Para pembela ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi ada kita jumpai mengatakan  hal seperti berikut
"Wahabiyah ” tidak membawa paham baru, namun mengikuti dan melanjutka n  paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang orisinil, yaitu menyeru kepada  tauhidulla h dan ittiba’ kepada Rasul-Nya Muhammad shallallah u ‘alaihi  wasallam. Dan dalam persoalan fikih mereka lebih banyak mengambil dari  mazhab Hambali yang dinisbatka n kepada Ahmad bin Hambal, murid  kesayangan  dari Imam al-Syafi’i  rahimahull ah Ta’ala. Kecuali jika  didapatkan  dalam beberapa persoalan mazhab Hambali menyalahi pendapat  ulama yang arjah (lebih kuat), yakni berdasarka n dalil yang  mendukungn ya,
 maka mereka mengambil dalil. Dan ini merupakan intisari  dari mazhab 
imam yang empat. “Jika hadits itu jelas shahih maka itulah  mazhabku” 
kata imam al-Syafi’i .
Jika seorang ulama menyampaik an sesuatu berdasarka n Al Qur'an dan  Hadits namun apa yang disampaika nnya berbeda dengan apa yang disampaika n
  oleh para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab
  yang empat maka ulama tersebut dapat dikatakan telah menyampaik an paham  baru.
Contohnya pembagian tauhid jadi tiga yakni Tauhid Rububiyyah , Tauhid  Uluhiyyah, 
 Tauhid Asma’ was Shifaat adalah sebuah paham baru karena   pembagian 
seperti itu tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa  Sahabat,
 Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan, pembagian dengan  format 
seperti itu tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah  Nabawiyyah .
Imam Mazhab yang empat yang merupakan pemimpin ijtihad dan istinbat kaum muslim tidak pernah menyampaik an adanya pembagian tauhdi jadi tiga.
Mereka lebih memilih mengikuti ajaran Wahabi dengan mengutip perkataan Imam Syafi'i ra seperti
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suaatu hadits shahih maka itulah madzhabku”
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisih i sunnah  Rasulullah  shallahu ‘alayhi wa sallam, maka berkatalah  dengan sunnah  Rasulullah  itu dan tinggalkan  perkataank u itu”
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkut an menemukan sebuah hadits shahih yang  menurut pemahaman mereka bertentang an dengan pendapat mazhab Syafi’i  maka yang bersangkut an langsung menyatakan  bahwa pendapat mazhab itu  tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan  bahwa hadits shahih  adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang  shahih, yang bersangkut an langsung mengklaim,  bahwa ini adalah mazhab  Syafi’i.
Al-Imam Nawawi menyebutka n dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab , tidak bisa sembarang orang mengatakan  demikian.
Al-Imam Nawawi menyebutka n beberapa syarat. “Sesungguh nya untuk hal  ini, dibutuhkan  seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam  mazhab yang telah dijelaskan  sebelumnya , dan dan ia harus berbaik  sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai kepada hadits tersebut, atau  belum mengetahui  keshahihan  hadits itu, dan ini hanya bisa dilakukan  oleh seseorang yang telah menela’ah semua kitab-kita b milik Imam Syafi’i  dan kitab-kita b
 para sahabat yang mengambil darinya, dan syarat ini  sulit, serta 
sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini. Syarat ini  kami sebutkan 
karena, Imam Syafi’i tidak mengamalka n dhahir hadits yang  telah beliau ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatka n hadits  itu, atau yang menasakh hadits itu, atau yang mentakhish  atau yang  menta’wilk an hadits itu.
Pernah ada seorang bermazhab Syafi’i, Abu Walid Musa bin Abi Jarud mengatakan :” Hadits tentang berbukanya  orang yang membekam maupun yang  dibekam shahih, maka aku mengatakan  bahwa Syafi’i telah mengatakan :  “Orang yang berbekam dan dibekam telah berbuka (batal)”. Maka para ulama  Syafi’i mengkritik  pendapat itu, karena Imam Syafi’I sendiri mengatahui   bahwa hadits itu shahih, akan tetapi beliau meninggalk annya, karena  beliau memiliki hujjah bahwa hadits itu mansukh.
