tetapi beliau  masih diam saja." Akhirnya aku berpaling untuk pergi, tetapi tidak lama  kemudian si pelayan itu memanggilku dan mengatakan, "Masuklah, beliau  telah mengizinkanmu untuk menemuinya."
Aku masuk dan  mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah Saw. dan kujumpai  beliau sedang bersandar pada tumpukan pasir yang beralaskan tikar.
Imam  Ahmad mengatakan bahwa menurut apa yang diceritakan kepada kami oleh  Ya'qub dalam hadis Saleh, tumpukan pasir yang diberi alas tikar,  sedangkan anyaman tikar telah membekas pada lambung beliau Saw.
Maka  kutanyakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apakah engkau telah  menceraikan istri-istrimu?" Rasulullah Saw. mengangkat kepalanya  memandang ke arahku seraya menjawab, "Tidak." Aku berkata, "Allah  Mahabesar. Wahai Rasulullah, sebagaimana yang engkau ketahui bahwa kita  ini orang-orang Quraisy adalah suatu kaum yang tidak memberikan peran  kepada wanita. Tetapi ketika kita tiba di Madinah, kita menjumpai .suatu  kaum yang kaum wanita mereka mempunyai peran di kalangan mereka. Maka  kaum wanita kita langsung belajar dari kaum wanita mereka. Dan di suatu  hari aku marah terhadap istriku, tetapi tiba-tiba dia berani menjawabku,  maka aku tidak suka dengan sikapnya itu. Tetapi ia berkata, "Mengapa  engkau tidak suka dengan sikapku ini? Demi Allah, sesungguhnya  istri-istri Nabi Saw. sendiri berani menentang beliau dan ada salah  seorang dari mereka yang berani mendiamkannya hari ini sampai dengan  malam harinya." Maka kukatakan kepadanya, "Sesungguhnya telah merugi dan  kecewalah wanita yang berani berbuat demikian. Apakah seseorang dari  kalian dapat menyelamatkan dirinya bila Allah murka karena murka  Rasulullah Saw. Dia pasti akan binasa."
Rasulullah  Saw. tersenyum mendengar ceritaku, lalu aku berkata, "Wahai Rasulullah,  aku telah menemui Hafsah dan telah kukatakan kepadanya, 'Jangan  sekali-kali kamu terpengaruh oleh madumu yang lebih cantik dan lebih  dicintai oleh Rasulullah Saw. daripadamu'."  Rasulullah Saw. tersenyum lagi. Maka aku berkata kepadanya, "Aku merasa  rindu kepada engkau, wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. menjawab, "Ya."
Maka  aku duduk dan kutengadahkan pandanganku ke atas rumah. Demi Allah, aku  tidak melihat sesuatu pun di dalam rumah beliau sesuatu yang menarik  pandanganku kecuali aku merasa segan dengan kedudukan beliau Saw. Lalu  aku berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah semoga Allah  memberikan keluasan kepada umatmu. Karena sesungguhnya Dia telah memberi  keluagan kepada orang-orang Persia dan orang-orang Romawi, padahal  mereka tidak menyembah Allah."
Maka beliau Saw. bangkit dan duduk dengan tegak, lalu bersabda:

"أفي شك أنت يا بن الْخَطَّابِ؟ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا"

