Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

1961. HUKUM MENJUAL TANAH WAKAF UNTUK DITUKAR DENGAN TANAH LAIN

PERTANYAAN :

Assalamu'alaikum. Langsung aja. Ada tanah waqof dari kakek, sebidang tanah sisa dari tanah waris yang sudah dibagi, tanah waqaf tersebut cuma seluas 5 m x 7 m dan letaknya walau di tengah kota tapi terjepit di belakang pertokoan hanya gang buntu selebar 1m aksesnya. Ahli waris sebagai muwakif bingung mau dimanfaatkan untuk apa.buat musholla,dekatnya selisih 10 meter sudah ada. Maka,ada inisiatif dijual aja tanah tersebut lalu uang hasil penjualan,semuanya dibelikan tanah di desa yang kebetulan ada madrasah + masjid yang membutuhkan perluasan. Pertanyaannya : Bolehkah menjual tanah wakaf tersebut lalu diganti dengan tanah lain? Makasih poro asatidz wal masyayih piss. Wassalam. (Sluman Slumun Slemet).

JAWABAN :

Wa'alaikumussalam. Al-alim, al-allamah, alfaqih. Asshufi, Assyafi'e Habib Zein bin Sumaith pernah menambahkan keterangan tentang tanah wakaf. Kata beliau boleh jual tanah wakaf, tapi peruntukkannya tidak berubah. Maksudnya, umpama wakaf itu untuk masjid, jika dijual, maka hasil harganya dibelikan untuk tanah wakaf masjid lagi. Tidak boleh untuk pesantren atau lainnya, begitu sebaliknya. Ini bisa terjadi jika memang lahan tanah wakafnya terlalu sempit, atau lokasinya tidak strategis. Pendapat ini mengacu pada pendapat Imam Hanafi yang memperkenankan mengganti barang wakafan pada yang lebih manfaat :

وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ .

"Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat kebenarannya". (As Syarqawi II/178)

فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ .

"Jika manfaat dari wakat tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut, ... jika mungkin menjual sebahagiannya untuk memakmurkan sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun, maka boleh menjual seluruhnya". (Syarhul Kabir juz III /420).

Ibarot lainnya :

( وَ ) جَازَ ( شَرْطُ الِاسْتِبْدَالِ بِهِ ) أَرْضًا أُخْرَى حِينَئِذٍ ( أَوْ ) شَرْطُ ( بَيْعِهِ وَيَشْتَرِي بِثَمَنِهِ أَرْضًا أُخْرَى إذَا شَاءَ فَإِذَا فَعَلَ صَارَتْ الثَّانِيَةُ كَالْأُولَى فِي شَرَائِطِهَا وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهَا ثُمَّ لَا يَسْتَبْدِلُهَا ) بِثَالِثَةٍ لِأَنَّهُ حُكْمٌ ثَبَتَ بِالشَّرْطِ وَالشَّرْطُ وُجِدَ فِي الْأُولَى لَا الثَّانِيَةِ ( وَأَمَّا ) الِاسْتِبْدَالُ وَلَوْ لِلْمَسَاكِينِ آلَ ( بِدُونِ الشَّرْطِ فَلَا يَمْلِكُهُ إلَّا الْقَاضِي ) دُرَرٌ

Syarah nya :
( قَوْلُهُ : وَجَازَ شَرْطُ الِاسْتِبْدَالِ بِهِ إلَخْ ) اعْلَمْ أَنَّ الِاسْتِبْدَالَ عَلَى ثَلَاثَةِ وُجُوهٍ : الْأَوَّلُ : أَنْ يَشْرِطَهُ الْوَاقِفُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِغَيْرِهِ أَوْ لِنَفْسِهِ وَغَيْرِهِ ، فَالِاسْتِبْدَالُ فِيهِ جَائِزٌ عَلَى الصَّحِيحِ وَقِيلَ اتِّفَاقًا .
وَالثَّانِي : أَنْ لَا يَشْرُطَهُ سَوَاءٌ شَرَطَ عَدَمَهُ أَوْ سَكَتَ لَكِنْ صَارَ بِحَيْثُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ بِالْكُلِّيَّةِ بِأَنْ لَا يَحْصُلَ مِنْهُ شَيْءٌ أَصْلًا ، أَوْ لَا يَفِي بِمُؤْنَتِهِ فَهُوَ أَيْضًا جَائِزٌ عَلَى الْأَصَحِّ إذَا كَانَ بِإِذْنِ الْقَاضِي وَرَأْيِهِ الْمَصْلَحَةَ فِيهِ .
وَالثَّالِثُ : أَنْ لَا يَشْرُطَهُ أَيْضًا وَلَكِنْ فِيهِ نَفْعٌ فِي الْجُمْلَةِ وَبَدَلُهُ خَيْرٌ مِنْهُ رِيعًا وَنَفْعًا ، وَهَذَا لَا يَجُوزُ اسْتِبْدَالُهُ عَلَى الْأَصَحِّ الْمُخْتَارِ

Wallohu a'lam. (Masaji Antoro, Sahlan Albanjari, Soesilo Bambang Yudhoyono).