Syiah Rafidhoh dan Sekte Wahabi adalah sesama korban hasutan atau
korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi
Syiah artinya pengikut. Mereka yang mengaku mengikuti Imam Sayyidina
Ali ra dan keturunannya menamakan diri
mereka sebagai kaum Syiah.
Tentu tidak semua syiah adalah sesat. Jumhur ulama telah
sependapat bahwa Syiah Rafidhoh
dan syiah-syiah yang mengikuti mereka
adalah sesat.
Kalau melihat sejarah, penamaan Rafidhah ini erat kaitannya dengan
gelaran yang diberikan oleh pendiri syi’ah Zaidiyah yaitu Imam Zaid bin Ali,
yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para
pengikutnya
memberontak kepada khalifah Bani
Umayyah Hisyam bin Abdul Malik bi Marwan di tahun 121 H.
Salah seorang ulama Syi'ah Zaidiyah Imam Yahya bin Hamzah 'Alawi (w.
749 H) mendefinisikan Syi’ah
Zaidiyah sebagai: "Setiap golongan memiliki doktrin yang dibawa oleh pemimpin
masing-masing. Adapun istilah
Zaidiyah muncul setelah era Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Semenjak itulah Zaidiyah dikenal sebagai salah
satu aliran Syi’ah yang mengatasnamakan nama pemimpinnya".
Jelas dari teks diatas penamaan Syi’ah Zaidiyah dikaitkan dengan Imam
Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Zaidiyah merupakan salah
satu kelompok Syiah terbesar selain Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah
Isma’iliyah yang masih eksis sampai
saat ini.
Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w. 840 H) dalam kitabnya yang terkenal
"al-Bahru az-Zahhar"
menegaskan, bahwa ada tiga
golongan besar Syi’ah, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’ilyah (di kenal dengan Syi'ah
Bathiniyah).
Sumber-sumber sejarah
dan kitab-kitab klasik yang
membahas tentang aliran-aliran
Islam menjelaskan bahwa
sebenarnya sejarah
kemunculan Zaidiyah ditandai
ketika Imam Zaid melancarkan
revolusi melawan pemerintahan
Bani Umayyah, yang didukung oleh lima belas ribu pasukan berasal dari penduduk
Kufah di Iraq, di mana hal serupa dilakukan sebelumnya oleh kakek Imam Zaid yaitu imam Hussein bin Ali
bin Abi Talib, dan mengalami kegagalan fatal dalam pertempuran di kota Karbala, dengan
menewaskan 61 tentara Imam
Hussein bin Ali. Namun selanjutnya Imam Zaid tidak menerima kegagalan tersebut,
justru ia bersikeras untuk
meneruskan revolusi kakeknya dan
terus menerus memerangi Bani Umayyah sampai titik darah
penghabisan. Maka ia dan bala
tentaranya
meninggalkan kota Kufah menuju
tempat kekuasaan gubernur (Yusuf bin Umar at-Thsaqafi) yang merupakan agen kepala negara ketika itu (Hisyam
bin Abdul Malik bin Marwan) yang berkuasa dari tahun 105 sampai tahun 125
Hijriyah.
Tatkala kedua pasukan tersebut bertemu dan saling
berhadap-hadapan, dan sebelum
kedua pasukan tersebut memulai peperangan, pasukan imam Zaid yang berasal dari penduduk
Kufah berkata kepada Imam Zaid: "Kami akan menyokong perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap
Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi
Thalib". Imam Zaid menjawab: "bagi saya mereka berdua adalah orang yang baik,
dan saya tak pernah mendengar ucapan dari ayahku Imam Zainal Abidin tentang
perihal keduanya kecuali kebaikan. Dan kalaulah saat ini saya berani melawan dan
menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan karena mereka telah membunuh kakek saya (imam
Husain bin Ali). Di samping itu, mereka telah memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada
siang hari. Ketika itu terjadilah peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara
Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu telah menginjak-injak kehormatan kami, dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan
mereka menghujani mesjid dengan
lemparan batu dan api".
Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah
meninggalkan Imam Zaid. Dan Imam Zaid
berkata kepada mereka: "kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya".
