PERTANYAAN :
Assalamu'alaikum kyai. Apakah boleh daging hewan Qurban digunakan untuk haflatul imtihan?
Maksud saya begini, jika pengurusnya tidak fakir/miskin lalu daging kurban diserahkan semua kepada pengurus untuk dijadikan hidangan acara haflah kemudian diberikan kepada hadirin yang salah satunya ada yang fakir/miskin dalam keadaan sudah dimasak jelas tidak boleh, walaupun sudah ditamlik kepada panitia, sebab memberikan daging kurban kepada orang miskin dalam keadaan sudah dimasak. Kecuali sudah diberikan kepada fakir/miskin walaupun cuma satu orang dalam keadaan mentah maka boleh.
Tapi kalau panitia ada yang fakir/miskin kemudian daging kurban ditamlik/diberikan kepada panitia itu kemudian oleh panitia tersebut dijadikan hidangan acara haflah maka hukumnya boleh. [Husna Taktim].
Waalikumussalam. Boleh. Asalkan ada daging mentah yang disedekahkan ke faqir meski hanya sedikit, kemudian sisanya digunakan konsumsi haflahtul imtihan setelah ditamlik, misalnya pengurus/santri telah mendapatkan pembagian daging mentah kemudian dimasak bareng (ini pendapat kuat) sehingga tidak terjadi kasus pembagian daging matang. Lihat Minhajil qowim :
ويجب أن يتصدق بالجزء المذكور حال كونه “نيئًا” يملكه مسلمًا حرًّا أو مكاتبًا، والمعطي غير السيد فقيرًا أو مسكينًا فلا يكفي إعطاؤه مطبوخًا ولا قديدًا ولا جعله طعامًا ودعاؤه أو إرساله إليه لأن حقه في تملكه لا في أكله ولا تملكه غير اللحم من نحو كرش
Dan I'anatut Tholibin :
إعانة الطالبين ج ٢ ص ٣٧٩
ﻭﻳﺠﺐ اﻟﺘﺼﺪﻕ ﻭﻟﻮ ﻋﻠﻰ ﻓﻘﻴﺮ ﻭاﺣﺪ ﺑﺸﻲء ﻧﻴﺌﺎ ﻭﻟﻮ ﻳﺴﻴﺮا ﻣﻦ اﻟﻤﺘﻄﻮﻉ ﺑﻬﺎ (ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﻧﻴﺌﺎ) ﺃﻱ ﻟﻴﺘﺼﺮﻑ ﻓﻴﻪ اﻟﻤﺴﻜﻴﻦ ﺑﻤﺎ ﺷﺎء ﻣﻦ ﺑﻴﻊ ﻭﻏﻴﺮﻩ. ﻓﻼ ﻳﻜﻔﻲ ﺟﻌﻠﻪ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻭﺩﻋﺎء اﻟﻔﻘﻴﺮ ﺇﻟﻴﻪ، ﻷﻥ ﺣﻘﻪ ﻓﻲ ﺗﻤﻠﻜﻪ ﻻ ﻓﻲ ﺃﻛﻠﻪ
Hal ini karena menurut ulama Syafi’iyah, wajib membagikan daging kurban dalam keadaan masih mentah, tidak boleh keadaan sudah dimasak. Imam Al Khathib Al Syarbaini mengatakan :
وَيُشْتَرَطُ فِي اللَّحْمِ أَنْ يَكُونَ نِيئًا لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَأْخُذُهُ بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْكَفَّارَاتِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ طَعَامًا وَدُعَاءُ الْفُقَرَاءِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِي أَكْلِهِ وَلَا تَمْلِيكُهُمْ لَهُ مَطْبُوخًا
“Disyaratkan pada daging (yang wajib disedekahkan) harus mentah, supaya fakir/miskin yang mengambilnya dapat mentasharruf-kan dengan leluasa dengan menjual dan semacamnya, seperti ketentuan dalam bab kafarat (denda), maka tidak cukup menjadikannya masakan (matang) dan mengundang orang fakir untuk memakannya, sebab hak mereka adalah memiliki daging kurban, bukan memakannya. Demikian pula tidak cukup memberikan hak milik kepada mereka berupa daging yang sudah dimasak.” (Khathib Asy Syarbaini, Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfazhi Al Minhaj, Beirut : Darul Ma’rifah, Cet I, 1997 / 1418, Juz IV, hlm. 388).
Menurut ulama Hanabilah, sama dengan pendapat ulama Syafi’iyyah, yaitu wajib membagikan daging kurban dalam keadaan masih mentah, tidak boleh keadaan sudah dimasak. Imam Al Buhuti, seorang ulama Hanabilah mengatakan :
فَإِنْ لَمْ يَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ نِيءٍ مِنْهَا ، ضَمِنَ أَقَلَّ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ ، كَالْأُوقِيَّةِ
“Jika pekurban tidak menyedekahkan daging kurbannya dalam bentuk daging mentah sedikitpun, maka dia wajib menjamin harganya dalam ukuran yang dapat disebut sedekah, misalnya satu uqiyah.” (Imam Al Buhuti, Kasysyaful Qina’, Juz VII, hlm. 444).
Menurut ulama Hanafiyah, boleh hukumnya membagikan daging hewan kurban dalam bentuk yang sudah dimasak. Kata Imam Al Kasani :
والأفضل أن يتصدق بالثلث ويتخذ الثلث ضيافة لأقاربه وأصدقائه ويدخر الثلث
“Yang afdhol adalah mensedekahkan sepertiganya, kemudian menjadikan sepertiganya sebagai jamuan makan untuk para kerabat dan teman [berarti sudah dimasak], dan sepertiganya lagi untuk disimpan.” (Imam Al Kasani, Bada`i’u Al Shana`i’, Beirut : Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, 1424/2002, Cet II, Juz VI, hlm. 329; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz V, hlm. 102).
Menurut ulama Malikiyyah, daging hewan kurban boleh dibagikan baik dalam keadaan masih mentah, maupun dalam keadaan sudah dimasak. Imam Ibnu Abdil Barr meriwayatkan perkataan Imam Malik sebagai berikut :
وقال مالك : لا حد فيما يأكل ويتصدق ويطعم الفقراء والأغنياء ، إن شاء نيئاً وإن شاء مطبوخاً
“Imam Malik berkata,”Tidak ada batasan pada apa yang dimakan, disedekahkan, dan diberikan sebagai makanan oleh pekurban bagi kaum fakir dan kaum kaya. Jika mau, dia boleh memberikan dalam kondisi mentah, dan jika mau, dia boleh memberikan dalam keadaan sudah dimasak.” (Ibnu Abdil Barr, Al Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah Al Maliki, Juz I, hlm. 424).
Wallohu a'lam. [Wong Awam, Dul, Aquous Deep Depth].
https://www.facebook.com/groups/piss.ktb/posts/24259295736999906/