Dalam tulisan sebelumnya  pada 
http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/06/ tawassul-ta barruk-zia rah/   kami telah menguraika n tentang bertawassu l (adab berdoa) dengan bertabarru k dan ziarah kubur.
Bertawassu l adalah merupakan 
bagian dari adab berdoa kepada Allah Azza wa Jalla
Bertawassu l adalah 
jalan kita mendekatka n diri kepada 
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-oran g yang beriman, bertakwala h kepada Allah dan carilah jalan 
(washilah)  yang 
mendekatka n diri 
kepada-Nya , dan 
berjihadla h pada 
jalan-Nya,  supaya kamu mendapat 
keberuntun gan” (QS Al Maa’idah 
[5]: 35 )”
Bertawassu l adalah 
jalan (washilah)  
mendekatka n diri 
kepada-Nya  sehingga doa yang 
kita panjatkan kepada Allah ta’ala lebih besar kemungkina n terkabulny a
Bertawasul  yang paling 
mudah adalah dengan sholawat kepada Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam
Anas bin Malik r.a meriwayatk an bahwa Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali 
terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga 
bershalawa t atas Nabi 
shallallah u alaihi wasallam, 
maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah  hijab dan diterimala h doa tersebut, namun jika tidak demikian, 
kembalilah  doa itu kepada 
pemohonnya“
Rasulullah  bersabda 
“Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia 
memulainya  dengan memuji dan 
menyanjung  Allah, kemudian dia 
bershalawa t kepada Nabi 
-shallalla hu alaihi 
wasallam-,  kemudian setelah itu baru 
dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan 
dishahihka n oleh At Tirmidzi)
Bertawassu l dikenal 
dalam bentuk antara lain keutamaan (barokah/ berkat) tempat, waktu maupun derajat (maqom) kedekatan 
seseorang dengan Allah ta’ala
Keutamaan (barokah/ berkat) 
tempat contohnya Raudoh, Multazam, Maqam (tempat) Ibrahim as, Hijr Ismail a.s 
dll
Keutamaan (barokah/ berkat) 
waktu contohnya 1/3 malam terakhir, wukuf di Arafah, ketika waktu sujud dll
Keutamaan (barokah/ berkat) derajat (maqom) kedekatan seseorang dengan 
Allah ta’ala  pada hakikatnya  
adalah penghormat an, pengakuan 
keutamaan derajat mereka (yang ditawasulk an) di sisi Allah Azza wa Jalla dan rasa syukur 
kita akan peran mereka menyiarkan  agama Islam sehingga kita dapat 
mendapatka n ni’mat Iman dan ni’mat 
Islam.
Sebaiknyal ah kita ingat 
bahwa mereka berziarah dan bertabarru k bukan meminta pertolonga n kepada arwah, namun mereka meminta 
pertolonga n kepada Allah ta'ala 
dengan perantaraa n 
(washilah)   barokah (berkat) 
keutamaan mereka disisiNya.  
Silahkan baca uraian kami selengkapn ya 
pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/06/ melalui-ham banya/ dan http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/06/ 2011/10/11/ tawassul-da n-tabarruk /
Salah satu contoh ulama yang tidak lagi mengikuti pemimpin ijtihad kaum 
muslim (Imam Mujtahid) alias Imam Mazhab adalah ulama Ibnu Taimiyah.
Dalam kitab Minhaju As-sunnah Ibnu Taimiyah mengeluark an fatwa yang bunyinya demikian: “Semua hadist yang 
berasal dari Nabi Shallallah u alaihi wasallam tentang ziarah kubur 
Nabi Shallallah u alaihi 
wasallam adalah dhoif [lemah] dan ja’li 
[bikinan]” . Lihat Minhaju 
As-sunnah,  Juz 2, Halaman 441.
