PERBEDAAN UMAT ADALAH RAHMAT
Hadits di bawah ini termasuk dari sekian hadits yang dihina dan kritik habis-habisan oleh ulama Wahhabiyyah:
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan-perb edaan umatku adalah rahmat.”
Pengertian hadits ini masih terjadi silang pendapat, sebagian
mengartikan perbedaan dalam urusan hukum, sebagian lagi mengartikan
perbedaan dalam urusan pekerjaan masing-masing umatku. Namun, semua
pengertian tersebut benar meski yang kuat adalah pengertian yang
pertama, yaitu perbedaan dalam hukum. Artinya, ikhtilaf ulama adalah
bentuk perluasan bagi umat manusia dalam memilih pendapat dari
bermacam-macamn ya pendapat ulama. Namun, jangan difahami bahwa ikhtilaf dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hadits di atas dikeluarkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam al-Hujjah,
al-Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyah tanpa sanad [mu’allaq] begitu juga
al-Halimi, Qadhi Husain, Imam Haramain dan lain-lain. Dan dalam
menyampaikan hadits ini, mereka semua tidak menggunakan shighat pasti
tapi menggunakan kata-kata “diriwayatkan”.
Dan sebenarnya ini sudah termasuk bukti bahwasannya hadits di atas
tidak maudhu'. Lantaran tidak mungkin mereka rela memasukkan hadits
palsu atau maudhu' kedalam kitab-kitab mereka. Padahal kita tahu, mereka
adalah kritikus-kritik us dalam bidang hadits yang handal.
As-Subki mengatakan: ”Hadits ini tidak dikenal para ahli hadits (tidak
diriwayatkan dengan sanad), dan aku belum menemukan sanad shahih, dha’if
atau maudhu’.” As-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Saghir [no. 288] setelah
membawakan hadits tersebut mengatakan: “Mungkin dikeluarkan pada
sebagian kitab huffazh (penghafal hadits) yang belum sampai kepada
kami.”. Pernyataan ini adalah bentuk kehati-hatian as-Suyuthi dalam
menyikapi hadits yang begitu masyhur dan dibawakan oleh ulama-ulama ahli
hadits (tanpa sanad) yang masyhur kealimannya dan terdepan di
bidangnya. Bukan seperti sikap yang ditunjukkan Nashiruddin al-Albani,
yang bukan ahli hadits terpercaya, tapi dengan enteng dan tanpa beban
menghina as-Suyuthi dengan mengatakan: ”Menurutku ini sangat jauh,
karena konsekwensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulallah Saw. yang
luput dari umat Islam. Ini tidak layak diyakini seorang muslim.” Sebuah
statemen yang sangat tidak layak ditujukan kepada as-Suyuthi.
Kehati-hatian as-Suyuthi cukup beralasan, karena selain masyhur
disampaikan ulama-ulama terkemuka dan adil, makna haditsnya juga shahih,
selain dikuatkan dengan hadits lain [musnad] yang diriwayatkan oleh
as-Suyuthi sendiri dalam al-Madkhal dan ad-Dailami dalam Musnad
al-Firdaus dari Abdullah bin Abbas secara marfu’:
إِخْتِلاَفُ أَصْحَابِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan-perb edaan para sahabatku adalah rahmat.”
Dan perbedaan sahabat-sahabat
Nabi adalah juga perbedaan umat. Meski hadits ini dinilai lemah
sanadnya oleh al-Iraqi, namun derajat kelemahannya dapat terangkat atau
menjadi kuat disebabkan adanya riwayat lain yang dibawakan putranya,
yaitu Abu Zur’ah dan juga Ibnu Sa’ad [mursal dha’if] sebagaimana
masyhur dalam kaidah ahli ushul dan ahli hadits.
Sebagai bukti
kebenaran isi kandungan hadits di atas adalah seperti yang tercatat
dalam Fatawi hal. 27 karya Syaikh Husain, Mufti Malikiyyah di Makkah
yang di kutib dari al-Amir Ali Abdul Baqi az-Zurqani dalam Hasyiyah
Mukhtashar Khalil, bahwa Imam asy-Syafi'i berkata, "Allah tidak akan
menyiksa seorang hamba karena (meninggalkan) sesuatu yang masih di
perselisihkan ulama dan perselisihan (perbedaan pendapat) ulama adalah
rahmat bagi umat ini".
Umar bin Abdul Aziz menuturkan: “Bukan sesuatu menyenangkan bagiku, andai para shahabat-shahab at
Nabi Muhammad tidak berbeda-beda, karena jika mereka tidak
berbeda-beda, maka tidak akan ada rukhshah (dispensasi hukum)". Maqalah
mujaddid pertama ini menunjukkan pebedaan shahabat-shahab at Nabi tersebut adalah dalam urusan hukum agama selain juga memberi faham bahwa perbedaan-perbe daan
adalah keuntungan (rahmat) bagi umat selanjutnya. Artinya, para
as-Salaf as-Shalih membuka ruang bagi manusia untuk berijtihad dan
diperbolehkan ikhtilaf dalam ijtihad tersebut. Sebab, andai ruang
ijtihad tidak dibuka, tentu akan mempersempit para mujtahidin, karena
ijtihad dan penyangkaan-pen yangkaan tentu tidak bisa sama.