Semenjak hari itu tentara tersebut dikenal dengan nama Rafidhah.
Jadi Syiah rafidhoh adalah bekas tentara atau bekas pengikut Imam Zaid
Rahimahullah dan tidak ada
kaitannya dengan Imam Sayyidina Ali ra dan tidak ada kaitannya pula dengan Imam
yang 12 yang merupakan keturunan Imam Sayyidina Ali ra. Ekses
negatifnya adalah mereka yang
mengaku muslim namun membenci ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait,
keturunan cucu Rasulullah
Syiah Rafidhoh yang mengaku mengikuti Ahlul Bait termakan hasutan atau
ghazwul fikri (perang pemahaman)
yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau
yang sekarang dikenal dengan Zionis Yahudi. Salah satunya adalah Abdullah bin
Saba (Yahudi dari Yaman), yang membenci Khulafaur Rasyidin.
Sedangkan Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib
pendiri madzhab Zaidiyyah mengatakan bahwa dari orang tua dan kakeknya
menyampaikan tentang sayyidina Abu
Bakar ra, Sayyidina Umar ra maupun Sayyidina Ustman ra, semuanya kebaikan.
Imam Sayyidina Ali ra bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Wahai
Rasulullah! Apakah ciri-ciri
mereka?” Baginda shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Mereka menyanjungimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu”.
Di riwayatkan oleh Imam
al-Dar Qutni dari Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhu, beliau berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
tentang ciri-ciri mereka, lalu Baginda shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ينتØلون Øب أهل البيت وليسوا كذلك وعلامة ذلك أنهم يسبون أبا بكر وعمر
“Mereka seolah-olah
mencintai ahlul bait (keluarga Nabi), padahal mereka tidak
sedemikian dan tandanya ialah mereka
mencaci Abu Bakar dan ‘ Umar”
Nasib Abdullah bin Saba’ pada akhir hayatnya menjadi orang buangan, yang
dibuang oleh Sayyidina Ali ra setelah beliau menjadi Khalifah keempat, Beliau
marah karena dia membuat fitnah atas diri Beliau, dia akhirnya dibuang ke daerah
Madain.
Kelompok Abdullah bin Saba’ ini terpisah menjadi 2 ( dua ) kelompok besar,
yaitu :
1. Kelompok yang menyatakan bahwa sesungguhnya Sayyidina Ali ra adalah Allah sendiri yang
menciptakan segala sesuatu dan
memberi rizki. Dalam hal ini, Sayyidina Ali ra mengajak mereka
berdialog, namun mereka ternyata
bersikeras
mempertahankan
pendapatnya. Maka akhirnya
Sayyidina Ali ra membakar orang– orang yang diketahui dari golongan mereka
dengan api. Kemudian golongan mereka berkata : “Seandainya Ali bukan Allah itu sendiri tentu ia tidak
membakar mereka dengan api. Karena sesungguhnya tidak akan melakukan
pembakaran dengan api kecuali
Tuhan.” Mereka berkeyakinan
bahwa Ali akan menghidupkan
mereka, setelah ia membunuh mereka. Mereka inilah orang-orang yang membawa kepercayaan bahwa tuhan melakukan penitisan kepada
makhluknya beserta
cabang-cabang
kepercayaan ini meliputi
faham-faham yang sesat.
2. Kelompok yang memberontak terhadap Sayyidina Ali ra setelah
terjadinya perang Shiffin.
Mereka juga menuduh Sayyidina Ali Kafir, karena beliau telah
menghentikan
peperangan dan
menyetujui Tahkim dengan
kitabullah dalam
menyelesaikan
perselisihan yang terjadi
Sayyidina Ali ra dan Muawiyah ra. Sebagian dari mereka juga ada yang
mengkafirkan ketiga orang
Khalifah sebelum Sayyidina Ali ra. Mereka ini telah membunuh seorang Tabi’in
besar yang bernama Abdullah bin Khobbab ra dan istrinya, karena ia memuji
keempat Khulafaur Rasyidin. Kemudian ketika Sayyidina Ali ra meminta agar mereka
menyerahkan para
pembunuhnya, mereka menolak
sambil berkata: “Kami semua ikut membunuh mereka dan kami semua
menganggap halal terhadap
darah-darah kalian dan
darah-darah mereka semua.”