Asy-Syeikh  Abu Amru mengatakan : ”Barang siapa menemui dari Syafi’i  sebuah hadits yang bertentang an
 dengan mazhab beliau, jika engkau sudah  mencapai derajat mujtahid 
mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka  silahkan mengamalka n hal itu“
Mereka mengaku bermazhab Hambali namun pada kenyataann ya
 mereka lebih  bersandar kepada upaya pemahaman mereka sendiri terhadap 
Al Qur'an dan  Hadits secara otodidak (upaya atau belajar sendiri) 
dengan muthola'ah   (menelaah)  kitab yang umumnya berdasarka n makna  dzahir/ harfiah/ leksikal/ tertulis/ tersurat atau pemahaman dengan  metodologi  "terjemahk an saja" dari sudut arti bahasa (lughot) dan  istilah (terminolo gi) saja. Mereka kurang memperhati kan alat bahasa  seperti  Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu  fiqih maupun ushul fiqih
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui tidak mau mempelajar i ilmu  fiqih sebagaiman a informasi yang disampaika n oleh ulama madzhab Hanbali,  al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam  kitabnya al-Suhub al-Wabilah  ‘ala Dharaih al-Hanabil ah ketika menulis  biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّاب ِ بْنُ سُلَيْمَان َ التَّمِيْم ِيُّ النَّجْدِي ُّ  وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَة ِ الَّتِيْ انْتَشَرَش َرَرُهَا فِي  اْلأَفَاقِ  لَكِنْ بَيْنَهُمَ ا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا  لَمْ  يَتَظَاهَر ْ بِالدَّعْو َةِ إِلاَّ بَعْدَمَوْ تِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَ نِيْ  بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ  عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَمَّنْ عَاصَرَ  الشَّيْخَ عَبْدَالْو َهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ  مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ  لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ   بِالْفِقْه ِكَأَسْلاَ فِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرّ َسُ فِيْه أَنَّهُ  يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ:  يَا مَا تَرَوْنَ  مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ
(ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi an Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah , yang percikan apinya telah tersebar di berbagai  penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan.  Padahal  Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-ter angan berdakwah kecuali  setelah meninggaln ya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai  menginform asikan
 kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul  Wahhab ini, bahwa
 beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak  suka belajar ilmu 
fiqih seperti para pendahulu dan orang-oran g di  daerahnya.  Sang ayah selalu berfirasat  tidak baik tentang anaknya pada  masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat ,  “Hati-hati , kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.”  Sampai  akhirnya takdir Allah benar-bena r terjadi.” (Ibn Humaid an-Najdi,  al-Suhub al-Wabilah  ‘ala Dharaih al-Hanabil ah, hal. 275). 
Mereka mengatakan  akan meninggalk an pendapat dalam mazhab Hambali  jika menyalahi pendapat ulama yang arjah (lebih kuat), yakni berdasarka n  dalil yang mendukungn ya.
Siapakah yang mereka maksud dengan pendapat ulama yang arjah (lebih kuat) ? apakah seperti ulama Al Albani ?
Ulama Al Albani tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid  Mutlak sehingga tidak ada nama mazhab yang dinisbatka n kepada namanya.  Pendapatny a tidak dapat dibandingk an dengan pendapat ulama yang  berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak seperti Imam Mazhab yang  empat. 
Ulama Al Albani adalah ulama yang mengaku-ng aku sebagai ahli hadits  namun tidak diketahui mempunyai ilmu riwayah dan dirayah dari para ahli  hadits terdahulu.  Beliau lebih mendalami hadits secara otodidak di balik  perpustaka an.
Ulama Al Albani adalah ulama yang mengaku-ng aku ahli hadits sehingga  "berani" membuat kitab cara sholat berdasarka n upaya pemahamann ya  sendiri dan dinisbatka n sebagai cara sholat Nabi Muhammad Rasulullah   shallallah u alaihi wasallam.   Bagaimana kalau upaya pemahamann ya keliru  tentu akan menyesatka n orang banyak. Kemungkina n pemahamann ya keliru  semakin besar karena beliau tidak dikenal berkompete nsi
 sebagai Imam  Mujtahid Mutlak. Ahli hadits berbeda dengan ahli fiqih 
(fuqaha). Ahli  hadits pada umumnya mereka bermazhab dengan Imam Mazhab 
yang empat.  Bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak juga membuat 
kitab cara  sholat.