Jika ihktilaf dianggap tidak rahmat, tentu Umar bin Abdul Aziz adalah
orang yang keliru, tapi tidak ada orang yang akan berani menganggapnya
keliru kecuali orang-orang yang mulut dan hatinya tidak dikunci dengan
adab dan syariat.
Maqalah Umar tersebut juga menguatkan hadits marfu’ berikut:
أَصْحَابِي بِمَنْزِلَةِ النُّجُوْمِ فِي السَّمَاءِ فَبِأَيِّهِمْ
اقْتَدَيْتُمْ اهْتَدَيْتُمْ وَاخْتِلاَفُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ
“Sahabat-sahaba tku adalah layaknya bintang-bintang di langit, dengan yang mana kalian mengikuti, niscaya akan mendapat jalan petunjuk. Dan perbedaan-perbe daan sahabatku bagi kalian semua adalah rahmat.”
Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam al-‘Aqa’id menandaskan: “Perbedaan
imam-imam (ulama-ulama) adalah rahmat dan kesepakatan mereka adalah
hujjah.”
Asy-Syathibi mengatakan: “Segolongan ulama salaf
menjadikan perselisihan umat dalam furu’ (masalah fiqh) adalah bagian
dari rahmat, dan jika termasuk bagian dari rahmat maka ulama-ulama yang
ikhtilaf tersebut tidak akan keluar dari jalur dari bagian ahli rahmat.”
Asy-Sya‘rani mengatakan: “Para ahli kasyf menyatakan bahwa pendapat-pendap at
para ulama madzhab adalah sesuai dengan syariat secara kenyataan (nafs
al-amr), meskipun itu tidak diketahui jelas oleh para pengikutnya. Dan
pendapat-pendap at
ulama madzhab tersebut adalah sesuai dengan syariat Nabi terdahulu. Maka
jika ada yang mengamalkan apa yang telah menjadi kesepakatan para
ulama-ulama maka dia seperti mengamalkan mayoritas syariat-syariat nya
para nabi.” Penjelasan asy-Sya'rani tersebut memberi faham tentang
legalnya berbeda pendapat dalam ijtihad dan tidak di anggap sebagai
sesuatu yang tercela.
Jika muncul pertanyaan: Jika ikhtilaf umat
adalah rahmat, maka akan bertentangan dengan larangan ikhtilaf oleh
Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 103:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan jangan bercerai berai.”
Dan Q.S. Ali ‘Imran: 105
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.”
Jawabnya: Antara hadits dan dua ayat tersebut pembicaraannya
masing-masing berbeda. Dua ayat tersebut berbicara tentang terhinanya
orang-orang yang berselisih (ikhtilaf) kepada Rasulnya sebagaimana dalam
hadits: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian hancur karena banyak
berselisih pada nabi-nabinya.” Dan umat Muhammad tidak seperti itu,
yakni berselisih kepada Rasulallah karena telah mengetahui ancaman adzab
besar bagi mereka yang menyelisih Nabinya. Mereka berselisih hanya
dalam urusan hukum fiqh dan ada pemaafan bagi yang salah seperti yang
sudah dimaklumi dalam hadits Nabi.
Harun ar-Rasyid kerap kali
bermusyawarah dengan Imam Malik serta menganjurkan agar supaya kitab
al-Muwaththa’ ditempelkan di dinding Ka’bah dan orang-orang diajak untuk
mengamalkannya. Namun, Imam
Malik menolak dan mengatakan: “Jangan engkau lakukan, karena shahabat
Rasulallah berselisih dalam masalah fiqh (furu’) dan sudah tersebar di
daerah-daerah dan semuanya orang benar (dalam ijtihadnya).”
Zakariyya al-Anshari menceritakan, saat Khalifah al-Manshur berhaji dan
bertemu Imam Malik, beliau mengutarakan maksud hatinya yang berkeinginan
supaya kitab al-Muwaththa’ ditulis dan disalin kemudian dikirimkan ke
daerah orang-orang muslim dan diperintahkan pada mereka untuk
mengamalkannya dan tidak boleh menggunakan yang lain. Imam Malik
menjawab: “Jangan engkau lakukan wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya
pendapat-pendap at (ulama) telah sampai pada mereka dan mereka juga mendengar hadits Nabi serta meriwayatkannya .
Dan setiap golongan telah mengambil apa yang mereka ketahui dan
dijadikan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Biarkan mereka
memilih jalan untuk mereka masing-masing dalam setiap daerah.”
An-Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan: ”Bukan berarti jika sesuatu
itu rahmat maka kebalikannya adalah adzab, dan tidak ada yang
mengatakan seperti itu kecuali orang yang bodoh atau pura-pura bodoh.
Allah berfirman dalam Q.S. al-Qashash: 73 (artinya): ”Karena rahmat-Nya,
dijadikan malam dan siang supaya kalian beristirahat pada malam itu….”
Allah menjadikan malam sebagai rahmat dan bukan berarti kebalikannya,
yaitu siang sebagai adzab (Allah juga menjadikan siang sebagai rahmat,
bukan berarti kebalikannya, yaitu malam adalah adzab) meski siang dan
malam adalah waktu yang saling berlawanan. Perkataan an-Nawawi ini
sekaligus membantah pernyataan Ibnu Hazm dalam al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam yang menyalahkan arti dari hadits di atas. Ibnu Hazm
mengatakan: ”Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah adzab.” —