Sedangkan sekte Wahabi adalah pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab. Dinisbatkan kepada nama
Ayahnya adalah sekedar untuk membedakan antara ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
dengan ajaran Nabi Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hal serupa dinisbatkan mazhab Hambali bukan mazhab Ahmad kepada hasil ijtihad
dan istinbat yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal
Pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab merasa atau mengaku mengikuti
manhaj atau mazhab Salaf dan menamakan diri mereka sebagai Salafi.
Imam Mazhab yang empat yang telah diaku oleh jumhur ulama sebagai para
ulama yang berkompetensi sebagai
Imam Mujtahid Mutlak atau para ulama yang terbaik dalam memahami Al Qur'an dan
As Sunnah dan Imam Mazhab yang empat bertemu langsung dengan Salafush Sholeh
tidak pernah menjelaskan dan
menyampaikan betapa
pentingnya manhaj atau mazhab
Salaf. Penamaan mazhab dinisbatkan kepada nama ulama yang melakukan ijtihad dan
istinbat serta ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab merasa atau mengaku
mengikuti pemahaman Salafush Sholeh. Tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush
Sholeh sehingga mendapatkan pemahaman
Salafush Sholeh
Apa yang ulama mereka katakan sebagai pemahaman Salafush Sholeh adalah
ketika mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut
Tabi’in, Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah
mengetahui pemahaman Salafush Sholeh.
Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits tersebut.
Mereka berijtihad
dengan pendapatnya terhadap
hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada
hakikatnya adalah hasil ijtihad
dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka
sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka
mengatakan kepada orang banyak bahwa
apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar
dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil
ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atasnamakan kepada Salafush Sholeh.
Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap
Salafush Sholeh. Fitnah dari orang-orang yang serupa dengan Dzul
Khuwaishirah dari Bani Tamim Al
Najdi yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas
kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah
mengabarkan kepada kami Syu’aib
dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu
Sa’id Al Khudriy radliallahu
‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang
membagi-bagikan
pembagian(harta), datang Dzul
Khuwaishirah, seorang laki-laki
dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata:
Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat
adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat
adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang
lehernya!. Beliau berkata:
Biarkanlah dia. Karena dia nanti
akan memiliki teman-teman yang
salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka,
puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke
tenggorokan mereka. Mereka
keluar dari agama seperti melesatnya
anak panah dari target (hewan buruan). (HR Bukhari 3341)
Jadi pada hakikatnya
syiah Rafidhoh maupun sekte Wahabi adalah sesama korban hasutan atau korban
ghazwul fikri (perang pemahaman)
yang dilancarkan oleh kaum
Zionis Yahudi sehingga boleh jadi mereka seperti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi yang
pemahamannya telah keluar (kharaja)
dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga disebut juga
kaum khawarij.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya
yang keluar.
Orang-orang seperti
Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An
Najdi , mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah
(hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas
mereka
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an.
Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat
kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an
dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun
ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai
melewati batas tenggorokan.
Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari
busurnya”. (HR Muslim 1773)
“
Shalat mereka tidak sampai melewati batas
tenggorokan” mempunyai makna
majaz yakni maknanya sholat mereka tidak sampai ke hati. Sholatnya tidak
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sehingga mereka semakin jauh dari Allah
ta’ala
Rasulullah bersabda,
“
Barangsiapa yang shalatnya
tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari
Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025,
11/46)
Firman Allah ta’ala yang artinya “
Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”
(QS al Ankabut [29]:45).
Orang-orang seperti
Dzul Khuwaisarah at Tamimi an
Najdi atau khawarij karena pemahaman mereka telah keluar (kharaja) dari
pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani
menghardik Sayyidina Ali bin Abi
Thalib telah berhukum dengan thagut, berhukum dengan selain hukum Allah.