Sementara Asqalani yang menukil dari Ibnu Taimiyah 
menceritak an bahwa tidak ada 
alasan sama sekali untuk berziarah ke makam para wali dan ulama meskipun ziarah 
ke makam Nabi Shallallah u alaihi 
wasallam sekalipun.  Dan Ibnu 
Taimiyah secara mutlaq telah mengharamk an perbuatan itu. Apakah itu dilakukan untuk 
tujuan ziarah ataupun ziarah itu dilaksanak an bersamaan dengan ibadah haji. Lihat kitab Irsyadu 
As-sari, Juz 2, Halaman 329.
Lebih jelas lagi, coba kita lihat kitab karangan Ibnu Taimiyah yang 
berjudul Attawassul  wal Wasilah, 
Halaman 72. Ia berfatwa bahwa: “Semua Hadist-had ist yang berkenaan dengan ziarah kubur nabi 
Shallallah u alaihi 
wasallam adalah dhoif dan tidak bisa dijadikan pegangan. Oleh 
karena itu para perawi hadist-had ist dan sunan sahih sama sekali tidak ada yang 
menukil hadist tentang halalnya ziarah kubur nabi Shallallah u alaihi wasallam. Kalaupun ada yang menukil 
maka yang dia nukil adalah hadist dhoif”. Lihat kitab 
Attawassul  wal Wasilah, 
Halaman 72.
Sementara di lain tempat dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah juga berkata: 
“Semua hadist yang berkenaan dengan ziarah kubur nabi 
 Shallalla hu alaihi 
wasallam adalah lemah bahkan bohong semata”. Lihat kitab 
Attawassul  wal Wasilah, Halaman 156. 
Kemudian salah satu pengikut Ibnu Taimiyah yakni Abdul Aziz Bin Baz 
berusaha “memperbai ki” fatwa 
Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan  
bahwa ziarah kubur nabi shallallah u 
alaihi wasallam dan para ulama itu mustahab hukumnya akan tetapi jangan 
diniatkan untuk berziarah sebab kalau bepergian itu diniatkan untuk ziarah maka 
hukumnya adalah bid’ah.
Disini Bin Baz itu berkilah dengan menukil sabda Nabi 
shallallah u alaihi wasallam: 
“Ziarahlah  kalian ke 
tempat-tem pat kubur sehingga engkau 
teringat akan hari akhir”. “Akan tetapi (lanjutan ini adalah 
perkataan bin Baz), bila diniatkan untuk 
semata-mat a ziarah kubur maka hukumnya 
tidak boleh”. Lihat kitab Majmu’u Fatawa bin Baz, Juz 2, Halaman 754 dan 
755.
Begitu pula dari kumpulan fatwa-fatw a mereka yang dikenal dengan nama Allajnah 
Addaimah Lilbuhust Alalamiyah  
wal Ifta, Nomor Fatwa 423, juga mengeluark an fatwa yang sama.
Bin Baz telah menyadari memang ada hadits yang 
menganjurk an ziarah kubur 
sehingga beliau terpaksa “mengkorek si” ulama teladannya  walaupun pada akhirnya fatwa beliau bersifat 
ambigu.
Pada mulanya dulu Nabi shallallah u ‘alaihi wasalam melarang ziarah kubur, kemudian 
beliau membolehka nnya dengan sabdanya 
yang artinya: “Dahulu saya telah melarang kalian ziarah kubur, maka 
(kini) ziarahlah kalian padanya karena sesungguhn ya itu mengingatk an kematian.” (HR Muslim 977, 
At-Tirmidz i 1054, 
At-Thayali si 807, Ibnu Hibban 3168, 
Al-Hakim 12/375, Abu Daud 3235, dan Ahmad 5/359).
Dan dalam riwayat yang lain yangartiny a: ”…maka (kini) ziarahlah kalian padanya 
karena sesungguhn ya (ziarah 
kubur) itu menzuhudka n 
(menjauhka n diri dari 
kecintaan)  terhadap dunia dan 
mengingatk an akhirat.” (HR Ibnu 
Majah dalam sunannya, nomor 1571).