Hai  Ibnul Khattab, apakah engkau berada dalam keraguan ? Mereka adalah  suatu kaum yang disegerakan kepada mereka kebaikan-kebaikannya dalam  kehidupan dunia ini.
Maka aku berkata, "Mohonkanlah  ampunan kepada Allah bagiku, ya Rasulullah." Tersebutlah bahwa beliau  Saw. telah bersumpah tidak akan menggauli istri-istri beliau selama satu  bulan, karena kemarahan beliau terhadap mereka, hingga Allah Swt.  menegurnya.
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan  Imam Nasai telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari  Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Syaikhain (Bukhari dan Muslim) telah  meriwayatkannya melalui hadis Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari, dari Sa'id  ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia tinggal selama  satu tahun (di Madinah) dengan tujuan akan menanyakan kepada Umar ibnul  Khattab tentang makna suatu ayat yang ia tidak mampu menanyakannya  secara langsung karena segan kepadanya (Umar).TJingga Umar berangkat  untuk menunaikan ibadah haji, dan Ibnu Abbas pun ikut berangkat  bersamanya. Ketika kami berada dalam perjalanan pulang ke Madinah, di  tengah jalan Umar turun di sebuah pohon Arak untuk menunaikan hajatnya.
Ibnu  Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu aku berdiri menunggunya sampai  menyelesaikan hajatnya. Setelah selesai, aku berjalan bersamanya, maka  kutanyakan kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, siapakah dua orang wanita  yang membangkang terhadap Nabi?"
Berikut  ini menurut lafaz Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwa siapakah kedua  wanita yang disebutkan dalam firman-Nya: dan jika kamu berdua  bantu-membantu menyusahkan Nabi. (At-Tahrim: 4) Umar menjawab, "Aisyah  dan Hafsah," kemudian disebutkan hingga akhir hadis dengan panjang lebar, dan sebagian dari mereka ada yang meringkasnya.

Imam  Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zuhair ibnu Harb,  telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yunus Al-Hanafi, telah  menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar,'dari Sammak ibnul Walid Abu  Zamil, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, telah  menceritakan kepadaku Umar ibnul Khattab yang mengatakanbahwa ketika  Nabi Allah memisahkan diri dari istri-istrinya, aku masuk ke dalam  masjid, tiba-tiba kulihat orang-orang sedang diam menundukkan pandangan  mereka, lalu mereka berkata bahwa Rasulullah telah menceraikan  istri-istrinya. Demikian itu terjadi sebelum ada perintah untuk  berhijab. Maka aku berkata pada diriku sendiri, "Aku benar-benar akan  memberitahukan (masalah hijab itu) kepada beliau hari ini." Kemudian  disebutkan dalam hadis ini kisah masuknya Umar menemui Aisyah dan Hafsah  serta nasihat Umar kepada keduanya.
Kemudian  dilanjutkan bahwa aku (Umar) masuk dan aku bersua dengan Rabah (pelayan  Rasulullah Saw.) sedang berdiri di depan pintu ruangan tamu. Maka aku  panggil dia dan kukatakan kepadanya, "Hai Rabah, mintakanlah izin masuk  kepada Rasulullah Saw. untukku." Lalu disebutkan kisah seperti  yang^erdapat pada hadis sebelumnya. Hingga sampai pada perkataan Umar  yang mengatakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang memberatkanmu tentang  urusan istri-istrimu itu. Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya  Allah bersamamu, dan juga para malaikat-Nya, Jibril, Mikail, aku  sendiri, Abu Bakar, dan semua orang mukmin bersamamu." Setiap kalimat  yang kukatakan selalu berharap semoga Allah menurunkan wahyu yang  membenarkan perkataanku. Pada akhirnya turunlah ayat ini, yaitu ayat  Takhyir: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi  ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu.  (At-Tahrim: 5) Dan firman-Nya: dan jika kamu berdua bantu-membantu  menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan  (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari  itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. (At-Tahrim: 4)
Maka  kukatakan kepada beliau, "Apakah engkau telah menceraikan mereka?"  Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak." Maka aku berdiri di pintu masjid, dan  aku serukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi Saw. tidak menceraikan  istri-istrinya. Dan turunlah pula ayat ini, yaitu firman-Nya:

{وَإِذَا  جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ  رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ  الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ}

Dan apabila datang  kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka  lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan  Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui  kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil  Amri). (An-Nisa: 83)
Maka aku adalah orang yang mengulas berita peristiwa tersebut.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muqatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.

{وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ}

dan orang-orang mukmin yang baik. (At-Tahrim: 4)
Yakni Abu Bakar dan Umar; Al-Hasan Al-Basri menambahkan, juga Usman.
Lais  ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna  firman-Nya: dan orang-orang mukmin yang baik. (At-Tahrim: 4) Bahwa yang  dimaksud adalah Ali ibnu Abu Talib.
Ibnu Abu Hatim  mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah  menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Umar, telah menceritakan  kepada kami Muhammad ibnu Ja'far ibnu Muhammad ibnul Husain yang  mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku seorang lelaki yang  berpredikat siqah, ia me-rafa'-kannya sampai kepada Ali r.a. bahwa  Rasulullah Saw. telah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: dan  orang-orang mukmin yang baik. (At-Tahrim: 4) Bahwa orang itu adalah Ali  ibnu Abu Talib. Sanad hadis ini daif, dan dinilai munkar sekali.

Imam  Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Aun, telah  menceritakan kepada kami Hasyim, dari Humaid, dari Anas yang mengatakan  bahwa Umar telah mengatakan bahwa istri-istri Nabi Saw. berkumpul dalam  kasus kecemburuan mereka terhadap beliau  Saw. Maka kukatakan kepada mereka, "Jika Nabi menceraikan kamu, boleh  jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih  baik daripada kamu.” Maka turunlah ayat ini. Dan dalam pembahasan yang  terdahulu telah disebutkan bahwa Umar acapkali bersesuaian dengan wahyu  dalam berbagai tempat (kejadian); antara lain ialah turunnya ayat hijab,  lalu mengenai para tawanan Perang Badar, dan yang lainnya ialah ucapan  Umar sehubungan dengan maqam Ibrahim, "Sebaiknya engkau jadikan sebagian  dari maqam Ibrahim tempat salat," lalu turunlah firman Allah Swt.: Dan  jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)

Ibnu  Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah  menceritakan kepada kami Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami  Humaid, dari Anas, bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan bahwa  telah sampai kepadanya suatu berita yang terjadi di antara Ummahatul  Mu’minin dan Nabi Saw. Maka ia menasihati mereka seorang demi seorang.  Umar mengatakan kepada mereka, "Sungguh kamu harus menghentikan sikap  kamu terhadap Rasulullah Saw. yang demikian, atau benar-benar Allah akan  memberikan ganti kepadanya dengan istri-istri lain yang lebih baik  daripada kamu." Hingga sampailah Umar kepada Ummahatul Mu’minin yang  terakhir, tetapi ia disanggahnya dengan ucapan, "Hai Umar, ingatlah,  Rasulullah Saw. sendiri tidak menasihati istri-istrinya terlebih kamu."  Akhirnya Umar diam, dan turunlah firman-Nya: Jika Nabi menceraikan kamu,  boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri  yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang  bertobat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda, dan yang  perawan. (At-Tahrim: 5)
Wanita yang menyanggah Umar  dalam riwayat ini saat Umar menasihatinya adalah Ummu Salamah r.a.  Sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari.
Imam  Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnuNa-ilah  Al-Asbahani, telah menceritakan kepada kami Ismail Al-Bajali, telah  menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Sinan, dari Ad-Dahhak,  dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan ingatlah ketika Nabi  membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya  (Hafsah). (At-Tahrim: 3) Bahwa Hafsah memasuki rumahnya untuk menemui  Nabi Saw. dan ia menjumpai Nabi Saw. sedang menggauli Mariyah. Maka  Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Jangan kamu ceritakan kepada Aisyah,  maka aku akan memberimu suatu berita gembira. Sesungguhnya ayahmu akan  menjadi khalifah sesudah Abu Bakar jika aku telah tiada. Maka Hafsah  pergi dan menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Maka Aisyah r.a.  bertanya kepada Rasulullah Saw., Siapakah yang memberitahu­mu hal itu  (kekhalifahan Umar sesudah Abu Bakar)?" Nabi Saw. menjawab: Telah  diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha  Mengenal. (At-Tahrim: 3)
Aisyah r.a. berkata, "Aku tidak  mau memandangmu sebelum engkau mengharamkan Mariyah atas dirimu,"  akhirnya beliau Saw. mengharam­kannya atas dirinya. Maka Allah Swt.  menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan. (At-Tahrim:  1), hingga ayat berikutnya.
Akan  tetapi, hadis ini ditinjau dari segi sanadnya perlu diteliti kembali  karena telah jelas dari apa yang telah kami kemukakan mengenai tafsir  ayat-ayat ini.

