PERTANYAAN 
:
Aslamualaykum, (sungkem yai 
lan poro ustadz sesepuh ) badhe nyuwun pirso yi, mohon dijelaskan tentang : saya 
mau tanya ada suatu masa'il : AlEiy seorang yang bermadzhab syafi'i, beristri 
seorang wanita bermadzhab HANAFI. Dalam mazhab Hanafi paling sedikit waktu haid 
iitu tiga hari paling banyaknya sepuluh hari. Pertanyaannya : kalau istri mas ALEiy 
yang bermazhab Hanafi apakah hari ke-sebelas boleh jimak ? [AlEiy 
MencHary ArtTea II].
JAWABAN 
:
Wa'alaikumussalaam. Jika 
seandainya berselisih pendapat (dalam masalah haid, bab istihadhoh mutahayyiroh 
) antara keyaqinan suami dan istrinya maka yang dianggap (dipakai) ialah 
keyaqinan suami bukan istrinya menurut imam Ali syibromilisi. Lihat khawasi as 
syarwani 4/299 :
وَلَوْ 
اخْتَلَفَ اعْتِقَادُهُمَا فَالْعِبْرَةُ بِعَقِيدَةِ الزَّوْجِ لَا الزَّوْجَةِ ع 
ش
Yang dimaksud i'tiqod, 
adalah i'tiqod kebolehannya dijima', lihat asybah wan nadzhoir 1/424 
:
قال 
الأذرعي : و لو اعتقد الزوج إباحة الوطء فالظاهر أن ليس لها المنع
Pada khawasi asysarwani 
:
(قَوْلُهُ 
عَلَى حَلِيلِهَا) أَيْ مِنْ زَوْجِهَا وَسَيِّدِهَا نِهَايَةٌ، وَلَوْ اخْتَلَفَ 
اعْتِقَادُهُمَا فَالْعِبْرَةُ بِعَقِيدَةِ الزَّوْجِ لَا الزَّوْجَةِ ع 
ش.
Dengan demikian kasus di 
atas Hukumnya Haidh dan Haram diJima' sebab suami Taqlid pada Imam 
Syafi'i.
Saya dari tadi mencari 
ibarot yang jauh dari kemungkinan yang mengarah pada beberapa ragam pemahaman, 
tapi tak satupun saya temukan ibarot yang menyatakan bahwa andai madzhab suami 
dan istri itu berbeda, maka pedoman suamilah yang dimenangkan meskipun istri 
sudah nyata suci dari haid. Ataupun ibarot yang menyatakan bahwa andai istri 
sudah suci menurut batasan madzhabnya, maka suami boleh menjima'nya.
Sebenarnya belum berani 
mengarahkan ibarot:
وَلَوْ 
اخْتَلَفَ اعْتِقَادُهُمَا فَالْعِبْرَةُ بِعَقِيدَةِ الزَّوْجِ لَا الزَّوْجَةِ ع 
ش
pada permasalahan lintas 
madzhab. Dan hanya menduga bahwa itu perselisihan dalam 1 madzhab dalam 
menentukan status istri ketika mengalami kebingungan, lupa, atau tidak tau sama 
sekali mengenai hal yang berkaitan dengan dirinya. Seperti dalam contoh kasus: 
"suami bersikeras mengajak untuk bermesraan di antara pusar dan lutut dengan 
bertendensi pada Qaul yang memperbolehkan istimta' selain jima'. Sementara sang 
istri menolaknya dengan berpegangan pada Qaul yang mengharamkan istimta' secara 
muthlak", maka jelas dengan ibarot tersebut pijakan suami yang dimenangkan dalam 
timbangan hukum fiqh. Walloohu a'lam bishshawaab.  [Ubaid 
Bin Aziz Hasanan, Hasanul Zain, Ki Brojol Tuo].
LINK DISKUSI : 
www.fb.com/groups/piss.ktb/528127720543374/
 
