DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN (NU)
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT
sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta
seperangkat
aturan-Nya, karena berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan
Elektronik Book (E-BOOK) ini dengan
judul “DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN
(NU)’ ini dapat
terselesaikan tidak kurang dari pada
waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan E-BOOK ini tidak lain sebagai
informasi dan “meluruskan” dari
tuduhan golongan yang tidak sepaham dengan amalan-amalan warga nahdliyin, sehingga mudahnya mereka
mengatakan banyak amalan warga
NU berbau Tahayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) .Sebenarnya penulis pun tidak mempermasalahkan sebuah perbedaan pendapat namun penulis
sangat merasa prihatin sebagai warga nahdliyin ketika
orang-orang dari golongan lain
mempermasalahkan
amalan-amalan yang juga merupakan
amalan yang penulis lakukan sebagai warga nahdliyin.
Pada kesempatan ini,
penulis juga ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian e-book ini baik
secara langsung maupun tidak langsung.. Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan
dimana penulispun sadar
bawasanya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan
kesempurnaan hanya milik Allah
Azza Wa’jalla sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis harapkan dalam upaya untuk
mengevaluasi diri penulis
pribadi ^_^. Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik
ketidaksempurnaan penulisan dan
penyusunan e-book ini ditemukan
sesuatu yang dapat memberikan manfaat
atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh warga nahdliyin
khususnya.
Kepanjen,12 Maret 2011
M. Imam Nawawi, S.PdI
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………………….. 1
Kata Pengantar …………………………………………………………………………….. 2
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………. 3
1. Makna ”KULLU BID’AH
DHOLALAH” ………………………………………….
4
2. Mengenal Makna Bidah
………………………………………………………………. 7
3. Pertanyaan dan jawaban seputar bidah
……………………………………………. 11
4. Bid’ah
sebuah kata sejuta makna ……………………………………………………15
5. Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
.............................................. 26
6. Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya
...................................................................................................................... 42
7. Dalil Sholat sunnah
Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at ............................................ 45
8. Dalil
mengangkat tangan waktu berdo’a ................................................................... 48
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana…
50
10. Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat
………………………………………… 58
11. Bagaimana hukum
menyuguhkan makanan baik kepada
para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para
pentakziah? ………………... 63
12. Hukum Duduk Bersama Untuk Berdzikir
…………………………………………. 65
13. Dalil Nyekar Bunga Di
Kuburan ……………………………………………………. 66
14. Dalil Tentang Bolehnya
Bertabaruk ………………………………………………... 68
15. Bagaimana hukumnya
membaca manaqib? ……………………………………….. 71
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
………………………………………...………………… 77
17. Hukum Maulid Nabi
…………………………………………………………………. 80
18. Dalil Membaca dzikir dan syair
sebelum pelaksanaan shalat
berjama'ah ……….
82
19. Berzikir dengan pengeras suara
…………………………………………………….. 83
20. Hukum
Meng-Hadiah-kan
Fatihah …………………………………………………. 84
21. Hukum Bacaan
al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan Jamuan
makan untuk orang mati ... 85
22. Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana dalilnya?
…………………………………………. 87
23. Hukum Membaca Al-Barzanji ………………………………………………………. 98
1.
Makna “KULLU BID’AH
DHOLALAH”
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in
hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu
berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk
hidup.Karena Allah juga
berfirman menceritakan tentang
penciptaan jin dan Iblis yang
berbunyi: Khalaqtanii min
naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat
diterjemahkan secara mutlak
dengan arti : SETIAP/SEMUA,
sebagaimana umumnya jika merujuk ke
dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN
dhalalah,. Maka harus
diartikan:
Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu
adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan
SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat,
karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain:
Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha.
Artinya : Barangsiapa
memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia
mendapatkan pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh
Nabi saw. dan dijanjikan pahala
bagi pencetusnya, serta tidak
dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah
(menciptakan perbuatan baik)
adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta
pembagiannya pada juz, ruku`,
maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU
BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya
:
1. Adanya sebagian masyarakat
yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena
berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan
ma’amalah), padahal sama-sama
mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling
benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di
dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut
SANNA (menciptakan perbuatan baik).
Contohnya:
- Adanya sekelompok
orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-toko h beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagori kan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan shalat
sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan,
adalah masalah ijtihadiyah yang
tidak didapati tuntunannya
secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi
tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya
dalil-dalil dari
Alquran-Hadits yang dijadikan
dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara
ma`nawiyah. Antara lain adanya
ayat Alquran-Hadits yang
memerintahkan shalat sunnah
malam (tahajjud), dan adanya
perintah menghidupkan malam di bulan
Ramadhan.
