Buku  berjudul Tuanku Rao yang ditulis oleh Mangaradja Onggang  Parlindungan ,  melihat Gerakan Paderi dengan 
sudut pandang etnis Batak  bahwa Gerakan  Paderi (1803-1837) selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab,
  merupakan  gerakan radikalisme
 Hambali Zealots
Dalam buku tersebut  diuraikan bahwa gerakan perang Paderi  
dilatarbelakangi 
perintah langsung  Abdullah Ibn Saud Raja Arab Saudi  kepada tiga 
tawanan perang bersuku  bangsa Minangkabau Kolonel Haji  Piobang, Mayor Haji Sumanik 
dan Haji  Miskin.
Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut  Mekkah 
dari  tangan Turki, 1802. Para pecundang tidak dihukum mati boleh  lepas
  bebas. Kompensasinya, 
mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi   sesampai di kampung 
halaman.
Pembentukan 
pasukan Wahabi  Minangkabau
 dipercayakan pada 
Kolonel  Haji Piobang. Tentara Wahabi  Minangkabau bentukan para tawanan Raja  Abdullah Ibn 
Saud, cikal bakal  pasukan Paderi.
Begitulah pandangan dari Mangaradja Onggang Parlindungan tentang gerakan paderi dari sudut 
pandangnya sendiri.
Perang Paderi pada awalnya adalah peperangan  antara bangsa Indonesia  sendiri yakni yang 
dikatakan kaum adat melawan  kaum agama.
Perang Paderi merupakan provokasi Belanda untuk  menutup kontak
  dagang Amerika Serikat dan Inggris yang merupakan sekutu  kerajaan  
dinasti Saudi sebagaimana
 yang dapat diketahui dari buku  berjudul “Api  Sejarah”, karya Ahmad 
Mansur Suryanegara 
yang diterbitkan  
Salamadani  Pustaka Semesta,
 cetakan I Juli 2009 pada halaman 169
***** awal kutipan *****
“Amerika Serikat, jauh sebelum meletusnya perang Padri, 1821-1837 M,   sudah 
mengadakan kontak 
dagang dengan Indonesia di Agam Sumatra Barat.   Kedatangan Amerika serikat menimbulkan kelompok Wahabi kuat   perekonomiannya. Namun, kolonial Belanda berusaha
 meniadakan pengaruh  
 Amerika Serikat di Sumatra Barat, dengan menggunakan potensi kaum adat   melawan Wahabi 
dalam Perang Padri yang berlangsung
 selama 17 tahun.”
Pada 1821 – 1837 M, pecah Perang Padri di Sumatra Barat yang 
dipimpin   oleh Imam Bondjol. Perang ini terjadi sebagai dampak dari 
provokasi   Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan 
Inggris yang   melakukan pendekatan
 dengan masyarakat 
Sumatera Barat mempergunakan
   paham sekutunya yakni paham Wahabi.
***** akhir kutipan *****
Namun, sejak awal 1833, perang itu berubah menjadi perang 
antara yang   dikatakan kaum adat dan kaum agama melawan Belanda  
setelah penyesalan   Tuanku 
Imam Bonjol atas pemahaman Wahabi (Haji Miskin dan kawan   kawannya)
Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)—lihat  transliterasinya oleh  Sjafnir Aboe Nain (Padang: 
PPIM, 2004), sebuah  sumber pribumi yang  penting mengenai Perang Paderi
 yang cenderung  diabaikan para sejarawan  selama ini—mencatat bagaimana kedua pihak  bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak 
yang dulunya  bertentangan
 akhirnya bersatu melawan musuh  bersama: Kompeni Belanda. Di  ujung 
penyesalan muncul 
kesadaran bahwa  mengundang
 Kompeni ke dalam  konflik itu telah semakin menyengsarakan  masyarakat Minangkabau sendiri.
Di dalam MTIB terefleksi
 rasa penyesalan 
Tuanku Imam Bonjol atas   tindakan Kaum Paderi terhadap sesama orang 
Minang dan Mandailing.
Tuanku Imam Bonjol sadar bahwa perjuangannya sudah melenceng dari  ajaran agama. “
Adapun
 hukum Kitabullah banyaklah 
yang terlampau dek oleh  kita. Bagaimana pikiran kita?”  