Hadits-had its tentang 
ziarah kubur itu diriwayatk an 
dalam kitab Shahihain —Al-Bukhar i dan Muslim—, Sunan At-Tirmidz i dan lainnya. Keseluruha n hadits-had its tersebut ada di kitab Misykatul Mashabih 1/154.
Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karyanya Hasyiyah al Idlah fi 
Manasik al Hajj Wa al ‘Umrah li an-Nawawi,  hlm. 214 menyatakan  tentang pendapat Ibnu Taimiyah yang 
mengingkar i 
kesunnahan  safar 
(perjalana n) untuk ziarah ke 
makam Rasulullah  
shallallah u ‘alaihi wasallam:
 “Janganlah tertipu dengan pengingkar an Ibnu Taimiyah terhadap 
kesunnahan  ziarah ke makam 
Rasulullah , karena 
sesungguhn ya ia adalah seorang 
hamba yang disesatkan  oleh Allah 
seperti dikatakan oleh al ‘Izz ibn Jama’ah. At-Taqiyy as-Subki dengan panjang 
lebar juga telah membantahn ya 
dalam sebuah tulisan tersendiri . 
Perkataan Ibnu Taimiyah yang berisi celaan dan penghinaan  terhadap Rasulullah  Muhammad ini tidaklah aneh karena dia bahkan 
telah mencaci Allah, Maha Suci Allah dari perkataan orang-oran g kafir dan atheis. Ibnu Taimiyah 
menisbatka n hal-hal yang tidak 
layak bagi Allah, ia menyatakan  
Allah memiliki arah, tangan, kaki, mata (yang merupakan anggota badan) dan 
hal-hal buruk yang lain. Karenanya,  Demi Allah ia telah dikafirkan  oleh banyak para ulama, semoga Allah 
memperlaku kannya dengan 
kedilan-Ny a dan tidak menolong 
pengikutny a yang mendukung 
dusta-dust a yang dilakukan Ibnu 
Taimiyah terhadap Syari’at Allah yang mulia ini”.
Pengingkar an sunnah 
Rasulullah  akan ziarah kubur 
adalah dikarenaka n ulama mereka 
lebih bersandar kepada belajar sendiri (otodidak)  dengan muthola’ah  (menelaah kitab). Penelaahan  kitab diperparah  dengan pemahaman bersandark an pada akal pikiran mereka sendiri, 
memperguna kan 
metodologi  
“terjemahk an saja”  hanya 
memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminolo gis) namun kurang memperhati kan  nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll. Mereka 
memahami secara dzahir, harfiah, apa yang tertulis atau apa yang tampak 
saja.
Para ulama menyampaik an 
ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’a h” (menelaah kitab) semata dengan 
mengesampi ngkan “Talaqqi” 
(mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahua n khushush dan dapat dipercaya)  dikarenaka n terkadang dalam beberapa kitab terjadi 
“penyusupa n” dan 
“pendustaa n” atas nama agama 
atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian  para “salaf” maupun “kholaf” 
sebagaiman a mereka (para ulama) 
saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya 
maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat 
kepada pelaksanaa n “Ibadah 
fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumus kan kedalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative 
lainnya.
Kita sudah paham bahwa Ibnu Taimiyah pernah terjerumus  ke dalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) karena menelaah kitab 
berdasarka n akal pikiran dia 
sendiri. Namun sebelum dia wafat , dia sempat bertobat akan 
kesalahpah amannya. http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/04/ taimiyahtob at.pdf
Penjelasan  
keterjerum usan beliau ke dalam 
“Tasybihil lah 
Bikholqihi ” 
dijelaskan  dalam http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Selain berakibat “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) adalah 
pelaksanaa n “Ibadah fasidah” 
(ibadah yang rusak) atau ibadah yang kehilangan  ruhnya atau aspek bathin.