Tetapi mengkhususkan
shalat sunnah malam (tahajjud)
di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah
jelas-jelas perbuatan BID`AH
yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian
masih dapat dikatagorikan sebagai
perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa
untuk mayyit, melaksanakan
perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun
amalan-amalan ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara
ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan
masyarakat), bahwa isi kegiatan
tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini
jelas-jelas adalah perintah
Alquran-Hadits. Dalam kegiatan
tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang
jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang
disabdakan oleh Nabi saw. :
Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas,
bahwa menghadiri majelis ta`lim
atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah
syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara
tahlilan di rumah-rumah penduduk
adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada
dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan
tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat
pemancar radio atau menerbitkan
majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang
bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran.
Sebagaiman di dalam sabda beliau
saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu.
Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran,
barangsiapa menulis dariku
selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut
dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi
batasan-batasan yang sangat
ketat dan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan
penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah
mencetuskan pemahaman dan
pemikirannya, tanpa ada
syarat-syarat yang mengikat,
selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi
kandungannya jauh dari standar
kebenaran syariat.
Contohnya, dalam
penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat
berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk
diterima-tidaknya Hadits yang
diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang
semacamnya, jika berisi
nilai-nilai kebaikan yang
sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat
majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh
ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat
dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi
tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
2. Mengenal Makna Bidah
Ada sekelompok golongan
yg suka membid’ah-bid’ahkan
(sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan mingguan, Tahlilan
dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih
“Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah saw. telah mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah
dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah saw. memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari
Rasulullah?”
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di
atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw. tidak
mencontohkan ataupun
memerintahkannya.
Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan
dalam fakta sejarah.
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi
saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan
kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau
amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di surga. Bilal
berkata, “Aku tidak mengamalkan
amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di
malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku
itu”.Dalam riwayat at Turmudzi
yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata
kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak
mengumandangkan adzan melainkan
aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku
mewajibkan atas diriku untuk
shalat (sunnah).” Maka Nabi saw.
bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih
berdasarkan syarat keduanya
(Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.
Hadis di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal)
melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi
saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat,
bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang
Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca,
sami’allahu liman hamidah (Allah
maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca,
“Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami,
hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta
diberkahi).
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang
membaca kalimat-kalimat tadi?”
Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala
bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomentar,
“Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa
yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak
menggangu.”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani
meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia
berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و
أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang
mengucapkan
kalimat-kalimat tadi?
Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”
Rasulullah saw.
bersabda, “Aku benar-benar
menyaksikan
pintu-pintu langit terbuka untuk
menyambutnya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja
redaksi yang ia riwayatkan:
“Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua
belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah
meningglakannya semenjak aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda
demikian.”
Di sini diterangkan
secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan
shalat yang tidak/ belum pernah
dicontohkan atau diperintahkan
oleh Rasulullah saw. Dan reaksi
Rasul saw. pun membenarkannya
dengan pembenaran dan kerelaan yang
luar biasa.
Al hasil, Rasulullah
saw. telah men-taqrîr-kan
(membenarkan) sikap sahabat yang
menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia
berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap
kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad
sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan
dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau
pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia
menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan
apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami
kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka
meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka
keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai
fulan, apa yang mencegahmu
melakukan apa yang diperintahkan
teman-temanmu? Apa yang
mendorongmu untuk selalu membaca
surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku
mencintainya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah sunnah dan
jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak
diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan
dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu
merestuinya. Jawaban orang
tersebut membuktikan motifasi
yang mendorongnya melakukan apa
yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia
menyimpulkannya dari dalil umum
dianjurkannya
berbanyak-banyak berbuat
kebajikan selama tidak bertentangan
dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah
al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang
kontinyu diklakukan Nabi saw.
adalah yang seharusnya
dipelihara, akan tetapi ia
memberikan kaidah umum dan bukti
nyata bahwa praktik-prakti
seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan
yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatkan
dalam kitab at Tauhid,
dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin
sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah
tertentu kemudian ia menutupnya
dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka
melaporkannya kepada nabi saw.,
maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya
kepadanya, ia menjawab “Sebab
surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka
membacanya.” Lalu Nabi saw.
bersabda, “Beritahukan kepadanya
bahwa Allah mencintainya.”
(Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi
saw., namun kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakunya dengan
mengatakan bahwa Allah
mencintainya.
3. Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah
Orang-orang yang tidak
sependapat dengan amalan warga
NU biasanya membidahkan amalan warga
Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:
- Barangsiap
a menimbulka n sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
- Sesungguhn
ya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah , dan sebaik-bai k jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-bu ruk urusan agama ialah yang diada-adak an. Tiap-tiap yang diada-adak an adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
- Apabila kamu melihat orang-oran
g yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasululla h Saw.) tiada maka tunjukkanl ah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyakl ah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanla h mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-oran g yang dikhawatir kan meniru-nir u bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatk an derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahaw i)
- Kamu akan mengikuti perilaku orang-oran
g sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukiny a. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah ?" Beliau menjawab, "Orang-ora ng Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
- Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada:
kesesatan sesudah memperoleh
pengetahua n, fitnah-fit nah yang menyesatka n, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
- Barangsiap
a menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan , "Ya Rasulullah , apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-a dakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-oran g kepadanya. " (HR. Daruquthin dari Anas).