(Adapun banyak hukum Kitabullah
 yang  sudah terlangkahi 
oleh kita.  Bagaimana pikiran kalian?), demikian tulis  Tuanku Imam 
Bonjol dalam  MTIB (hlm.39).
Sadar akan kekeliruan
  itu, Tuanku Imam Bonjol lalu mengirim  kemenakannya, Fakih Muhammad, dan  Tuanku Tambusai
 ke Mekah untuk  belajar mengenai “kitabullah nan adil”  (Hukum Kitabullah yang  sebenarnya).
Ikut juga kemenakan Tuanku  Rao bernama Pakih Sialu, dan Kemenakan  
Tuanku Kadi (salah seorang rekan  Tuanku Imam Bonjol) bernama Pakih  
Malano (MTIB, hlm. 36-40).
Pada 1832, empat orang utusan itu kembali dan membawa kabar 
tentang   penyerbuan 
Nejed oleh pasukan Mesir yang diutus Sultan Turki Utsmani.   Para 
pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab telah ditaklukkan secara brutal   oleh Turki Utsmani.
Mengetahui 
kabar seperti itu, Imam Bonjol  mengadakan pertemuan  penting, masih pada 1832 itu
 juga. Di tengah para  tuanku, hakim-hakim  syariat dan penghulu-penghulu, Imam Bonjol  mengumumkan semacam gencatan  senjata. Semua 
harta rampasan turut  dikembalikan.
Lebih dari itu, Imam Bonjol menarik diri dari  segala bentuk  
keyakinan yang pernah ia pegang. Ia juga menginsafi segala  keinginannya  untuk ikut-campur dalam wewenang adat dan meminta maaf  kepada
 para  pemuka adat yang telah banyak dirugikan.
Semua  itu terjadi jauh sebelum penangkapannya. Imam Bonjol sendiri  baru  
ditangkap pemerintah 
Hindia Belanda pada 1838, setelah terjadi  perang  besar-besaran antara pasukan Belanda dan rakyat 
Minangkabau.  Setahun 
 kemudian Imam Bonjol dibuang ke Ambon dan pada 1841 dipindahkan  ke  Manado. Ia meninggal-dunia di pembuangan pada 1864 sebagai seorang   laki-laki 
tua yang bercocok-tanam di 
sebidang tanah kecil.
Sebelum meninggal-dunia,
 Imam Bonjol sempat berwasiat kepada putranya.  “
Akui hak para 
penghulu adat,” pesannya. “
Taati  mereka. Kalau ini tidak
  bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang  benar dan hanya memiliki 
gelar  saja. Sedapat mungkin, setialah pada  adat. Dan kalau pengetahuannya  belum cukup, pelajarilah dua puluh  sifat-sifat Allah”.
Dari  wasiat Imam Bonjol untuk mempelajari kembali "
dua puluh sifat-sifat  Allah" adalah pengakuan beliau bahwa "
pembagian
 tauhid jadi tiga" telah  menjadi faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab 
munculnya  ekstremisme
 atau radikalisme
Hal ini sesuai dengan apa yang  disampaikan oleh ulama yang sholeh  keturunan cucu
 Rasulullah shallallahu  alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr.  
Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi  Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid  
Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki  Alasy’ari Assyadzili dalam  makalahnya pada pertemuan nasional dan dialog 
pemikiran yang kedua, 5  s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah mengatakan
***** awal kutipan *****
“Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor 
  terpenting dan 
dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau   radikalisme adalah apa yang kita saksikan bersama 
pada metode   pembelajaran 
tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut   terdapat 
pembagian tauhid menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh 
generasi   salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. 
Bahkan,   pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al 
Qur’an atau   Sunnah Nabawiyyah.
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih  merupakan ijtihad
 yang  dipaksakan 
dalam masalah ushuluddin
 serta tak  ubahnya seperti tongkat  yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat  Islam dengan  
konsekuensi hukumnya 
yang memunculkan 
sebuah konklusi  bahwa kebanyakan
  umat Islam telah kafir, menyekutukan
 Allah, dan lepas  dari tali  tauhid.”
