Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

723. MAKALAH: Tidak cukup dengan hanya memenuhi syarat dan rukun-rukunnya


Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/18/mengaku-mengikuti-salaf/ telah disampaikan bahwa mereka mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya mereka tidak lebih dari mengikuti pemahaman ulama-ulama seperti ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah (pengikut Ibnu Taimiyyah), ulama Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikut Ibnu Taimiyyah), atau bahkan mengikuti pemahaman ulama Al Albani (pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab).

Oleh karena mereka  tidak mengikuti pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat sehingga merekapun pada akhirnya berselisih walaupun pada hakikatnya mereka mengikuti pemahaman ulama induk yang sama yakni ulama Ibnu Taimiyyah  sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/20/timbulnya-perselisihan/

Salah satu ulama panutan mereka, ulama Al Albani (pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pemahaman ulama  Ibnu Taimiyyah) menuliskan

انصح لكل من وقف على هذا الكتاب و غيره, ان لا يبادر الى العمل بما فيه من الاحاديث الا بعد التأكد من ثبوتها, وقد سهلنا له السبيل الى ذلك بما علقناه عليها, فما كان ثابتا منها عمل به وعض عليه النواجذ, والا تركه

"Aku nasihatkan kepada setiap orang yang membaca buku ini atau buku yang lainnya, untuk tidak cepat-cepat mengamalkan hadits-hadits yang tercantum di dalam buku-buku tersebut, kecuali setelah benar-benar menelitinya. Aku telah memudahkan jalan tersebut dengan komentar-komentar yang aku berikan atas hadits tersebut, apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya. Jika tidak ada (komentar dariku), maka tinggalkanlah hadits tersebut." (Shahih al-Kalim ath-Thayyib li ibn Taimiyyah, h.16)

Sedangkan ulama-ulama bermazhab menyampaikan pendapatnya tentang ulama Al Albani antara lain
Al-Albani tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam menetapkan nilai suatu hadis, baik shahih ataupun dhaif. la telah mengubah hadis-hadis dengan sesuatu yang tidak boleh menurut ulama hadis…” (Al-Muhaddits Prof. Dr. Abdullah al-Ghimari, Guru Besar llmu Hadis di universitas-univesitas Maroko).

Di kalangan salafi (wahabi), lelaki satu ini dianggap muhaddis paling ulung di zamannya. Itu klaim mereka. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadis terdahulu. Fantastis. Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.

Selengkapnya pendapat ulama-ulama lainnya tentang ulama Al Albani diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/13/2011/09/07/pendapat-ulama/

Ulama Al Albani adalah contoh ulama yang dikenal memahami Al Qur’an dan As Sunnah lebih bersandarkan kepada  belajar sendiri (secara otodidak)  melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri.

Para ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak)  melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya

Akibat tasybihillah bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluk Nya telah diuraikan dalam tulisan pada

Jangan sampaikan terjemahannya saja
Makna istiwa yang pantas bagiNya
Tidak ada perumpamaan bagiNya
Mustahil dibatasi atau berbatas dengan Arsy

Sedangkan tulisan kali ini menguraikan akibat negative berupa ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin. Dicontohkan dengan bagaimana pengingkaran ulama Al Albani terhadap hadits  tentang  sholat yang kehilangan ruhnya.  Hadits yang diingkarinya salah satunya adalah

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)

Pendapat ulama Al Albani , contohnya termuat pada http://almanhaj.or.id/content/2324/slash/0

matan (redaksi) hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tidak disetujui oleh syari’at ini

Kami garis bawahi
"meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh"

Dengan kata lain ulama Al Albani berkeyakinan bahwa orang terus menerus melakukan beberapa maksiat, tidak apa-apa, asalkan melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya

Padahal orang yang sholat namun masih terus menerus melakukan beberapa maksiat menandakan sholatnya lalai

Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya
`…. maka celakalah orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)
“… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai“(QS Al A’raaf 7: 205)
“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).

Dan barangsiapa tidak khusyuk dalam sholatnya dan pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah ta’ala.

Segelintir kaum muslim, ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)

Tidaklah mereka mencapai sholat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”

Allah berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).

Sholat adalah saat-saat utama bertemu dengan Allah Azza wa Jalla, hal ini dialami mereka yang telah berma'rifat atau mereka yang telah mencapai muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin)

Apakah Ihsan ?

قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim

Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Muslim yang merasa/meyakini diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah tujuan Rasulullah diutus oleh Allah ta'ala

Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Mereka yang telah mencapai muslim yang Ihsan atau muslim yang berma'rifat atau muslim yang berakhlakul kharimah atau sholihin atau shiddiqin akan termasuk orang-orang disisi Allah Azza wa Jalla. Mereka adalah para kekasih Allah atau wali Allah

Tentang derajat/tingkatan para Wali Allah telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/05/2011/09/28/maqom-wali-allah/

Manusia yang disisi Allah Azza wa Jalla hanylah 4 golongan yakni, para Nabi (Rasulullah yang utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh

Firman Allah ta’ala yang artinya
Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin,  para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Para Wali Allah, mereka saling mengenal sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/22/saling-mengenal/

Kami mengetahui setiap manusia tidak luput dari kesalahan walaupun para imam atau ulama pakar kecuali Rasulallah shallallahu alahi wasallam yang maksum. Tujuan kami menyampaikan kesalahpahaman ulama Al Albani  bukan untuk menjelekkan (menyebarluaskan aib) atau melecehkan, apalagi merendahkan seorang ulama Al Albani  namun kami lakukan semata-mata karena Allah ta'ala agar kesalahpahaman tersebut tidak diikuti atau diyakini sebagai sebuah kebenaran. Pengingkaran hadits bukanlah kesalahan yang dapat ditolerir apalagi  dilakukan oleh ulama yang dikenal oleh mereka sebagai ahli hadits.

Tentu pula apa yang disampaikan oleh ulama Al Albani tidak seluruhnya adalah kesalahpahaman. Namun harus kita ingat bahwa ulama Al Albani termasuk ulama yang tidak mau mengikuti pemahaman/pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab atau dengan kata lain Beliau termasuk ulama yang tidak bermazhab. Hal ini disampaikan oleh pakar fiqih, ulama besar Syria, DR. Said Ramadhan Al-Buthy setelah berdialog dengan ulama Al Albani. Dr. Said Ramadhan Al-Buthy menyampaikannya dalam  buku berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam. Sedikit penjelasan tetang buku tersebut dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/paham-anti-mazhab/

Jika kita ingin terhindar dari ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin maupun terhindar dari tasybihillah bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya maka ikutilah ulama-ulama yang bermazhab karena bermazhab adalah salah satu cara mempertahankan ketersambungan rantai sanad ilmu (sanad guru) sampai kepada lisannya Rasulullah. Ulama yang tidak bermazhab pada hakikatnya telah memutus rantai sanad ilmu (sanad guru) , berhenti hanya sampai akal pikiran mereka sendiri, dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.

Sanad ilmu (sanad guru) sama pentingnya dengan sanad hadits
Sanad hadits mempertanyakan atau menganalisa dari mana matan/redaksi hadits tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
Sedangkan sanad ilmu (sanad guru) mempertanyakan atau menganalisa dari mana penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah

Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan Sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi ataupun serangan ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilakukan kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakantiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakanPenuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;  “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan”  Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Tulisan kali ini kami akhiri dengan peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya yang artinya, ”Akan datang nanti suatu masa yang penuh dengan penipuan hingga pada masa itu para pendusta dibenarkan, orang-orang yang jujur didustakan; para pengkhianat dipercaya dan orang-orang yan amanah dianggap khianat, serta bercelotehnya para ‘Ruwaibidhoh’. Ada yang bertanya: ‘Apa itu ‘Ruwaibidhoh’? Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab: ”Orang bodoh pandir yang berkomentar tentang perkara orang banyak” (HR. Al-Hakim jilid 4 hal. 512 No. 8439 — ia menyatakan bahwa hadits ini shohih; HR. Ibn Majah jilid 2 hal. 1339 no. 4036; HR. Ahmad jilid 2 hal. 219, 338 No. 7899,8440; HR. Abi Ya’la jilid 6 hal. 378 no. 3715; HR. Ath-Thabrani jilid 18 hal. 67 No. 123; HR. Al-Haitsami jilid 7 hal. 284 dalam Majma’ Zawa’id).

Langkah apa yang harus diambil bila telah terjadi penipuan atau fitnah telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/12/bila-terjadi-fitnah/


Wassalam



Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830