Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

2407. Inilah Cara Bersuci Bagi Daimul Hadats

Hukum Terkait Daimul Hadats
Wanita yang mengalami pendarahan se­la­in haid dan nifas, darahnya dihukumi istihadhah. Darah istihadhah sama dengan air kenc­ing. Orang yang mengalaminya, dalam segala aspek hukum, sama dengan orang yang mengalami selalu kencing / beser (cêrcêr, jw). Orang yang sedemikian ini disebut da’imul hadats (orang yang se­lalu berhadas). Sehingga tetap wajib salat dan puasa. Bahkan boleh disetu­buhi, meskipun darahnya sedang men­galir.
Da’imul hadats yang hendak salat fardlu, wudlunya wajib dilaksanakan setelah masuknya waktu salat. Setiap akan ber­sesuci (wudlu/tayamum), wajib mem­bersihkan kemaluannya dengan air atau istinja’ dengan benda padat dsb. Lalu menyumbat lubang kemaluannya den­gan sejenis kapas yang suci.
Bila setelah disumbat hadasnya (da­rah/kencing) masih merembes keluar, ia wajib memakai pembalut dan bercelana dalam yang kuat. Untuk pria hal ini dilakukan dengan cara membalut kepala penis lalu mengikat­nya.
Semua ini dilakukan bila memang ;
1.Tidak membahayakan diri; misalnya menimbulkan rasa sakit atau panas dengan terhentinya aliran darah. Bila hal itu dirasa membahayakan / me­nyakitkan, maka boleh tidak melaku­kan penyumbatan atau pembalutan.
2.Tidak berpuasa. Bagi mereka yang berpuasa tidak boleh melakukan pe­nyumbatan. Sebab bisa membatal­kan puasa.
Kalau hadasnya masih merembes keluar karena darah/kencingnya sangat kuat –bukan karena kurang kuat dalam mem­balut–, tidak menjadi masalah. Artinya salatnya sah, karena wudlunya tidak batal. Berbeda halnya jika hadas terse­but merembes karena kurang kuat dalam membalut.
Ketika menyumbat tidak boleh ada ba­gian kain/kapas penyumbat yang keluar, atau berada pada vagina/penis bagian luar. Meskipun sedikit. Sebab bila ada penyumbat yang keluar ke vagina/penis luar –walaupun hanya sehelai benang-, maka salatnya tidak sah. Sebab dianggap membawa barang najis. Yang dimaksud vagina bagian luar adalah daerah yang tampak ketika sedang jongkok buang air.
Semua hal di atas (membasuh kelamin, menyumbat sampai dengan salat) harus dilaksanakan setelah masuknya waktu dan tidak boleh lamban. Bila setelah wudlu, ia tidak langsung salat, maka wudlunya batal. Kecuali jika kelamba­nannya tersebut untuk kemaslahatan salat, misalnya untuk menutup aurat, menunggu adzan /iqamah, mencari arah qiblat atau menunggu jamaah.
Perlu diketahui bahwa, wudlu bagi orang yang selalu berhadas (termasuk musta­hadhah) hukumnya sama dengan orang bertayammum. Dalam artian, niat wud­lunya sama dengan niat tayammum. Tidak boleh niat wudlu sebagaimana biasa. Contoh niat wudlu bagi musta­hadhah adalah; a) niat wudlu agar diper­bolehkan salat Ashar, b) niat wudlu agar diperbolehkan membaca al-Qur’an, atau lainnya. Satu kali wudlu yang diniatkan untuk salat fardlu hanya dapat dipakai untuk satu kali salat fardlu dan beberapa salat atau ibadah sunnat, sampai dengan keluarnya waktu salat. Jadi misalkan wudlunya untuk salat Zuhur, maka sete­lah melakukan salat Zuhur ia boleh me­laksanakan ibadah-ibadah sunnah yang lain –tanpa mengulangi wudlunya– sam­pai keluarnya waktu Zuhur. Setelah itu wudlunya dianggap batal.
Da’imul hadats yang setelah wudlu ha­dasnya (darah/kencing) berhenti cukup lama (cukup untuk salat dan wudlu), maka wudlunya batal. Demikian juga sebaliknya, wudlu yang dilaksanakan saat darahnya berhenti (lama) tersebut batal dengan keluarnya darah.
Mustahadhah yang memiliki kebiasaan kadang-kadang darahnya bersih (yang lama) dan kadang-kadang keluar, wajib melaksanakan salat dan wudlu pada saat masa bersih. Kecuali bila khawatir keha­bisan waktu salat. Maka wajib wudlu dan salat pada saat darahnya mengalir, tanpa menunggu masa bersih. Mustahadhah yang jika melaksana­kan shalat berdiri darahnya lebih deras dari­pada saat duduk, maka harus shalat dengan duduk. Wallah a’lam.

[ Dikutip dari Buku : DAN MEREKA BERTANYA KEPADAMU TENTANG HAID, Penulis : Nur Hasyim S. Anam ]