Rasulullah  shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsia pa  menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya  sendiri dan merasa benar,  maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan” . (HR. Ahmad)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami  dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithi yyah  menisbahka n kepada Imam Ibn 'Uyainah, beliau berkata: "Hadits itu  menyesatka n kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)"
Imam Ibn Hajar Al-Haitami  dalam kitab tersebut lalu mensyarahk an perkataan itu:
"Sesungguh nya hadits-had its Rasulullah  shallallah u alaihi wasallam  sama seperti Al-Qur'an dari sudut bahwa keduanya mengandung  lafaz umum  yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya , bahkan ada juga yang  mengandung  nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya.   Bahkan dalam hadits juga mengandung  lafaz-lafa z
 yang dzahirnya membawa  kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… 
yang mana tidak diketahui  maknanya melainkan golongan fuqaha' (ahli 
fiqh). Berbeda dengan mereka  yang sekedar mengetahui  apa yang dzahir daripada hadits-had its  (khususnya  mutasyabih at) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham  hadits-had its mutasyabih at dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang  berlaku pada sebahagian  ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu  Taimiyyah dan para pengikutny a." (Al-Fatawa  Al-Hadithi yyah halaman 202)
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahull ah : Aku bertanya pada  bapakku : “Ada seorang lelaki yang memiliki kitab-kita b mushannaf,  di  dalam kitab tersebut ada perkataan Rasulullah  Shallallah u alaihi wa  Sallam, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi ia tidak meliliki ilmu  untuk bisa mengetahui  hadits yang lemah yang matruk dan tidak pula bisa  membedakan  hadits yang kuat dari yang lemah, maka bolehkah mengamalka n  sesuai dengan apa yang dia inginkan dan memilih sekehendak nya lantas ia  berfatwa dan mengamalka nnya?” Beliau menjawab : “Tidaklah boleh  mengamalka nnya
 sehingga ia bertanya dari apa yang ia ambil, maka  hendaknya ia beramal
 di atas perkara yang shahih dan hendaknya ia  bertanya tentang yang 
demikian itu kepada ahli ilmu” (lihat i’lamul  muwaqi’in 4/179)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita b hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan  ini: “Orang yang hanya  mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperliha tkannya kepada ulama  dan tanpa berjumpa dalam majlis-maj lis ulama, maka ia telah mengarah  pada distorsi. Para ulama tidak menganggap nya sebagai ilmu, mereka  menyebutny a
 shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai  orang 
semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi  yang 
diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang  mempelajar i ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para  ulama, maka ia melenceng dari kebenaran.  Dengan demikian, Sanad dalam  riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindar i kesalahan  semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri  al-Jahili 10)
Masalah otodidak ini sudah ada sejak lama dalam ilmu hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomenta ri
 seseorang yang otodidak berikut ini: “Abu Said  bin Yunus adalah orang 
otodidak yang tidak mengerti apa itu hadis”  (Tahdzib al-Tahdzib  VI/347)
Habib Munzir Al Musawa berkata “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahann ya
 karena  buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia 
salah atau  jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia 
tak faham ia  hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal 
pikirannya   sendiri), 
maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya  boleh 
baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru  yang 
kita bisa tanya jika kita mendapatka n masalah”
Apakah mereka meninggalk an pendapat dalam mazhab Hambali jika menyalahi pendapat Imam Mazhab yang lainnya ?
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat bukanlah perbedaan yang saling menyalahi atau saling bertentang an.
Di antara Imam Mazhab yang empat, mereka berbeda semata-mat a  dikarenaka n terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’  tersebut ada disebabkan  adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu,  pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif),   mutaghayir at disebabkan  pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash  yang digunakan sama, namun cara pengambila n kesimpulan nya berbeda. Zanni  juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat  Qur’an mengandung  sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya  beragam penafsiran .
Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu’, kata “aw lamastumun  nisa” dalam al-Qur’an terbuka untuk ditafsirka n.  Begitu pula lafaz “quru” (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirka n. Ini yang  dinamakan zanni al-dilalah .
Selain hadis mutawatir,  hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini  menunjukka n
 boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis,  tetapi 
ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja  terjadi, 
karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni  al-wurud itu 
juga ternyata banyak yang mengandung  lafaz zanni  al-dilalah .