Setelah kita membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami
terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah,
persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku
menciptakan ibadah baru yang
bertentangan dengan ajaran
Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku
itu bertentangan dengan Alquran,
falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih
(janganlah kalian duduk dengan
mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta dalil lakum
diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku
“Doa Bersama Muslim non Muslim” ini ini jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada
tuntunannya
sedikitpun di dalam Islam.
Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk
mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat Islam,
bahkan ada perintahnya
baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai
dengan
- Mengumpulk
an masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah ? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : majlis dzikir).
- Membaca surat Alfatihah,
tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ? - Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?
- Baca Al-ikhlas,
Al-alaq-An naas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ ringan dari ayat Alquran).
- Baca subhanalla
h, astaghfiru llah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah .
- Doa penutup.
- Lantas tuan rumah melaksanak
an ikramud dhaif, menghormat i tamu sesuai dengan kemampuann ya.
Tentunya dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat
kemampuannya, tak ubahnya saat
Akhi/keluarga Akhi
melaksnakan
pernikahan dengan suguhan untuk
tamu, yang disesuaikan dengan
kemampuan tuan rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang
dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen
dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah
yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH.
Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah
Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi
mengajarkan shalat sunnah
Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada
yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat
kekhalifahan Sahabat Umar,
beliau berinisiatif
mengumpulkan semua
masyarakat untuk shalat Tarawih
dengan berjamaah,
dilaksanakan 20 rakaat penuh di
dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi
(sebaik-baik bid’ah adalah ini =
pelaksanaan tarawih 20 rakaat
dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat Umar ini
terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi Arabia seperti kita lihat sampai saat ini
bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan
mengkhatamkan Qur’an. Hal ini
sama lestarinya dengan bid'ahnya
para Wali songo yang mengajarkan
tahlilan di masyarakat Muslim
Indonesia. Jadi baik Sahabat
Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan
para pengikutnya umat Islam
Indonesia, adalah pelaku BID'AH
HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami
sunnatan hasanatan, fa lahu
ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik
(Barangsiapa yang memberi contoh
sunnatan hasanatan (perbuatan
baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan dengan syariat), maka ia akan
mendapatkan pahalanya dan
kiriman pahala dari orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun.
Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah
mengumpulkan
pundi-pundi pahala yang sangat
banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah
maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.
CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH
Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru
tetap dilakukan. Umat islam
mengakuinya berdasar
dalil-dalil yang shahih. Simak
berbagai contoh berikut,
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal
ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra.
Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran
ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang
mengumpulkan kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa
3. Modifikasi yang
dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum
khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan,
dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul
saw. pernah melarang menuliskan
hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru
digalakkan sejak era Umar ibn Abdul
Aziz, sekitar abad ke 10 H.
5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa
Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6. Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul
saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel
berbintang penuh fasilitas
kemewahan, tenda juga diberi fasiltas
pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau
kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
7. Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam
pengajarannya dipakai sistem
klasikal.
dan masih banyak contoh-contoh lain.
4. Bidah sebuah kata sejuta makna
Setelah adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini
mengenai faham Salafi/Wahabi dan
pengikutnya, marilah kita teruskan
mengupas apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta
wejangan/ pandangan para ulama pakar
tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh
mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling
berhadap-hadapan dalam memahami
ucapan-ucapan
Rasulullah saw. sebagai
Shohibusy-Syara’ (yang berwenang
menetapkan hukum
syari’at). Sunnah dan bid’ah
masing-masing tidak dapat
ditentukan
batas-batas
pengertiannya, kecuali jika yang
satu sudah ditentukan batas
pengertiannya lebih dulu. Tidak
sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalkannya, dan akhirnya
mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Seandainya mereka
menetapkan batas
pengertian sunnah lebih dulu
tentu mereka akan memperoleh
kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa
Rasulullah saw.
menekankan soal sunnah
lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra.
bahwa Rasulullah saw. bila
berkhutbah tampak matanya
kemerah-merahan dan dengan suara keras
bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah
Kitabullah
(Al-Qur’an) dan
petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw.
Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang
diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat’ . (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud
ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa yang
didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang
mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia
memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun
juga’ (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar
lagi hadits-hadits yang semakna
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok
yang telah disepakati bulat oleh
para ulama menetapkan;
‘Pengertian berdasar
kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’ .