Akibat pemahaman ulama-ulam a yang bersandar  kepada belajar sendiri 
(otodidak)  dengan 
muthola’ah  (menelaah kitab) dan 
metodologi  
terjemahka n saja 
mengakibat kan umat muslim 
kehilangan  ruh ibadah atau aspek 
bathin dari ziarah kubur.
Mereka yang melakukan ziarah kubur tidak lagi meyakini bahwa ahli kubur 
dapat melihat siapa yang menziarahi  mereka. Sehingga berakibat mereka tidak lagi 
beradab ketika melakukan ziarah kubur. Contohnya apa yang 
berlangsun g pada ziarah kubur 
Rasulullah , umumnya adab mereka 
tidak menampakka n bahwa mereka 
sedang dilihat oleh Rasulullah  
shallallah u alihi wasallam. 
Mereka berdesak-d esakkan, tidak 
mengalah atau mereka tidak menampakka n bahwa mereka bersaudara  sesama muslim.  Mereka melakukan semua itu adalah 
atas ketidak-pa haman bahwa 
Rasulullah  melihat mereka yang 
menziarahi  kuburnya.
Mereka yang disisiNya walaupun telah wafat mereka hidup 
sebagaiman a para Syuhada
Firman Allah t’ala yang artinya,
”Dan janganlah kamu mengatakan  terhadap orang-oran g yang gugur di jalan Allah 
(syuhada),  (bahwa mereka itu ) 
mati; bahkan (sebenarny a) mereka 
itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarin ya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-oran g yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan 
mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 
169)
Rasulullah  bersabda, 
“sebagaiman a engkau 
tidur begitupula h engkau mati, 
dan sebagaiman a engkau bangun 
(dari tidur) begitupula h engkau 
dibangkitk an (dari alam kubur)”. 
Dalam riwayat lain, Rasulullah  ditanya, “apakah penduduk surga itu tidur?, 
Nabi menjawab tidak, karena tidur temannya mati dan tidak ada kematian 
dalam surga”.
Rasulullah  
shallallah u alaihi wasallam  
telah membukakan  kepada kita 
salah satu sisi tabir kematian. Bahwasanya  tidur dan mati
memiliki kesamaan, ia adalah saudara yang sulit dibedakan kecuali dalam hal 
yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar. Ruh 
orang tidur dan ruh orang mati semuanya ada dalam genggaman Allah Subhanahu wa 
Ta’ala,
Dialah Yang Maha berkehenda k siapa yang ditahan jiwanya dan siapa yang akan 
dilepaskan nya.
Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah 
wafat”.
Al-Qurtubi  dalam 
at-Tadzkir ah mengenai hadis 
kematian dari syeikhnya mengatakan : 
“Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan 
perpindaha n dari satu keadaan kepada 
keadaan lain.”
Salah satu cara Allah Azza wa Jalla mempertemu kan antara yang masih hidup dengan mereka disisiNya 
adalah ketika tidur (melalui mimpi)
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh 
orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan  sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala 
kepadanya,  karena Allah 
Subhanahu wa Ta’ala yang menggengga m ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur dan 
pada keadaan matinya.”
Rasulullah  bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت 
خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. 
Kalian bercakap-c akap dan 
mendengark an 
percakapan . Amal perbuatan 
kalian disampaika n kepadaku. 
Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan 
keburukan aku memohonkan  ampunan 
kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatk an oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al 
Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu  alaihi wasallam. Al Haitsami 
menyebutka nnya dalam Majma’u al 
Zawaaid dan mengkatego rikannya 
sebagai hadits shahih dengan komentarny a : hadits diriwayatk an oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan 
kriteria hadits shahih)
Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di 
mana Rasulullah  dikubur di dalamnya 
dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. 
Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan 
busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar”. (HR Ahmad).
