oleh Zon Jonggol
Buku berjudul Tuanku Rao yang ditulis oleh Mangaradja
Dalam buku tersebut diuraikan bahwa gerakan perang Paderi dilatarbel
Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan Turki, 1802. Para pecundang tidak dihukum mati boleh lepas bebas. Kompensasi
Pembentuka
Begitulah pandangan dari Mangaradja
Perang Paderi pada awalnya adalah peperangan
Perang Paderi merupakan provokasi Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan Inggris yang merupakan sekutu kerajaan dinasti Saudi sebagaiman
***** awal kutipan *****
“Amerika Serikat, jauh sebelum meletusnya
Pada 1821 – 1837 M, pecah Perang Padri di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Imam Bondjol. Perang ini terjadi sebagai dampak dari provokasi Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan Inggris yang melakukan pendekatan
***** akhir kutipan *****
Namun, sejak awal 1833, perang itu berubah menjadi perang antara yang dikatakan kaum adat dan kaum agama melawan Belanda setelah penyesalan
Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)—lih
Pihak-piha
Di dalam MTIB terefleksi
Tuanku Imam Bonjol sadar bahwa perjuangan
Sadar akan kekeliruan
Ikut juga kemenakan Tuanku Rao bernama Pakih Sialu, dan Kemenakan Tuanku Kadi (salah seorang rekan Tuanku Imam Bonjol) bernama Pakih Malano (MTIB, hlm. 36-40).
Pada 1832, empat orang utusan itu kembali dan membawa kabar tentang penyerbuan
Mengetahui
Lebih dari itu, Imam Bonjol menarik diri dari segala bentuk keyakinan yang pernah ia pegang. Ia juga menginsafi
Semua itu terjadi jauh sebelum penangkapa
Sebelum meninggal-
Dari wasiat Imam Bonjol untuk mempelajar
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaika
***** awal kutipan *****
“Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting
1) Tauhid Rububiyyah
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan
***** akhir kutipan *****
Contoh radikalism
***** awal kutipan ****
Para pengikut ajaran wahhabi adalah kelompok yang sangat membencika
*****akhir
Pada hakikatnya
Istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutu
Tujuannya sebenarnya
Salah satu gurunya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yakni Syaikh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehati
Kesesatan atau kesalahpah
Tauhid Asma’ was Shifaat dihasilkan
Mereka kurang memperhati
Dalam tauhid Asma’ was Shifaat contohnya mereka menolak makna majaz. Mereka katakan biarkanlah
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
- Barangsiap
- Barangsiap
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa
sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Al Hafizh Abu Sa’id al ‘Ala-i (W 761 H) yang semasa dengan Ibnu Taimiyah juga mencelanya.
Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) juga melakukan hal yang sama, sejak
membaca pernyataan
Ibnu Taimiyah dalam Kitab al ’Arsy yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi dan
telah menyisakan
tempat kosong di Kursi itu untuk mendudukkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama-Nya”, beliau melaknat Ibnu Taimiyah.
Abu Hayyan mengatakan:
“Saya melihat sendiri hal itu dalam bukunya dan saya tahu betul
tulisan tangannya”.
Semua ini dituturkan oleh
Imam Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsirnya yang berjudul an-Nahr al
Maadd min al Bahr al Muhith.
Ibnu Taimiyah juga menuturkan keyakinannya bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy
dalam beberapa kitabnya: Majmu’ al Fatawa, juz IV, hlm. 374, Syarh
Hadits an-Nuzul, hlm. 66, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, juz I , hlm. 262. Keyakinan
seperti ini jelas merupakan kekufuran. Termasuk kekufuran Tasybih; yakni
menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya
sebagaimana
dijelaskan oleh para
ulama Ahlussunnah. Ini
juga merupakan bukti bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah Mutanaaqidl (Pernyataannya sering bertentangan antara satu dengan yang lain).
Bagaimana ia mengatakan
-suatu saat- bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dan –di saat yang lain-
mengatakan Allah
duduk di atas Kursi ?!, padahal kursi itu jauh sangat kecil di banding
‘Arsy. Setelah semua yang dikemukakan ini, tentunya tidaklah pantas,
terutama bagi orang yang mempunyai pengikut untuk memuji Ibnu Taimiyah
karena jika ini dilakukan maka orangorang tersebut akan mengikutinya, dan dari sini akan muncul bahaya
yang sangat besar. Karena Ibnu Taimiyah adalah penyebab kasus
pengkafiran terhadap
orang yang ber-tawassul,
beristighatsah
dengan Rasulullah dan
para Nabi, pengkafiran
terhadap orang yang berziarah ke makam Rasulullah, para Nabi serta para Wali untuk
ber-tabarruk. Padahal
pengkafiran seperti
ini belum pernah terjadi sebelum kemunculan Ibnu Taimiyah. Sementara itu, sekarang
ini para pengikut Ibnu Taimiyah juga mengkafirkan orangorang yang ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi dan orang-orang yang Saleh, bahkan mereka menamakan
Syekh ‘Alawi ibn Abbas al Maliki dengan nama Thaghut Bab as-Salam (ini
artinya mereka mengkafirkan
Sayyid ‘Alawi), karena beliau -semoga Allah merahmatinya-mengajar di sana, di Bab as-Salam, al Masjid al
Haram,
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi
kesepakatan umat
Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu
dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah
menyandarkan alam
dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar,
sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah
juga berkeyakinan
adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan
tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan
keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata “ Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa
yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan
Allah telah menyesatkannya
dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member
petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan ?. Bagaimana orang-orang sesat itu telah melampai batasan-batasan syare’at dan aturan, dan mereka
pun juga telah merobek pakaian syare’at dan hakikat, mereka masih
menyangka bahwa mereka di atas petunjuk dari Tuhan mereka, padahal
sungguh tidaklah demikian “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Tentang ulama Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab berjudul “Hasyiyah
Al-’allaamah Ibn Hajar
Al-Haitami ‘Alaa
Syarh Al-Idlah Fii Manasik Al-Hajj”, (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam an-Nawawi) menuliskan (yang artinya) “… Jangan tertipu dengan
pengingkaran Ibnu
Taimiyah terhadap kesunnahan
safar (perjalanan)
untuk ziarah ke makam Rasulullah,
karena sesungguhnya
dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah; sebagaimana kesesatannya itu telah dinyatakan oleh Imam al-’Izz ibn Jama’ah, juga
sebagaimana telah
panjang lebar dijelaskan
tentang kesesatannya
oleh Imam Taqiyyuddin
as-Subki dalam karya tersendiri
untuk itu (yaitu kitab Syifa’ as-Siqam Fi Ziyarah Khayr al-Anam).