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang
diada-adakan yang menyalahi
Kitabullah dan petunjuk
Rasulullah saw. Dari hadits
berikutnya kita melihat bahwa
jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi
jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang
menyimpang dan
berlawanan dengan sunnah adalah
Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam
kitab Mufradatul-Qur’an
Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata
sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah
Rasulullah saw. Berarti Jalan
Rasulullah saw. yaitu jalan yang
ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Sunnatullah dapat
diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan
mentaati-Nya. Contoh firman Allah
SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak
akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah
bahwa cabang-cabang hukum
syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan
tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah SWT.
Demikianlah menurut
penjelasan Ar-Raghib
Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan:
‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti
adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang
berulang-ulang dilakukan oleh
orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai
peribadatan maupun yang tidak
dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam
tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia
mengatakan, bahwa beberapa
riwayat hadits menggunakan kata
sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna
thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan
Al-Mawardi juga
mengartikan kata sunnah
dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya,
yaitu persoalan-persoalan yang
tidak dilakukan, tidak diucapkan
dan tidak diperintahkan oleh
beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau
sunnah yang ditempuh Rasulullah
saw. dalam membenarkan, menerima
atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan
menelusuri
persoalan-persoalan itu kita
dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai
soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau
saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak
sesuai dan bertentangan dengan
Sunnah Rasulullah saw., itulah yang
kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita
dapat membedakan lebih dahulu mana yang
sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak
dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang
benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan
petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga
diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan
Rasulullah saw. tidak menjadi
sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan
oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti.
Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh
beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak
sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak
bertentangan dengan tuntunan dan
petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik
yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak
dilakukan dan tidak diperintah-
kan secara khusus oleh Rasulullah
saw. !
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang
menunjukkan bahwa
Rasulullah saw. sering
membenarkan prakarsa baik
(umpama amal perbuatan, dzikir,
do’a dan lain sebagainya) yang
diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan
mengerjakan- nya
berdasarkan pemikiran dan
keyakinannya sendiri, bahwa yang
dilakukan- nya itu merupakan
kebajikan yang dianjurkan oleh
agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka
berpedoman pada firman Allah
SWT. dalam surat Al-Hajj:77:
‘Hendaklah kalian
berbuat kebajikan, agar kalian
memperoleh
keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa
masing-masing, itu tidak
berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa,
karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang
prakarsanya diambil oleh para
sahabat Nabi saw. berdasarkan
ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah
Rasulullah saw. jika amal
kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan
syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan
syari’at, tidak bertentangan
dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw., dan tidak
mendatangkan
madharat/akibat buruk, tidak dapat
disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah
Hasanah, sebagaimana
yang terdapat dalam hadits Rasulullah
saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya
menurut pengertian
bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja
dengan berdalil sabda Rasulullah saw.
“Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”),
serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan
sebagainya. Setiap amal yang
dikategorikan sebagai bid’ah,
maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang
haram dikerja-kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada
hadits–hadits lain
(keterangan lebih mendetail baca
halaman selanjutnya) yang
membuktikan sikap
Rasulullah saw. yang
membenarkan dan meridhoi
berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang
sebelum dan sesudahnya tidak ada
perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang
dikerjakan setelah wafatnya
Rasulullah saw. umpamanya oleh
isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat
lainnya yang mana amalan-amalan
ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan
bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat
yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah
itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah
selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan
ulama Fiqih memisahkan makna
Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang
menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim:
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة
ٌمَحْمُودَةٌ
وَبِدْعَةِ
مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ
السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدَةٌ وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah
tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah
yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang
tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ
يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ
فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi
Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’.
Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah
perkara-perkara baru yang
mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu
dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah
yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan
ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar
yang sependapat dengan Imam
Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi,
Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam
Al-Qurafiy, Imam
Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu
Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik
termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah
terjadi di masa Rasulullah saw.
Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum
syari’at,, hukumnya tetap
terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram,
wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari
4/318 sebagai berikut: “Pada
asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat
bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik
menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu
yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka
dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi
kepada hukum-hukum yang
lima ”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam
risalahnya Husnul Maqooshid fii
‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih;
Az-Zarqooni dalam Syarah al
Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam
Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam
Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh
hasanah/mahmudah, tetapi mereka
sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh
mukaffarah (bidáh kufur), bidáh
muharramah (bidáh haram) dan
bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak
menetapkan adanya bidáh mubah,
seolah-olah mubah itu tidak
termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu
dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki
Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama
(diantaranya Imam Nawawi dalam
Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah
itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti
menyanggah orang yang
menyelewengkan agama, dan belajar
bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan
Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum
muslimin, mengadakan
sekolah-sekolah,
mengumandangkan adzan diatas
menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa
pertumbuhan Islam belum pernah
dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi
masjid-masjid dengan
hiasan-hiasan yang bukan pada
tempatnya,
mendekorasikan
kitab-kitab Al-Qur’an dengan
lukisan-lukisan dan
gambar-gambar yang tidak
semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti
menggunakan saringan (ayakan),
memberi warna-warna pada makanan
(selama tidak mengganggu
kesehatan), memakai kopyah,
memakai pakaian batik dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram; semua perbuatan
yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak
mengandung
kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian
amalan-amalan para sahabat serta
para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh
sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram.
Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir
kemungkinan ada ayat-ayat
Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang
mengumpulkan kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu
beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel
kesarjanaan seperti; doktor, drs
dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman
Rasulullah saw. cukup banyak
para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka
memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah
sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung
orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan
sebagainya adalah haram. Sebab
dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang
dilaksanakan pada zamannya
khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat
Jum’at baik di Indonesia, di
masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman
karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada
huruf-hurufnya, memberi nomer
pada ayat-ayatnya. Mengatur juz
dan rubu’nya dan tempat-tempat
dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan
sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang
diperintahkan Allah SWT. kepada
ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin
pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang
penggunaan
pesaw.at-pesaw.at tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru
kendali, raket-raket dan
persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran
waktu memperingati hari
kemerdekaan, halal bihalal,
memperingati hari ulang tahun
berdirinya sebuah negara atau
pabrik dan sebagainya (pada
waktu memperingati semua ini
mereka sering mengadakan bacaan
syukuran), yang mana semua ini
belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau.
Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal
peribadatan tidak sesuai dengan
zamannya Rasulullah saw. atau
para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full ac sehingga orang tidak akan
kepanasan, nyenyak tidur,
menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat
yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah
baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para
pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti
haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat),
maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang
teknologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak
sedangkal itu.
Sebagaimana telah
penulis cantumkan sebelumnya
bahwa para ulama diantaranya
Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para
ulama lainnya menerangkan:
“Bid’ah/masalah baru yang
diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab
(dibolehkan) apalagi dalam hal
kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf
sepeninggal
Rasulullah saw. telah diteliti
para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata
baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima.
Sebaliknya, bila setelah diuji
ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah
tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh
generasi-generasi yang hidup
pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa
hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat
gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu
sebelum Mekkah , mengusap-usap
mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain
sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan
pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha
(Palestina), tempat
khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash
mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau
ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak
dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang
mengatakan: “Kalau hal-hal
itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman
sebelum- nya”. (perkataan ini
sering diungkapkan oleh golongan
pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu
banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain
soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri
Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu
ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa
(sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di
Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu.
Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan
tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1
halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri
berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini
Imam Bukhori juga mengetengahkan
sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang
mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin
Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah
ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan
kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab :
“Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah
mengatakan sendiri bahwa dia
sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar)
mengatakan sholat dhuha adalah
bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang
pelakunya akan dimasukkan ke
neraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut
bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau
dikerjakan oleh isteri Nabi atau para
sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa
disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam
pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah
mustanbathah yakni sunnah
yang ditetapkan
berdasarkan istinbath atau
hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul
Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extrem) bahwa
apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil
bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang
yang mendalami ilmu ushuluddin
mengetahui bahwa
Asy-Syar’i
(Rasulullah saw.)
menyebutnya bid’ahtul
hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan
Rasul-Nya) sunnah, dan
menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah SWT. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung ’. (Ali
Imran (3) : 104).
Allah SWT. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian
memperoleh
keuntungan” .
(Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ
(ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ
عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama
dengan yang mengerjakannya’ . (
HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang
baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang
melaksanakannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun, dan
barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang
jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa
orang-orang yang
mengamalkannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari
Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat
sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah
ditetapkan oleh
Rasulullah saw. dan para
Khulafa’ur
Roosyidin, bukan
gagasan-gagasan baik yang tidak
terjadi pada masa Rasulullah
saw. dan Khulafa’ur
Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah
hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia
daripada perkara-perkara
keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah
sayyiah/buruk adalah sesuatu
yang diada-adakan oleh manusia
daripada perkara-perkara
keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan
mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan
satu bentuk pembatasan hadits dengan
tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut
membenarkan adanya
gagasan-gagasan kebaikan pada masa
kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits
itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa
ada contoh yang mendahului baik
dia itu dari perkara-perkara
dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah
Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu
Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah
yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah
para penerus kepemimpinan
beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat
Khalifah sepeninggal
Rasulullah saw. saja ,
tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah
ahli-waris para Nabi “.
Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama
dikalangan kaum muslimin
berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in,
Tabi’it-Tabi’in dan
seterusnya; dari generasi ke generasi,
mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 :
“Sekiranya mereka
menyerahkan (urusan
itu) kepada Rasulullah dan
Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin
mengetahui
kebenarannya (akan dapat)
mengetahui dari mereka
(ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan
kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan
beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra.
menegaskan : “Allah telah memilih
Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih
sahabat-sahabatnya. Karena itu apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “
. Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan
dinilainya sebagai hadits Hasan
(hadits baik).