Al Hafidh Al Haitsami menyatakan , “Para perawi atsar di atas Btu sesuai dengan 
kriteria perawi hadits shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim 
meriwayatk anya dalam Al 
Mustadrok dan mengatakan  atsar 
ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan  Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak 
mengkritik nya. ( Majma’ul Zawaid vol. 
4 hal. 7 ).
‘Aisyah tidak melepaskan  baju dengan tanpa tujuan, justru ia 
mengetahui  bahwa Nabi dan kedua 
sahabatnya  
mengetahui  siapakah yang orang yang 
berada didekat kuburan mereka.
Nabi shallallah u alaihi 
wasallam bersabda:
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
“Tidak seorangpun  
yang mengunjung i kuburan 
saudaranya  dan duduk kepadanya 
(untuk mendoakann ya) kecuali dia 
merasa bahagia dan menemaniny a 
hingga dia berdiri meninggalk an 
kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Nabi shall allahu alaihi 
wasallam bersabda:
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ 
ورد عليه السلام)
“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya  yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, 
lalu orang yang lewat itu mengucapka n salam untuknya, kecuali dia 
mengetahui nya dan menjawab 
salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam 
kitab Al-Istidzk ar dan 
At-Tamhid) .
Nabi  shallallah u alaihi 
wasallam bersabda:
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن 
كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
“Sesungguh nya perbuatan 
kalian diperlihat kan kepada 
karib-kera bat dan keluarga 
kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka 
mendapatka n kabar gembira, namun 
jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau 
matikan mereka sampai Engkau memberikan  hidayah kepada mereka seperti engkau 
memberikan  hidayah kepada kami.” 
(HR. Ahmad dalam musnadnya) .
Begitupula , dapat kita 
saksikan segelintir  umat Islam 
ketika di Baitullah,  Makkah al 
Mukaromah masih saja mereka memperliha tkan adab bahwa mereka tidak merasa sedang 
diawasi/ dilihat oleh Allah Azza 
wa Jalla.  Mereka berdesak-d esakkan, tidak mengalah dan tidak 
menampakka n bahwa mereka 
bersaudara  sesama muslim.  Hal 
ini diakibatka n ulama tidak lagi 
menyampaik an tentang  tasawuf 
atau tentang ihsan atau tentang akhlak. Sejak dahulu kala di 
perguruan- perguran tinggi Islam, 
pelajaran tentang tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang ihsan. Tasawuf 
adalah jalan untuk mencapai muslim yang ihsan
Muslim yang Ihsan atau muslim yang sholeh hanya ada dua kondisi. Kondisi 
minimum adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla dan 
kondisi terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah ta’ala dengan hati.
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَا نُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ 
فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut 
(takhsya /  khasyyah) kepada 
Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a, maka jika kamu tidak 
melihat-Ny a maka 
sesungguhn ya Dia 
melihatmu. ’ (HR Muslim 11) Link: http:// www.indoqur an.com/ index.php?s urano=2&ay atno=3&act ion=displa y&option=c om_muslim
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang 
sahabatnya  bernama Zi’lib 
Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana  
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana  Anda 
melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan 
manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Mereka yang telah dapat melihat Allah ta’ala dengan hati adalah mereka 
yang telah berma’rifa t atau 
mereka yang telah memperjala nkan 
dirinya (suluk) hingga sampai (wushul) kepada Allah ta’ala. Mereka adalah yang 
menjalanka n tasawuf yakni mereka 
yang setelah menjalanka n syariat 
kemudian meneruskan  kepada 
tharikat, hakikat hingga berma’rifa t.