***** akhir kutipan *****
Contoh radikalisme 
dapat kita ketahui dari tulisan pada 
http://allangkati.blogspot.com/2010/07/keganasan-wahabi-di-pakistan.html
***** awal kutipan ****
Para pengikut ajaran wahhabi adalah kelompok yang sangat 
membencikan   
orang-orang sufi dan 
mengkafirkan mereka, 
mereka menganggap 
bahwa orang   -orang sufi menyembah kuburan-kubura wali sehingga halal darahnya di   
bunuh, pemahaman ini bersumber dari aqidah mereka yang menyatakan bahwa   tauhd itu terbagi kepada tiga 
bahagian, tauhid Rububiyah,
 tauhid   Uluhiyah, tauhid asma` dan sifat, orang-orang sufi hanya percaya dengan   tauhid 
rububiyyah dan tidak 
menyakini tauhid uluhiyyah,
 sebab itulah   mereka kafir dan boleh di bunuh, bahkan mereka 
mengatakan bahwa   
orang-orang kafir 
qurasy lebih bagus tauhidnya daripada orang-orang   sufi.
*****akhir kutipan 
*****
Pada hakikatnya
 tauhid  Rububiyyah 
dan Tauhid Uluhiyah tidak dapat  dipisahkan karena ada  keterkaitan (talazum) yang sangat erat. Salah  
satunya tidak terpenuhi  maka tidak dikatakan bertauhid atau beriman.  
Tidak dikatakan kaum non  muslim itu bertauhid atau beriman dan tidak  
ada pula istilah mukmin  musyrik sebagaimana yang dapat diketahui dalam  tulisan pada  
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/10/mukmin-musyrik/
Istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutukan Tuhan) dua term yang berbeda, 
sehinga tidak bisa disandingkan.
Tujuannya sebenarnya
 pembagian tauhid jadi tiga adalah untuk   membenarkan pendapat mereka bahwa orang-orang yang melakukan   istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para 
Wali Allah dan para Nabi   itu telah beribadah kepada selain Allah dan 
melanggar Tauhid Uluhiyyah   sehingga timbullah sikap ekstrimisme atau radikalisme dalam bentuk  vonis  syirik.
Salah satu gurunya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab  yakni 
Syaikh  Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat  berisi  nasehat:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena  Allah, tahanlah  lisanmu dari
 mengkafirkan kaum 
muslimin, jika kau  dengar seseorang  meyakini bahwa orang yang 
ditawassuli bisa 
memberi  manfaat tanpa  kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan 
terangkan  dalilnya  bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat 
maupun  madharrat, 
kalau  dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak  mungkin 
kau  mengkafirkan 
As-Sawadul A’zham 
(kelompok mayoritas)  
diantara kaum  muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar,  
orang yang  menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran,  sebab dia  tidak mengikuti jalan muslimin.”
Kesesatan atau kesalahpahaman
 ulama Ibnu Taimiyyah yang merupakan  teladan dari ulama Muhammad bin 
Abdul Wahhab,  yang paling pokok adalah  hasil istiqro (telaah) pada 
Tauhid Asma’ was Shifaat.
Tauhid Asma’  was Shifaat dihasilkan dengan metodologi tafsir bil  matsur, mengumpulkan  nash-nash Al Qur’an maupun Hadits 
untuk kata-kata  terkait namun  memaknainya dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat  atau  memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti  bahasa  
(lughot) dan istilah (terminologi)
 saja.
Mereka kurang  memperhatikan
 alat-alat bahasa seperti nahwu, shorof,  balaghoh dan tidak  pula 
memperhatikan  sifat 
lafad-lafad dalam al-Quran  
dan Hadits yang  beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz  
dlahir, ada lafadz  mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada  
yang umum, ada yang  khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada  
majaz, ada lafadz  kinayah selain lafadz hakikat.
Dalam tauhid Asma’ was Shifaat  contohnya mereka menolak makna 
majaz.  Mereka katakan biarkanlah
 Allah  ta’ala mensifatkan
 apa yang ingin Dia  sifatkan. Mereka menyampaikan  sifat Allah tanpa menyaksikan Allah  ta’ala dengan hati mereka.