Dengan pengertian
penakwilan kalimat sunnah
dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa
keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah
sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah
mencampur-aduk kata bid’ah itu
antara penggunaannya yang
syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah
terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits
hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru
yang bertentangan dengan nash dan
dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap
perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud
yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan
dasar-dasar syari’at dan inilah yang
disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang
maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan nash
dan dasar-dasar syari’at dan
inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang
memasukkan semua perkara baru
yang tidak pernah dikerjakan
oleh Rasulullah saw., para
sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah
dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus)
untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang
demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul
berdasarkan
penggunaannya yang lughawi. Karena
tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan
tuduhan mengharamkan
amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah
diharuskan sebanyak mungkin
menjalankan ma’ruf
(kebaikan) yaitu semua perbuatan yang
mendekatkan kita
kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan
kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga
orang yang menunjukkan kepada
kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT. pahala yang sama dengan orang yang
mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang
kalimatnya: semua bid’ah
dholalah dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-hadits yang lain yang
menganjurkan manusia selalu
berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus
berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual
kalimatnya saja tapi memahami
makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama
lain tidak akan berlawanan
maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah
peribadatan saja. Termasuk juga
kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim
dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar
Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni
kecuali oleh orang yang bersangkutan,
sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep
tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus
berhati-hati untuk tidak melanggar
hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun
tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang
bersangkutan telah memberi maaf.
5. Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh
para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah SWT.
atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa
hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang
sebelum atau sesudahnya tidak
pernah diamalkan, diajarkan atau
diperintah- kan oleh
Rasulullah saw. selama hal ini
tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam
bidang kebaikan itu malah dianjurkan
oleh agama dan mendapat pahala.
- Hadits dari Abu Hurairah: “Rasululla
h saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu . Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkandidalam surga’ ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-mala m sebagaiman a aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim
dan Ad-Dzahabi yang mengakui
juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah
meninggalkan sholat dua rakaat setelah
adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan
sholat dua raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath
mengatakan: Dari hadits tersebut
dapat diperoleh pengertian, bahwa
ijtihad menetapkan
waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada
Rasulullah
saw.adalah hasil istinbath
(ijtihad)-nya sendiri dan
ternyata dibenarkan oleh beliau saw.
(Fathul Bari jilid 111/276).
- Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai
perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan
sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah
menetapkan
waktu-waktu ibadah atas dasar
prakarsanya
sendiri-sendiri.
Rasulullah saw. tidak
memerintahkan hal itu dan tidak
pula melakukannya, beliau hanya
secara umum menganjurkan supaya
kaum muslimin banyak beribadah.
Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan
membenarkan prakarsa dua orang sahabat
itu.
- Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal
dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangka
n bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’
beliau saw. mengucapkan
‘sami’allahu liman hamidah’. Salah
seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana
lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan
kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang
berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah.
Rasulullah saw. berkata : ‘Aku
melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’
“.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk
membolehkan membaca suatu dzikir
dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika
ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau
bertentangan dengan dzikir yang
ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw.. Disamping itu,
hadits tersebut mengisyaratkan
bolehnya mengeraskan suara bagi
makmum selama tidak mengganggu
orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat
selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah
ditentukan
(diwajibkan). Juga hadits itu
memperbolehkan orang
mengeraskan suara diwaktu shalat
dalam batas tidak menimbulkan
keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah
bin Shiddiq Al-Ghimary untuk
mengetahui makna al-bid’ah
- Hadits serupa diatas yang diriwayatk
an oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-e ngah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamduli llah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullahsaw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan ? Sesungguhnnya ya dia tidak mengatakan Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-esesuatu yang percuma’. ngah (kelelahan ) sehingga aku mengatakan nya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannyake Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
- Dalam Kitabut-Ta
uhid Al-Bukhorimengetenga hkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan : “Pada suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah , selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah . Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantarany a memberitah ukan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw.menjaw ab : ‘Tanyakanl ah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaantemannya itu orang yang bersangkut an menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangka n sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya ’. Ketika jawaban itu disampaika n kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainy a’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak
pernah diperintahkan oleh
Rasulullah saw. Itu hanya
merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu
Rasulullah saw. tidak
mempersalahkan dan tidak pula
mencelanya, bahkan memuji dan
meridhoinya dengan ucapan “Allah
menyukainya”.
- Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari
Anas bin Malik yang menceriter
akan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukann ya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya : Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalk an surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalk an surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriter akan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhn ya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullahteman-tema nmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? , aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaan mu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya
Al-Fath mengatakan
antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah
ditentukan karena terdorong oleh
kecintaannya kepada surah
tersebut. Namun Rasulullah saw.
menggembirakan orang itu dengan
pernyataan bahwa ia akan masuk
surga. Hal ini menunjukkan bahwa
beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul
Munir menjelaskan
makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat
mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’.