Nasihat Imam Syafi’i ~ rahimahull ah,
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
“ 
Berusahala h engkau 
menjadi seorang yang mempelajar i 
ilmu fiqih (perkara syariat) dan juga menjalani tasawuf 
(thariqat,   hakikat dan ma’rifat) , 
dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhn ya demi 
Allah saya benar-bena r ingin 
memberikan  nasehat padamu. Orang 
yang hanya mempelajar i ilmu 
fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan 
kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau 
mempelajar i ilmu fiqih, maka bagaimana 
bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) ?   [Diwan Al-Imam 
Asy-Syafi' i, hal. 47]
Nasehat Imam Malik ~rahimahul lah
و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق
من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق
و من جمع بينهما فقد تخقق
“Dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajar i fikih rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fikih tanpa 
mengamalka n Tasawuf rusaklah dia . 
Hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar”
Barangsiap a yang merasa 
diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau 
muslim yang Ihsan (muslim yang baik , muslim yang sholeh) – , maka ia mencegah 
dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , mereka tidak berdesak-d esakan, mereka mau mengalah atau mereka 
menunjukka n adab atau sikap 
bahwa mereka bersaudara  sesama muslim. 
Tidak saja ketika di Baitullah namun dimanapun mereka berada di muka bumi 
ini.
Keyakinan dilihat oleh Allah Azza wa Jalla maupun keyakinan dilihat 
oleh Rasulullah  
shallallah u alaihi wasallam 
tidak lagi timbul pada segelintir  umat muslim dikarenaka n pengajaran  para ulama yang mengakibat    ibadah fasidah  (ibadah yang rusak) atau ibadah 
yang kehilangan  ruhnya atau aspek 
bathin.
Segelintir  kaum muslim, 
ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau 
gerakan-ge rakan yang bersifat 
mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-ruku nnya (ilmu), sebagaiman a robot sesuai programnya .
Rasulullah  
shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: 
“Sesungguhn ya Allah tidak 
melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR 
Muslim)
Tidaklah mereka mencapai sholat yang dikatakan oleh 
Rasulullah  
shallallah u alaihi wasallam bahwa 
“Ash-shalat ul Mi’rajul 
Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya 
orang-oran g mukmin“. yaitu 
naiknya jiwa meninggalk an ikatan nafsu 
yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Akibat pemahaman ulama-ulam a yang bersandar  kepada belajar sendiri 
(otodidak)  dengan 
muthola’ah  (menelaah kitab) dan 
metodologi  
terjemahka n saja 
mengakibat kan mereka melakukan 
upaya pembenaran  terhadap apa 
yang mereka pahami sehingga mereka pada hakikatnya  tidak lagi menyampaik an kebenaran melainkan memperturu tkan keinginan atau hawa nafsu mereka sendiri. 
Mereka dapat mengingkar i sunnah 
Rasulullah  karena bagi mereka tidak 
masuk akal.
Contohnya ulama mereka mengingkar i sunnah Rasulullah  bahwa, “Barangsiap a yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan 
mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh 
dariNya” (diriwayat kan oleh 
ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46). Hal ini telah kami sampaikan 
dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/22/ sebaik-baik -manusia/
Mereka juga mengingkar i 
kebenaran yang tidak masuk akal mereka sehingga mereka 
mengakatak an sebagai tahayul atau 
khurafat.
Dalam upaya mereka melakukan pembenaran  terhadap apa yang mereka pahami mereka 
mendustaka n perkataan ulama yang 
lain
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu 
(yang kau pelajari) dari ahli bid’ah; juga dari orang yang tidak engkau ketahui 
catatan pendidikan nya (sanad 
ilmu); serta dari orang yang mendustaka n perkataan manusia, meskipun dia tidak 
mendustaka n hadits 
Rasulullah  
shallallah u alaihi wasallam“ 
.