Penghinaan Ibnu
Taimiyah terhadap Rasulullah
ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karena terhadap Allah saja dia
telah melakukan penghinaan,
–Allah Maha Suci dari segala apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain
sebagainya dari
keburukan-keburukan
yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah
membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa
yang dipalsukan oleh Ibn
Taimiyah atas syari’at yang suci ini–”.
Ulama Ibnu Taimiyyah karena kesalahpahamannya dalam i’tiqod mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan
para ulama ahli fiqih dari empat madzhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu
Taimiyyah tidak menyebarluaskan
kesalahapahamannya
sehingga beliau wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Jadi lebih baik kita mengikuti hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh bersumber dari Al Qur'an dan Hadits serta berdasarkan penyaksian Allah ta’ala dengan hati mereka
seperti Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah dimana di dalamnya ada 20
sifat wajib ada bagi Allah ta’ala sebagaimana yang sedikit dikupas pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Dengan mendalami,
memahami dan meyakini 20 sifat wajib ada bagi Allah ta'ala maka
syahadat yang merupakan kesaksian awal secara lisan bahwa tiada tuhan
selain Allah, dalam perjalanannya
akan dapat berubah mencapai shiddiqin yakni menyaksikan Allah ta'ala dengan hati (ain
bashiroh) sehingga membenarkan
dan menyaksikan bahwa
selain Allah ta’ala adalah tiada. Selain Allah ta’ala adalah tiada
apa apanya. Selain Allah ta’ala adalah bergantung padaNya.
Buya Hamka penulis buku “Tasawuf Modern” setelah mengikuti Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah
pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi
“Hampa” sebagaimana
yang dituturkan oleh
Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah
"Dirinya bukanlah Hamka tetapi "hampa" adalah ungkapan penyaksian Allah
ta'ala dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat.
Muslim yang bermakrifat
atau muslim yang menyaksikan
Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu
meyakini kehadiranNya,
selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid
untuk menunjukkan
sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga
seakan-akan pemilik
hati tersebut senantiasa
melihat dan menyaksikan-Nya,
sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah
seorang syahid (penyaksi) ”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada “
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallm
bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada “. (HR. Ath
Thobari)
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari
‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata
hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana
Anda melihat-Nya?” tanyanya
kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah
melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan
mata yang memandang, tapi
dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah
bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab,
‘Kamu takut (khasyyah)
kepada Allah seakan-akan
kamu melihat-Nya
(bermakrifat), maka
jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka
sesungguhnya Dia
melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama ” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat
sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga
dia dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia yang paling mulia Sayyidina
Muhammad Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
Sebaliknya
akhlak buruk dapat ditimbulkan
dari akibat termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga
memahami apa yang Allah ta’ala mensifatkan apa yang ingin Dia sifatkan dengan
makna dzahir/harfiah/tersurat/tertulis berakibat “Tuhan adalah jauh”
bertentangan dengan
firmanNya yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat ”.
(QS Al Baqarah [2]:186 ).
Mereka terindoktrinisasi
bahwa Tuhan bertempat di suatu tempat yang jauh mengikuti aqidah
Fir’aun sebagaimana yang
telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/14/terhasut-aqidah-firaun/
Sehingga mereka secara psikologis atau alam bawah sadar mereka
menjauhkan diri dari
Allah atau berpaling dari Allah sehingga terbentuklah akhlak yang buruk
Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah atau menjauhkan diri dari Allah karena mereka
memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.. ” (QS Shaad
[38]:26)
“Katakanlah:
“Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan
tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk ” (QS An’Aam
[6]:56 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Al Hafizh Abu Sa’id al ‘Ala-i (W 761 H) yang semasa dengan Ibnu Taimiyah juga mencelanya
Ibnu Taimiyah juga menuturkan
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata “ Maka berhati-ha
Tentang ulama Ibnu Taimiyyah,
Ulama Ibnu Taimiyyah karena kesalahpah
Jadi lebih baik kita mengikuti hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh bersumber dari Al Qur'an dan Hadits serta berdasarka
Dengan mendalami,
Buya Hamka penulis buku “Tasawuf Modern” setelah mengikuti Tarekat Qodiriyah Naqsabandi
"Dirinya bukanlah Hamka tetapi "hampa" adalah ungkapan penyaksian
Muslim yang bermakrifa
Imam Qusyairi mengatakan
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah
Rasulullah
حَدَّثَنَا
Telah menceritak
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya
Beliau menjawab, “Bagaimana
“Bagaimana
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifa
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhn
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh),
Sebaliknya
Mereka terindoktr
Sehingga mereka secara psikologis
Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah atau menjauhkan
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah
“Katakanlah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830