Jadi, sudah terbuka diperselis ihkan dari sudut keberadaan nya, juga  terbuka peluang untuk beragama pendapat dalam menafsirka n lafaz hadis  itu.
* zanni al-wurud : selain hadis mutawatir
* zanni al-dilalah  : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
Nah, Syari’ah tersusun dari nash qat’i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
1.
(a) kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat’i dan ini syari’ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan  harus melihat bulan, namun kata “melihat” mengandung  penafsiran .
2.
(a) membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata “bi” pada famsahuu biru’usiku m terbuka utk ditafsirka n.
3.
(a) memulai shalat harus dengan niat (nash qat’i dan ini Syari’ah).
(b) apakah niat itu dilisankan  (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh)
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan  dalam  bentuk “ushalli” untuk menguatkan  hati sedangkan ulama lain memandang  niat dalam hati saja sudah cukup
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan "perbedaan  adalah rahmat". Sedangkan perbedaan di antara bukan  ahli istidlal adalah kesalahpah aman semata.
Ataukah mereka meninggalk an pendapat dalam mazhab Hambali dengan  barometer al-Qur’an dan As Sunnah berdasarka n pemahaman mereka sendiri ?
Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi  pendapat-p endapat Imam  Mazhab yang empat dengan barometer al-Qur’an dan As Sunnah, jelas ia  lebih berkompete nsi atau lebih pandai dari Imam Mazhab yang empat.
Apakah mereka memiliki kompetensi  seperti
a. Mengetahui  dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena  al-Quran dan as-sunnah diturunkan  Allah dan disampaika n Rasulullah   Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan  balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung   hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainy a bukan  hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa  arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui 
 dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,  bagaimana mungkin 
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan  as-Sunnah 
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d
 dalam al-Quran dan  as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada 
lafadz nash, ada lafadz  dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, 
ada lafadz muawwal, ada  yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, 
ada yang muqoyyad, ada  majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat.
 Semua itu masing-mas ing  mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung  di dalamnya.
c. Mengetahui  dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras  dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui  yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui  asbab  an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui  yang mutawatir dan yang ahad,  baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah.  Mengetahui  yang sahih dan  yang lainnya dan mengetahui  para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui  ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Pada hakikatnya  ulama pada masa kini sudah dapat dikatakan mustahil  "menghakim i"  pendapat Imam Mazhab yang empat karena sumber atau bahan  untuk melakukan ijtihad dan istinbat tidaklah mencukupi sebagaiman a  sumber dan bahan yang dimiliki oleh Imam Mazhab yang empat.
Perlu kita ingat jumlah hadits yang telah dibukukan hanya sebagian kecil dari jumlah hadits yang dikumpulka n, dihafal dan dipahami oleh  Imam Mazhab yang empat.
Contohnya kebiasaan Nabi membaca Al Qur'an setiap malam Jum'at atau hari Jum'at yang telah dibukukan adalah surat Al Kahfi
Dari Abu Sa'id al-Khudri radliyalla hu 'anhu, dari Nabi shallallah u 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَة ِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْق ِ
"Barangsia pa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka  dipancarka n cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul 'atiq."  (Sunan Ad-Darimi,  no. 3273. Juga diriwayatk an al-Nasai dan Al-Hakim)
Nabi Muhammad Rasulullah  shallallah u alaihi wasallam tidak hanya  membiasaka n membaca surat al Kahfi pada malam Juma'at atau pada hari  Jum'at. Masih banyak surat-sura t lainnya seperti surat Yasiin, Al Mulk,  Waqiah, Ar Rahmaan dan lain lainnya baik pada malam Jum'at atau pada  malam-mala m lainnya
Kebiasaan- kebiasan Nabi Muhammad Rasulullah  shallallah u alaihi  wasallam tidak semua telah dibukukan dalam kitab hadits namun  disampaika n melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dan diajarkan  dalam bentuk praktek. Untuk itulah kita dapat menanyakan   kebiasaan- kebiasan Nabi Muhammad Rasulullah  shallallah u alaihi wasallam  yang tidak terbukukan  dalam kitab-kita b hadits kepada para ulama yang  sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah  shallallah u  alaihi wasallam karena mereka mendapatka n dalam bentuk praktek dari  orang tua mereka yang tersambung  kepada Imam Sayyidina Ali ra  yang  mendapatka n pengajaran  dari Nabi Muhammad Rasulullah  shallallah u alaihi  wasallam dalam bentuk praktek pula bukan membaca atau muthola'ah  kitab.