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita   untuk tidak 
memahami ayat mutasyabihat 
tentang sifat dengan makna   dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya  al-Burhan  
al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
 Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma  Tasyabaha  Minal Kitabi Was Sunnati 
Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,  “
Jagalah aqidahmu dari 
berpegang dengan dzahir ayat dan hadis  mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal 
kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam  “Tanbiat  Al-Ghabiy Bi Tabriat 
Ibn ‘Arabi” mengatakan
 “Ia (ayat-ayat  
mutasyabihat)  
memiliki makna-makna 
khusus yang berbeda dengan makna  yang dipahami  oleh orang biasa. 
Barangsiapa memahami 
kata wajh Allah,  yad , ain dan  istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah
  Allah, tangan,  mata, bertempat),
 ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara  pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati   Allah 
ta’ala dengan sifat-sifat
 benda dan anggota-anggota
 badan adalah   mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn  Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan 
dari  umat Islam ini ketika  kiamat telah dekat akan kembali menjadi  
orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah 
sebab   kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena 
  pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka  menjadi 
kafir  karena pengingkaran.
 Mereka mengingkari 
Pencipta mereka  (Allah  Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda  dan  anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil
 Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
 dapat kita ketahui bahwa
- Barangsiapa
 mengi’tiqadkan 
(meyakinkan) bahwa 
Allah Subhanahu wa   Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim   lainnya), maka orang tersebut hukumnya 
“Kafir (orang yang kufur dalam   i’tiqod)
- Barangsiapa
 mengi’tiqadkan 
(meyakinkan) bahwa 
Allah  Subhanahu wa  Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa 
dengan  tangan  makhluk (jisim-jisim
 lainnya), maka orang tersebut hukumnya  ‘Aashin  atau orang yang telah 
berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa  Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan  bahwa  sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu 
bukanlah seperti jisim   (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa 
sifat. Tidak ada yang dapat   mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Al Hafizh Abu Sa’id al ‘Ala-i (W 761 H) yang semasa dengan Ibnu
   Taimiyah juga mencelanya.
 Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) juga   melakukan hal yang sama, sejak 
membaca pernyataan 
Ibnu Taimiyah dalam   Kitab al ’Arsy yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi   dan 
telah menyisakan 
tempat kosong di Kursi itu untuk mendudukkan Nabi   Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama-Nya”, beliau melaknat Ibnu   Taimiyah. 
Abu Hayyan mengatakan:
 “Saya melihat sendiri hal itu dalam   bukunya dan saya tahu betul 
tulisan tangannya”. 
Semua ini dituturkan   oleh 
Imam Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsirnya yang berjudul an-Nahr   al 
Maadd min al Bahr al Muhith.
Ibnu Taimiyah juga menuturkan keyakinannya bahwa Allah duduk di atas   ‘Arsy 
dalam beberapa kitabnya: Majmu’ al Fatawa, juz IV, hlm. 374,  Syarh  
Hadits an-Nuzul, hlm. 66, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, juz I ,  hlm.  262. Keyakinan 
seperti ini jelas merupakan kekufuran. Termasuk  kekufuran  Tasybih; yakni 
menyerupakan Allah 
dengan makhluk-Nya  
sebagaimana  
dijelaskan oleh para 
ulama Ahlussunnah. Ini
 juga merupakan  bukti bahwa  pernyataan Ibnu Taimiyah Mutanaaqidl (Pernyataannya sering  bertentangan  antara satu dengan yang lain). 