Semboyan kaum khawarij pada waktu itu adalah “La hukma illah lillah”,
tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah. Sayyidina Ali ra
menanggapi semboyan tersebut
berkata , “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah).
Kaum khawarij salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan
barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang
kafir”. (QS: Al-Maa’idah: 44). Kesalahpahaman kaum khawarij sehingga
berkeyakinan bahwa Imam Sayyidina Ali
ra telah kafir dan berakibat mereka membunuh Sayyidina Ali ra
Abdurrahman ibn Muljam
adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah,
melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan
Al-Qurannya sangat baik. Karena
bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus
untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena
ilmunya yang dangkal (pemahamannya tidak melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia malah
terpangaruh oleh hasutan
(gahzwul fikri) orang-orang
Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun
terpengaruh. Ia
tinggalkan tugasnya mengajar dan
memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi
menjadi eksekutor pembunuhan Imam
Sayyidina Ali ra.
Syiah Rafidhoh maupun sekte Wahabi adalah sesama korban hasutan atau
korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka membaca
Al Qur'an atau memahami Al Qur'an dan Hadits dengan makna
dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahaminya dengan metodologi "terjemahkan saja" dari sudut arti bahasa (lughot) dan
istilah (terminologi) saja.
Sebagaimana
kompetensi kaum Zionis Yahudi
dalam memahami Al Qur’an dan As sunnah untuk keperluan menghasut atau ghazwul
fikri (perang pemahaman)
sehingga menimbulkan
perselisihan pada kaum muslim karena
perbedaan pemahaman.
Contohnya Syiah Rafidhoh mengatakan bahwa ahlul bait adalah maksum dan membenci
Khulafaur Rasyidin karena dianggap telah mengkhianati wasiat dari Rasulullah di Ghadir Khum
Sedangkan sekte Wahabi selalu mengedepankan potongan perkataan Rasulullah yang artinya "
Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku" .
Bahkan mereka menambahkan dengan
pendapat mereka bahwa “
Sezuhud-zuhudnya, sewara’-wara’nya, se tawadhu’-tawadhu’nya generasi Khalaf….Tidak akan pernah mampu menandingi generasi salaf”
Jadi pada hakikatnya
sekte Wahabi berpendapat bahwa
generasi salaf seolah-olah
maksum. Padahal pada generasi Salaf ada juga yang bertemu dengan
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
namun tidak sholeh yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi
Periodisasi salaf dan
khalaf adalah hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi agar umat Islam tidak
mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang
empat yang termasuk ulama khalaf karena tentunya mereka hidup setelah generasi
Salafush Sholeh sampai akhir zaman
Khulafaur Rasyidin memang termasuk tujuh kelompok yang berempat
(Assab’ul-matsani)
sebagaimana yang telah
disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/16/yang-dikaruniai-nikmatnya/
Sedangkan sebaik-baik
manusia tidak dibatasi oleh generasi. Sebaik-baik manusia tidak terbatas pada generasi Salaf namun
diikuti generasi-generasi
berikutnya bagi mereka yang
bersaksi bahwa “Muhammad adalah utusan Allah”. Ini terkait dengan firman Allah
ta’ala yang artinya, “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia” (QS Ali
Imran [3]:110 ).
Sahabat dikatakan “sebaik-baik manusia” karena termasuk manusia awal yang
“melihat” Rasulullah atau
manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat.
Ibnu Hajar al-Asqalani
asy-Syafi’i berkata:
“Ash-Shabi (sahabat) ialah orang
yang bertemu dengan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam, beriman
kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam“
Begitu pula dengan Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Sahabat) maupun Tabi’ut Tabi’in
(orang yang “melihat”/”bertemu”
dengan Tabi’in adalah “sebaik-baik manusia” karena mereka termasuk manusia awal
yang bersaksi atau bersyahadat.