Begitupula  banyak hadits-had its terkait akhlak atau terkait ihsan  yang tidak terbukukan  dalam kitab-kita b hadits. Contohnya hadits  “Ash-shala tul Mi’rajul Mu’minin"
Hadits-had its terkait akhlak atau terkait ihsan pada umumnya  disampaika n melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dalam bentuk  nasehat yang umumnya susunan perawi tidak diperhatik an atau tidak lagi  diingat.
Hadits-had its yang perlu diperhatik an susunan perawinya adalah hadits-had its terkait perkara syariat.
Hadits seperti “Ash-shala tul Mi’rajul Mu’minin" adalah terkait dengan  akhlak atau terkait dengan Ihsan sehingga perlu dijelaskan  oleh para  ulama yang telah sampai (wushul) kepada Allah ta'ala
Hal serupa dengan hadits Qudsi pada umumnya adalah terkait dengan akhlak atau terkait dengan Ihsan dan hanya orang-oran g tertentu yang  dapat menerima dan memahaminy a
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
"Wahabiyah
Jika seorang ulama menyampaik
Contohnya pembagian tauhid jadi tiga yakni Tauhid Rububiyyah
Imam Mazhab yang empat yang merupakan pemimpin ijtihad dan istinbat kaum muslim tidak pernah menyampaik
Mereka lebih memilih mengikuti ajaran Wahabi dengan mengutip perkataan Imam Syafi'i ra seperti
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suaatu hadits shahih maka itulah madzhabku”
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisih
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkut
Al-Imam Nawawi menyebutka
Al-Imam Nawawi menyebutka
Pernah ada seorang bermazhab Syafi’i, Abu Walid Musa bin Abi Jarud mengatakan
Asy-Syeikh
Mereka mengaku bermazhab Hambali namun pada kenyataann
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui tidak mau mempelajar
عَبْدُ الْوَهَّاب
(ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi an Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah
Mereka mengatakan
Siapakah yang mereka maksud dengan pendapat ulama yang arjah (lebih kuat) ? apakah seperti ulama Al Albani ?
Ulama Al Albani tidak dikenal berkompete
Ulama Al Albani adalah ulama yang mengaku-ng
Ulama Al Albani adalah ulama yang mengaku-ng
Rasulullah
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
"Sesungguh
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahull
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan
Masalah otodidak ini sudah ada sejak lama dalam ilmu hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomenta
Habib Munzir Al Musawa berkata “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahann
Apakah mereka meninggalk
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat bukanlah perbedaan yang saling menyalahi atau saling bertentang
Di antara Imam Mazhab yang empat, mereka berbeda semata-mat
Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu’, kata “aw lamastumun
Selain hadis mutawatir,
Jadi, sudah terbuka diperselis
* zanni al-wurud : selain hadis mutawatir
* zanni al-dilalah
Nah, Syari’ah tersusun dari nash qat’i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
1.
(a) kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat’i dan ini syari’ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan
2.
(a) membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata “bi” pada famsahuu biru’usiku
3.
(a) memulai shalat harus dengan niat (nash qat’i dan ini Syari’ah).
(b) apakah niat itu dilisankan
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan "perbedaan
Ataukah mereka meninggalk
Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi
Apakah mereka memiliki kompetensi
a. Mengetahui
b. Mengetahui
c. Mengetahui
d. Mengetahui
e. Mengetahui
Pada hakikatnya
Perlu kita ingat jumlah hadits yang telah dibukukan hanya sebagian kecil dari jumlah hadits yang dikumpulka
Contohnya kebiasaan Nabi membaca Al Qur'an setiap malam Jum'at atau hari Jum'at yang telah dibukukan adalah surat Al Kahfi
Dari Abu Sa'id al-Khudri radliyalla
مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَة
"Barangsia
Nabi Muhammad Rasulullah
Kebiasaan-
Begitupula
Hadits-had
Hadits-had
Hadits seperti “Ash-shala
Hal serupa dengan hadits Qudsi pada umumnya adalah terkait dengan akhlak atau terkait dengan Ihsan dan hanya orang-oran
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830