Mereka yang tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah telah diuraikan dalam 
tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/03/ ahli-bidah- sebenarnya /
Sedangkan contoh mereka yang mendustaka n perkataan ulama lainnya untuk 
membenarka n apa yang mereka pahami 
dapat ditemukan pada http:// abahnajibri l.wordpres s.com/ 2011/04/18/ siapa-bilan g-ibnu-tai miyyah-4nt 1-ziarah-k ubur/
Mereka adalah termasuk pengikut Ibnu Taimiyyah dan mereka melakukan 
upaya “pembelaan ” terhadap ulama 
mereka. Mereka menyampaik an dalam 
tulisan mereka  bahwa Imam Malik dan para Imam lainnya sangat tidak suka apabila 
ada yang berkata : “Saya berziarah kemakam Nabi” 
Hal tersebut serupa dengan pendapat Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ 
Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat 
mengandalk an ungkapan Imam Malik 
ra untuk melarang menziarahi  
Rasulullah .
Ibnu Taimiyah berkata yang artinya,
“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci 
kata-kata,  ‘Aku 
menziarahi  kubur Nabi 
Shallallah u alaihi wasallam’ 
 sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah 
adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya 
penduduk Madinah. Seandainya  
terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah  Shallallah u alaihi wasallam. yang di dalamnya terdapat lafaz 
‘menziarah i 
kuburnya’,  niscaya tidak akan 
tersembuny i (tidak 
diketahui)  hal itu oleh para ulama 
ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku .“
Imam Malik ra dengan perkataann ya “aku membenci kata-kata,  “Aku menziarahi  kubur Nabi Shallallah u alaihi wasallam’ “ tidak bermaksud 
mengingkar i Sunnah 
Rasulullah  tentang ziarah kubur.
Imam Malik ra termasuk yang dapat meyakini bahwa 
Rasulullah  walaupun secara dzahir 
telah wafat namun beliau hidup sehingga beliau tidak menyukai perkataan 
“menziarahi  kubur 
Rasulullah”.  Beliau lebih baik mengatakan nya dengan “menziarahi  Rasulullah” atau 
"mendatangi  
Rasulullah"
Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan  Rasulullah  shallallah u alaihi wasallam, sampai-sam pai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah 
karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah  shallallah u alaihi wasallam dikubur di tanah Madinah, 
sebagaiman a ia nyatakan, 
“Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya 
ada Rasulullah  
shallallah u alaihi wasallam 
dengan kaki hewan (kendaraan )”  
(lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid 
As-Saywasi , wafat 681 H., Darul Fikr, 
Beirut, juz 3, hal. 180).
Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam 
memuliakan  jasad 
Rasulullah  
shallallah u alaihi wasallam 
seperti menganggap  seolah beliau 
masih hidup, membuatnya  benci 
kepada orang yang ingin menziarahi  makam Rasulullah  shallallah u alaihi wasallam  ? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman 
yang keliru.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalla ni, di dalam kitab Fathul-Bar i  juz 3 hal. 66, menjelaska n, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku 
menziarahi  kubur Nabi 
shallallah u alaihi 
wasallam.” adalah karena semata-mat a dari sisi adab, bukan karena membenci amalan 
ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan  oleh para muhaqqiq (ulama khusus) 
mazhabnya.  Dan ziarah kubur 
Rasulullah  
shallallah u alaihi wasallam 
adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’a tannya jelas, dan hal itu merupzkan ijma’ para 
ulama.
Oleh karenanyal ah 
sebaiknya jangan mengikuti pemahaman ulama yang banyak 
kesalahann ya yang 
dibuktikan  dengan banyak ulama 
lain yang menyanggah  atau 
membantah pendapat ulama tersebut. Jangan beralasan dengan “ambil yang baik dan 
buang yang buruk” karena pada hakikatnya  mereka tidak dalam pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala  terhadap 
orang-oran g sholeh. 
 Bagaimana  yang dimaksud 
pemilharaa n Allah subhanahu wa 
ta’ala terhadap orang-oran g sholeh 
telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/05/ meluncurnya -anak-pana h/
Sekali lagi kami mengingatk an marilah kita ikuti pemahaman pemimpin ijtihad 
kaum muslim (Imam Mujtahid /  Imam 
Mazhab) dan penjelasan para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka 
mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830