Bagaimana ia mengatakan
  -suatu saat-  bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dan –di saat yang lain- 
 mengatakan Allah  
duduk di atas Kursi ?!, padahal kursi itu jauh sangat  kecil di banding 
 ‘Arsy. Setelah semua yang dikemukakan ini, tentunya  tidaklah pantas,  
terutama bagi orang yang mempunyai pengikut untuk  memuji Ibnu Taimiyah 
 karena jika ini dilakukan maka orangorang tersebut  akan mengikutinya,  dan dari sini akan muncul bahaya 
yang sangat besar.  Karena Ibnu Taimiyah  adalah penyebab kasus 
pengkafiran terhadap 
orang  yang ber-tawassul,
  beristighatsah 
dengan Rasulullah dan 
para Nabi,  pengkafiran
 terhadap  orang yang berziarah ke makam Rasulullah, para  Nabi serta para Wali  untuk 
ber-tabarruk. Padahal 
pengkafiran seperti  
ini belum pernah terjadi  sebelum kemunculan Ibnu Taimiyah. Sementara  itu, sekarang
 ini para  pengikut Ibnu Taimiyah juga mengkafirkan  orangorang yang ber-tawassul  dan ber-istighatsah dengan para nabi dan  orang-orang yang Saleh, bahkan  mereka menamakan 
Syekh ‘Alawi ibn Abbas  al Maliki dengan nama Thaghut  Bab as-Salam (ini
 artinya mereka  mengkafirkan
 Sayyid ‘Alawi), karena  beliau -semoga Allah  merahmatinya-mengajar di sana, di Bab as-Salam, al  Masjid al 
Haram,
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil   permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi 
kesepakatan umat   
Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu   bersifat dahulu 
dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia   telah 
menyandarkan alam 
dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan   Allah secara ikhtiar, 
sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang   demikian itu. Ibnu Taimiyyah 
juga berkeyakinan 
adanya jisim pada Allah   Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih   kecil dan 
tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas   kedustaan 
keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata “. (Al-Fatawa   Al-Haditsiyyah : 116)
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata “ Maka berhati-hatilah kamu,   jangan kamu dengarkan apa
 yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya   Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang   telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan 
Allah telah   menyesatkannya
 dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan   menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member   
petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan ?. Bagaimana orang-orang   sesat itu telah melampai batasan-batasan syare’at dan aturan, dan  mereka 
 pun juga telah merobek pakaian syare’at dan hakikat, mereka  masih  
menyangka bahwa mereka di atas petunjuk dari Tuhan mereka,  padahal  
sungguh tidaklah demikian “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Tentang ulama Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab   berjudul “Hasyiyah 
Al-’allaamah Ibn Hajar
 Al-Haitami ‘Alaa 
Syarh   Al-Idlah Fii Manasik Al-Hajj”, (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam   an-Nawawi) menuliskan (yang artinya) “… Jangan tertipu dengan
   pengingkaran Ibnu 
Taimiyah terhadap kesunnahan
 safar (perjalanan) 
untuk   ziarah ke makam Rasulullah,
 karena sesungguhnya 
dia adalah manusia yang   telah disesatkan oleh Allah; sebagaimana kesesatannya itu telah   dinyatakan oleh Imam al-’Izz ibn Jama’ah, juga 
sebagaimana telah 
panjang   lebar dijelaskan
 tentang kesesatannya 
oleh Imam Taqiyyuddin 
as-Subki   dalam karya tersendiri
 untuk itu (yaitu kitab Syifa’ as-Siqam Fi Ziyarah   Khayr al-Anam). 
Penghinaan Ibnu 
Taimiyah terhadap Rasulullah
 ini bukan   sesuatu yang aneh; oleh karena terhadap Allah saja dia 
telah melakukan   penghinaan,
 –Allah Maha Suci dari segala apa yang dikatakan oleh   orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–. 
Kepada Allah; Ibnu   Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain   
sebagainya dari 
keburukan-keburukan 
yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini   telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah 
membalas segala   perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para   pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa 
yang dipalsukan oleh   Ibn 
Taimiyah atas syari’at yang suci ini–”.
Ulama Ibnu Taimiyyah karena kesalahpahamannya dalam i’tiqod   mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan 
para ulama ahli fiqih   dari empat madzhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu   
Taimiyyah tidak menyebarluaskan
 kesalahapahamannya 
sehingga beliau wafat   di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada   
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia  atau   uraian dalam tulisan pada   
http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Jadi  lebih baik kita mengikuti hasil istiqro (telaah) para 
ulama  yang sholeh bersumber dari Al  Qur'an dan Hadits serta berdasarkan  penyaksian Allah ta’ala dengan hati  mereka 
seperti Aqidatul Khomsin,   Lima puluh Aqidah dimana di dalamnya  ada 20
 sifat wajib ada bagi Allah  ta’ala sebagaimana yang sedikit  dikupas pada  
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Dengan mendalami,
 memahami dan meyakini 20 sifat wajib ada bagi Allah   ta'ala maka 
syahadat yang merupakan kesaksian awal secara lisan bahwa   tiada tuhan 
selain Allah, dalam perjalanannya
 akan dapat berubah   mencapai shiddiqin yakni menyaksikan Allah ta'ala dengan hati (ain   
bashiroh) sehingga membenarkan
 dan menyaksikan bahwa
 selain Allah ta’ala   adalah tiada. Selain Allah ta’ala adalah tiada 
apa apanya. Selain  Allah  ta’ala adalah bergantung padaNya.