Bahkan Allah Azza wa Jalla menjamin untuk masuk surga bagi
“sebaik-baik manusia” paling
awal atau manusia yang bersaksi/bersyahadat paling awal atau yang membenarkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah ta’ala
paling awal atau as-sabiqun
al-awwalun. Hal ini
dinyatakan dalam firmanNya yang
artinya, “Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar”. (QS At Taubah [9]:100 )
Mereka yang termasuk 10 paling awal bersyahadat/bersaksi atau yang termasuk
“as-sabiqun
al-awwalun” adalah, Abu Bakar
Ash Shidiq ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra,
Thalhah bin Abdullah ra, Zubeir bin Awwam ra, Sa’ad bin Abi Waqqas ra, Sa’id bin
Zaid ra, ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra dan
Abu ‘Ubaidah bin Jarrah ra .
Jadi yang disebut generasi terbaik atau sebaik-baik manusia adalah bagi seluruh umat Nabi Sayyidina
Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam atau bagi seluruh manusia yang telah bersaksi/bersyahadat atau bagi seluruh muslim sampai akhir zaman.
Seluruh muslim mempunyai kesempatan
untuk menjadi sholeh tanpa dibatasi zaman kapan mereka hidup.
Sedangkan ahlul bait atau keturunan cucu Rasulullah tentulah tidak maksum karena
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yang
bersifat maksum
Namun ulama dari kalangan ahlul bait maupun ulama dari generasi khalaf
mempunyai kesempatan untuk
meraih ishmah yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki
dapat berbeda-beda
tergantung hubungan yang tercipta
antara Allah dengan hambaNya.
Hubungan yang bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah
(pertolongan) Allah kepada al-awliya
(para wali).
Tanda seorang muslim yang meraih maqom (derajat) disisiNya atau yang
mempunyai hubungan yang dekat dengan Allah adalah ke-sholeh-annya sehinga berkumpul dengan
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam,
para Nabi, para Shiddiqin, para
Syuhada
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”
…Sekiranya kalau
bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi
Allah membersihkan siapa saja
yang dikehendaki…” (QS
An-Nuur:21)
“
Sesungguhnya Kami
telah mensucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka)
akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pada sisi
Kami benar-benar termasuk
orang-orang pilihan yang paling
baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“
Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“
Tunjukilah kami
jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS
Al Fatihah [1]:6-7)
“
Dan barangsiapa
yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu :
Nabi-nabi, para
shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid,
dan orang-orang sholeh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih
maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah
shiddiqin, muslim yang
membenarkan dan
menyaksikan Allah dengan hatinya
(ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin
sebagaimana yang diuraikan dalam
tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
bersabda “sesungguhnya ada di
antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula
para Syuhada’. Mereka dirindukan
oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka
di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai
Rasulullah? Semoga kita dapat
mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya:
“Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah
bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda,
wajah-wajah mereka
memancarkan cahaya dan mereka
berdiri di atas mimbar-mimbar
dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia
merasakannya dan tiada mereka berduka
cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam
kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya diantara
hamba-hambaku itu ada manusia
manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada
hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan
syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan
mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling
menyayangi karena Allah ‘Azza wa
Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling
menyayangi bukan karena
hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan
mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti
yang disusahkan manusia,”
kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “
Para Wali-Ku
itu ada dibawah naungan-Ku,
tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah
memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “
Para wali Allah merupakan
pengantin-pengantin di bumi-Nya dan
takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana
(cara) mengenal Waliyullah, ia
menjawab: “
Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada
orang-orang yang serupa dengan
mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk
mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
As Sarraj at-Tusi mengatakan
: “
Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa
sebenarnya wali itu dan
bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang
Allah dan hukum-hukum Allah, dan
mengamalkan apa yang
diajakrkan Allah kepada mereka.
Mereka adalah hamba-hamba Allah
yang tulus dan wali-wali-Nya yang
bertakwa“.
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “
berfirman Allah
Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di hadhirat-Ku, yang paling menerbitkan iri-hati ialah si mu’min yang kurang hartanya,
yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling baik ibadat kepada
Tuhannya, dan taat kepada-Nya
dalam keadaan tersembunyi maupun
terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak tertuding dengan telunjuk.