Firman Allah Swt.:

{مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ}
yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadat. (At-Tahrim: 5)
Maknanya sudah jelas dan tidak perlu diterangkan lagi.
{سَائِحَاتٍ}
yang berpuasa. (At-Tahrim: 5)
Menurut  Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,  Ata, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Abu Abdur Rahman As-Sulami, Abu  Malik, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu  Anas, As-Saddi, dan lain-lainnya disebutkan ahli puasa.
Dalam  pembahasan terdahulu telah disebutkan sebuah hadis marfu' sehubungan  dengan makna lafaz ini dalam tafsir firman-Nya, "Assaihun, " tepatnya  dalam tafsir surat At-Taubah, lafaz hadis tersebut berbunyi sebagai  berikut:

"سياحةُ هَذِهِ الْأُمَّةِ الصيامُ".

Siyahah umat ini adalah puasa.
Lain  pula dengan Zaid ibnu Aslam dan putranya. Keduanya mengatakan  sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud ialah  wanita-wanita yang berhijrah. Lalu Abdur Rahman membaca firman-Nya: yang  melawat. (At-Taubah: 112) Yakni yang berhijrah. Akan tetapi, pendapat  pertamalah yang paling utama. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt.:

{ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا}

yang janda dan yang perawan. (At-Tahrim: 5)
Maksudnya,  di antara mereka ada yang janda dan ada pula yang perawan, agar  penganekaragaman ini lebih menambah dorongan selera dan lebih  menyenangkan hati beliau. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:  yang janda dan yang perawan. (At-Tahrim: 5)
Abul Qasim  At-Tabrani mengatakan di dalam kitab Mu’jamul Kabir­nya, telah  menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Sadaqah, telah menceritakan  kepada kami Muhammad ibnu Muhammad ibnu Marzuq, telah menceritakan  kepada kami Abdullah ibnu Abu Umayyah, telah menceritakan kepada kami  Abdul Quddus, dari Saleh ibnu Hayyan, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya  sehubungan dengan makna firman-Nya: yang janda dan yang perawan.  (At-Tahrim: 5) Bahwa Allah telah menjanjikan kepada Nabi-Nya melalui  ayat ini, Dia akan mengawinkannya dengan Asiah bekas istri Fir'aun yang  janda, dan yang perawan adalah Maryam binti Imran.
Al-Hafiz  Ibnu Asakir dalam biografi Maryam a.s. telah meriwayatkan melalui jalur  Suwaid ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh  ibnu Umar, dari Ad-Dahhak dan Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan  bahwa Jibril datang kepada Rasulullah  Saw., lalu lewatlah Khadijah. Maka Jibril berkata, "Sesungguhnya Allah  menitipkan salam buatnya, dan menyampaikan berita gembira kepadanya  dengan sebuah gedung di dalam surga yang jauh dari keramaian, tiada  kericuhan dan tiada kegaduhan padanya, gedung itu terbuat dari mutiara  yang dilubangi. Terletak di antara gedung milik Maryam binti Imran dan  gedung milik Asiah binti Muzahim."
Dan dari hadis Abu  Bakar Al-Huzali, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi  Saw. masuk (menemui) Khadijah yang saat itu sedang menjelang  kematiannya, lalu beliau Saw. bersabda:

"يَا خَدِيجَةُ،  إِذَا لَقِيتِ ضَرَائِرَكِ فَأَقْرِئِيهِنَّ مِنِّي السَّلَامَ".  فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهَلْ تَزَوَّجْتَ قَبْلِي؟ قَالَ:  "لَا"، وَلَكِنَّ اللَّهَ زَوَّجَنِي مَرْيَمَ بِنْتَ عِمْرَانَ، وَآسِيَةَ  امْرَأَةَ فِرْعَوْنَ، وَكُلْثُمَ أُخْتَ مُوسَى".