Buya Hamka penulis buku  “Tasawuf Modern” setelah mengikuti 
Tarekat  Qodiriyah Naqsabandiyah
  pernah berujar di Pesantren Suryalaya  Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah  Hamka, tetapi 
“Hampa” sebagaimana  
yang dituturkan oleh 
Dr Sri Mulyati,  pengajar tasawwuf UIN Syarif  Hidayatullah
"Dirinya bukanlah Hamka tetapi "hampa" adalah ungkapan 
penyaksian Allah 
ta'ala dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat.
Muslim yang bermakrifat
 atau muslim yang menyaksikan
 Allah ta’ala   dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu 
meyakini   kehadiranNya, 
selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi  mengatakan
 “
Asy-Syahid
 untuk menunjukkan 
sesuatu  yang hadir dalam hati,  yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan  ingat, sehingga  
seakan-akan pemilik 
hati tersebut senantiasa
 melihat  dan  menyaksikan-Nya,
 sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang  membuat  ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah 
seorang  syahid  (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam berkata: “
Seutama-utama iman seseorang, jika  ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di  mana pun ia berada“
Rasulullah 
shallallahu alaihi wasallm  
bersabda “
Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah  selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath 
Thobari)
حَدَّثَنَا 
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ   عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ 
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan
 kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah   menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari 
‘Atha’ dari Ibnu   Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata 
hatinya.” (HR   Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
 saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana 
Anda melihat-Nya?” tanyanya 
kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan 
pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah
  engkau  melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab:  “Saya  telah 
melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda  melihat-Nya?”  dia menjawab: “Tidak dilihat dengan
 mata yang memandang,  tapi 
dilihat  dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihat Allah  dengan hati (ain bashiroh) atau
  bermakrifat maka yakinlah 
bahwa Allah  Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai  Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘  Beliau menjawab, 
‘Kamu takut (khasyyah)
  kepada Allah seakan-akan
 kamu  melihat-Nya 
(bermakrifat), maka 
jika kamu  tidak melihat-Nya
  (bermakrifat) maka 
sesungguhnya Dia 
melihatmu.” (HR  Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “
Sesungguhnya yang  takut kepada Allah di antara 
hamba-hamba-Nya, hanyalah 
ulama” (QS Al  Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka  selalu yakin 
diawasi  oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu  memandang 
Allah dengan  hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau  berbuat 
sehingga  mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang  dibenciNya , menghindari  perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji  dan mungkar hingga 
dia  dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul  karimah meneladani manusia  yang paling mulia Sayyidina 
Muhammad  Rasulullah 
shallallahu alaihi  wasallam
Sebaliknya 
akhlak buruk  dapat ditimbulkan
 dari akibat termakan  hasutan atau ghazwul fikri  (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh  kaum Zionis Yahudi sehingga  
memahami apa yang Allah ta’ala mensifatkan  apa yang ingin Dia sifatkan  dengan 
makna  dzahir/harfiah/tersurat/tertulis berakibat “Tuhan adalah  jauh” 
 bertentangan dengan 
firmanNya yang artinya “
Dan apabila  hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, 
maka (jawablah),  
bahwasanya Aku adalah dekat”.
 (QS Al Baqarah [2]:186 ).
Mereka  terindoktrinisasi
 bahwa Tuhan bertempat di suatu tempat yang  jauh  mengikuti aqidah 
Fir’aun sebagaimana yang 
telah diuraikan dalam  tulisan  pada  
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/14/terhasut-aqidah-firaun/
Sehingga mereka secara psikologis atau alam bawah sadar mereka   
menjauhkan diri dari 
Allah atau berpaling dari Allah sehingga   terbentuklah akhlak yang buruk
Akhlak yang buruk adalah mereka  yang tidak takut kepada Allah 
atau  mereka yang berpaling dari Allah atau  menjauhkan diri dari Allah karena  mereka 
memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“
…Janganlah
 kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad 
[38]:26)
“
Katakanlah:
 “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh   tersesatlah aku jika berbuat demikian dan 
tidaklah (pula) aku termasuk   orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam 
[6]:56 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830