Rezekinya secukupnya, tetapi iapun
sabar dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam menjentikkan jarinya, lalu bersabda:
”
Kematiannya
dipercepat, tangisnya hanya
sedikit dan peninggalannya amat
kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)”. (HR. At Tirmidzi,
Ibn Majah, Ibn Hanbal)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
telah menyampaikan wasiat bahwa
setelah wafatnya Beliau maka pengganti Beliau sebagai Imamnya para Wali Allah
adalah Sayyidina Ali ra dan kedudukan dan tugas Imam Wali Allah seperti Nabi ,
penerus pemimpin perjuangan
agama, namun kita ketahui, paham dan yakini bahwa tiada Nabi setelah
Rasulullah.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika
beliau mengangkatnya sebagai
pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda
meninggalkanku bersama para
wanita dan anak-anak! beliau
menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa?
hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada
Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang
mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga
mencintainya. Maka kami semuanya
saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda:
Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Wasiat seperti di atas yang pada umumnya disalahpahami oleh umumnya kaum Syiah, khususnya oleh Syiah
Rafidhoh sehingga menimbulkan
perselisihan karena perbedaan
pendapat yang bahkan dapat berakibat saling membunuh di antara manusia yang
telah bersyahadat.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang
hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta
pertanggung jawaban) pada hari kiamat
nanti? ‘ (HR Muslim 142)
Jadi apa yang diperselisihkan oleh kaum Syiah bahwa Sayyidina Abu Bakar ra
ataupun Sayyidina Umar ra “merebut” kepemimpinan atau khalifah dari Imam Sayyidina Ali ra atau
bahkan anggapan keji bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra
mengkhianati ketetapan
Rasulullah di Ghadir Khum adalah
merupakan kesalahpahaman karena
sesungguhnya
kepemimpinan pada wilayah yang
berbeda.
Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak sebagai Nabi namun bukan Nabi
karena tidak ada Nabi setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau adalah Imam para Wali
Allah
Imam para Wali Allah yakni imam dari para kekasih Allah (Wali Allah)
yakni hamba-hamba Allah yang
menegakkan agama Allah dengan
penuh keberanian dan
keikhlasan, sehingga agama Allah
tidak akan punah dari peredarannya.
Bumi ini tidak akan kosong dari Imam dan para Wali Allah. Setiap mereka
wafat maka Allah Azza wa Jalla akan menggantikan mereka dengan yang lain sehingga agama Islam beserta
Al Qur’an tetap terjaga sampai akhir zaman
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i:
“Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh
keberanian dan
keikhlasan, sehingga agama Allah
tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan
dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak
banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah
menjaga agamaNya dan syariatNya,
sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka
menyebarkan ilmu dan ruh
keyakinan. Mereka tidak suka
kemewahan, mereka senang dengan
kesederhanaan. Meskipun tubuh
mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah
khalifah-khalifah Allah di muka bumi
dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada
mereka”
Sebagaimana yang telah
disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/16/yang-dikaruniai-nikmatnya/ Imam Mazhab yang empat adalah termasuk
Assab’ul-matsani atau para
penunjuk dalam perkara syariat. Sedangkan para penunjuk untuk perkara
memperjalankan diri atau
mendekatkan diri kepada Allah adalah
para Wali Allah dengan para pemimpin Wali Allah.
Assab’ul-matsani atau
Empat pemimpin para imam atau pemimpin para auliya’ullah yang disebut dengan al-Aqthab
al-Arba’ah (empat wali kutub)
/ A’immatuththariqah wal-haqiqah setiap zaman sampai akhir zaman. Contohnya
adalah Syekh Ahmad Arrifa’i, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani, Syekh Ahmad al-Badawi dan Syekh Ibrahim Addusuqi
Radliallahu anhum ajma’in dan
seterusnya
Imam yang 12 adalah termasuk imam para Wali Allah dan termasuk
Assab’ul-matsani pada setiap
zaman atau generasinya. Imam para Wali
Allah tidak terbatas pada Imam yang 12 dan akan berlanjut pada setiap generasi
hingga akhir zaman.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830