"Hai  Khadijah, apabila engkau bersua dengan madu-madumu, maka sampaikanlah  kepada mereka salam dariku.” Khadijah bertanya, , "Apakah engkau pernah  kawin sebelum denganku, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab,  "Belum, tetapi Allah telah mengawinkan aku dengan Maryam binti Imran dan  Asiah istri Fir'aun serta Kalsum saudara perempuan Musa.”
Hadis ini daif.

قَالَ  أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَرْعَرَةَ، حَدَّثَنَا  عَبْدُ النُّورِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ شُعَيْبٍ،  عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أُعْلِمتُ أَنَّ اللَّهَ زَوَّجَنِي فِي الْجَنَّةِ  مَرْيَمَ بِنْتَ عِمْرَانَ، وَكُلْثُمَ أُخْتَ مُوسَى، وَآسِيَةَ امْرَأَةَ  فِرْعَوْنَ". فَقُلْتُ: هَنِيئًا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ

Abu  Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ur'urah,  telah menceritakan kepada kami Abdun Nur ibnu Abdullah, telah  menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Syu'aib. dari Abu Umamah yang  mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku telah diberi tahu  bahwa Allah akan mengawinkanku di surga dengan Maryam binti Imran,  Kalsum saudara perempuan Musa, dan Asiah bekas istri Fir'aun. Maka aku  berkata, "Kuucapkan selamat kepada engkau, wahai Rasulullah."
Hadis ini lemah pula, dan telah diriwayatkan pula secara mursal dari Ibnu Abu Daud.
- Tafsir Ibnu Katsir
- Mafatihul ghoib

No 2. Tafsir QS. At- Tahrim Ayat 6 :

يَا  أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا  وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ  لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari  api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya  malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai (  perintah ) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan  selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”, Q.S. A-Tahrim/66: 6
Tafsir Ibnu Katsir
Mengenai  firman Allah subhanahu wa ta’ala,
 قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ  نَارًا
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid  (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran  dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah  kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa  kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau  menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka  kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada  mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu  mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat  kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian  itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan,  dimana mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari  keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan  dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang  dilarang-Nya.”
Dari uraian diatas, dapat kita ambil  poin-poin penting yang dapat kita jadikan pegangan dalam membina diri  sendiri dan orang lain :
1.       Proses pembinaan dimulai dari diri sendiri.
   Hal ini tersurat dengan jelas dalam At Tahrim yaitu “Peliharalah  dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Disini dikatakan “peliharalah  dirimu” terlebih dahulu baru setelah itu dikatakan “keluargamu”.
    Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Mujahid : ”Bertaqwalah kepada  Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada  Allah”. Disini Mujahid mengatakan bahwa kita diharuskan bertaqwa kepada  Allah terlebih dahulu, baru setelah itu kita berpesan kepada keluarga  kita untuk bertaqwa kepada Allah.
2.       Perintah  menjaga diri sendiri dengan tetap menjalankan perintah Allah SWT,  menjauhi laranagn Allah, dan bertaubat dari perkara yang menjadikan  murka Allah dan mendatangkan siksa.
3.        Kemudian, untuk mendidik diri sendiri dengan cara menjalankan terlebih  dahulu perintah Allah dan rasulnya dan  jauhkan larangan Allah dan  rasulnya, sampai seseorang merasa senang dalam menjalankannya.
- Tafsir al Kabir : s.id/alkabir
- Tafsir Thobari : s.id/thobary
Wallahu a’lam. [@santrialit]

LINK ASAL :

www.fb.com/groups/piss.ktb/1575089072513895/