Selanjutnya ia
menerangkan; ‘Seumpama orang itu
menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin
Rasulullah saw. akan
menyuruhnya supaya belajar
menghafal Surah-surah selain
yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia
mengemukakan alasan karena sangat
mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulullah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga
menunjukkan, bahwa orang boleh
membaca berulang-ulang Surah
atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan
bahwa orang yang bersangkutan
tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik
para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah
sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang
tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan
diperintahkan oleh
Rasulullah saw. Sedangkan
sunnah-sunnah yang tidak pernah
dijalankan atau
diperintahkan oleh
Rasulullah saw. bila tidak keluar dari
ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta
oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada
Allah SWT.
- Al-Bukhori
mengetenga hkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan ) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan , bahwa ia mendengar seorang mengulang- ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitah ukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang- ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah saw.berkat a : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNy a, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan
didalam Al-Fathul-Bari ;
bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin
Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang
mengatakan, bahwa sepanjang
malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus
membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar
adalah saudaranya seibu (dari
lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang
sama diriwayatkan juga oleh
Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
- Ashabus-Su
nan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatk an sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriter akan kesaksiann ya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullahsaw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya , dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng-
gembirakan dari
Rasulullah saw. itu disusun
atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a
yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan
ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw.
menanggapinya dengan baik,
membenarkan dan
meridhoinya.
- Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat
bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang
mengucapka
n ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanall ahi Bukratan Wa Ashiila’ . Setelah selesai sholatnya,maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapka n kalimat-ka Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulullahlimat tadi? , akulah yang mengucapka n kalimat-ka limat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-ka limat tadi sesungguhn . Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkya langit telah dibuka pintu-pint unya karenanya’ an untuk mengucapka n kalimat-ka limat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’an i ‘Abdurrazz aq juga mengutipny a dalam Al-Mushann af .
Demikianlah bukti yang
berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan
Rasulullah saw.
terhadap prakarsa-prakarsa baru yang
berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar
mengamalkan hal tersebut bukan
karena anjuran dari Rasulullah saw.
tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherankan
lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat
shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits
Rasulullah saw. sendiri yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi,
Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al
Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat
berdirinya untuk membaca do’a
qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah
bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut
menshahih-kannya serta para
ulama lainnya diantaranya Hafiz
Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam
Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni
dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan
bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas
atas prakarsanya para sahabat
sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi
saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
- Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem
pengobatan
dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarru k pada ayat-ayat Al-Qur’an.Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan . Karena sangat lapar mereka minta pada orang-oran g suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatin ya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala
suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup
menyembuhkannya tapi dengan
syarat suku badui mau memberikan
makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat
Nabi itu segera mendatangi
kepala suku lalu membacakannya
surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa
berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing
sesuai dengan perjanjian. Para
sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap
Rasulullah saw. Setiba dihadapan
Rasulullah saw., mereka
menceriterakan apa yang telah
mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah
al-Fatihah itu dapat
menyembuhkan’?
Rasulullah saw.
membenarkan mereka dan ikut
memakan sebagian dari daging kambing tersebut “.
(HR.Bukhori)
- Abu Daud, At-Tirmudz
i dan An-Nasa’i mengetenga hkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan ; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombo l dan ditengah-t engah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah , dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengah kan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa
dan ijtihadnya sendiri yang
tidak dijalani serta dianjurkan
oleh Rasulullah saw. Semuanya
itu diridhoi oleh Rasulullah
saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak
diperintah atau
dianjurkan oleh
Rasulullah saw. sebelum atau
sesudahnya. Karena semua
itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan
mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan
sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan
berdasarkan istinbath atau hasil
ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal
kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut
bermanfaat bagi
masyarakat muslim khususnya
malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah
shalat yaitu suatu ibadah pokok dan
terpenting dalam Islam.
Sebagaimana
Rasulullah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي
أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu
sholat sebagaimana kalian melihat aku
sholat’ . (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang
berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw.
memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari
batas-batas yang telah
ditentukan oleh syari’at dan
juga bernafaskan tauhid. Bila
ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah
hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh syari’at, pasti
akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang
disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh
masyarakat muslimin pada abad pertama
Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah
dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan
generasi berikutnya, banyak
menetapkan hal-hal yang bersifat
mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut
kesanggupannya
masing-masing dalam menguasai
ilmu pengetahuan, giat melakukan
ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal
ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya
telah dimengerti oleh kaum
muslimin, yaitu soal kodifikasi
(pengitaban) ayat-ayat suci
Al-Qur’an,
sebagaimana yang telah kita
kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa
sepeninggal beliau saw.
berpendapat bahwa
pengkodifikasian ayat-ayat suci
Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah SWT., Islam.
‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya
para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan
kekhawatirannya itu kepada
Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar
dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah
saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang
baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah SWT.
membukakan pikiran Khalifah Abu
Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra,
dan akhirnya bersepakatlah dua
orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan
diperintahkan supaya
melaksana- kan
pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu.
Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin
aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu
pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini yang
dikemukakan oleh Imam Bukhori
dalam Shohih-nya juz 4 halaman 243
mengenai pembukuan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada
masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu
Rasulullah saw. masih hidup.
Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin
Tsabit sendiri masing-masing
telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah
saw. sehingga dapat menyetujui
dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada
zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah
Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan
tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami
kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw.
Hadits-hadits diatas itu
mengisyaratkan adanya bid’ah
hasanah, karena Rasulullah
saw. membenarkan serta
meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk
kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum
menetapkan atau
memerintahkan
amalan-amalan tersebut. Begitu juga
prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa
Rasulullah saw. atau zaman
dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai
tujuan dan niat mendekatkan diri
untuk mendapatkan ridha Allah
SWT. dan untuk mengingatkan (dzikir)
kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat
diterima.
Sebagaimana hadits
Rasulullah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالْنـِّيَّاتِ
وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى,
فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya
segala perbuatan tergantung
kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang
diniatkan, siapa yang hijrahnya
(tujuannya)
karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya
itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang
yang gemar melontarkan tuduhan
bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap
Rasulullah saw. dalam meng-
hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan
dalil-dalil haditsnya tentu
mereka mau dan akan menghargai
orang lain yang tidak sependapat atau
sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan
mensesatkan para ulama yang
tidak sepaham dengannya. Mereka
ini malah mengatakan; ‘Bahwa
para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka
pintu selebar-lebarnya bagi kaum
Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa
pengertian yang benar
mengatakan, bahwa semua bid’ah
adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya
berlindung pada Allah SWT. atas
pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil
yang membantah dan jawabannya
Hanya orang-orang
egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang
mengingkari hal tersebut.
Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan
pengingkar ini selalu
menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah
secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai
dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits
Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و
مسلم)
‘Barangsiapa yang
didalam agama kami mengadakan sesuatu
yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut
oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat
umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia
tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu
(setiap/semua) pada hadits
diatas ini tersebut mereka menetapkan
apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta
sebelumnya tidak pernah
dikerjakan oleh
Rasulullah saw. adalah bi’dah
dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa
maslahat/kebaikan dan termasuk
yang dikehendaki oleh agama atau
tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat
yang menambahkan
bacaan-bacaan dalam sholat yang
mana sebelum dan sesudahnya
tidak pernah diperintahkan
Rasulullah saw. Mereka juga
tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama
sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan
pengingkar dan pelontar
tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu
amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulullah saw.
tidak pernah memerintahkan dan
mencontohkannya. Begitu juga
para sahabatnya tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para
tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan
kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak
dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan
para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin
diperintahkan untuk mengikuti
Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau
lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus
menjauhkan diri dari sesuatu
yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak
pernah dikerjakan oleh Nabi
adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti
itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai
perlindungan oleh golongan
pengingkar ini juga sering mereka
jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan
yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung
menghukumnya dengan ‘sesat, haram,
mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya
haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih
namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw.
atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan,
peringatan keagamaan dan lain
sebagainya). Sedangkan yang
batil/salah atau fasid adalah
penghukum- an mereka
terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram,
sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak
mengerja- kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan
penghukuman dengan
berdasarkan kaidah diatas
tersebut adalah penghukuman
tanpa dalil/nash. Dalil untuk
mengharamkan sesuatu perbuatan
haruslah menggunakan nash yang
jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan
mengingkari perbuatan tersebut.
Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya
karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah
dikerjakan atau
diperintahkan oleh
Rasulullah saw. dan bagaimana
Rasulullah saw.
menanggapinya.
Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah
yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak
ada keterangan
yang valid dari Rasulullah saw., maka
amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak
mengatakan bahwa suatu
amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada
keterangan dari beliau saw.,
mereka hanya mengatakan amalan itu
tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila
tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab
selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca
dikitab-kitab fiqih para ulama pakar
yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini
bisa dilemahkan
atau dipalsukan oleh ulama
pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada
Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw. tetapi berbeda
cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang
mengatakannya. Dari sini saja
kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu
masih berbeda-beda diantara para
ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari
Rasulullah saw. pun berbeda juga
!!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang
berserakan. Umpamanya mereka
berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini
disebutkan didalam suatu hadits
yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya
langsung dari Rasulullah saw., umpama-
nya; Sunnah Qauliyyah,
Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana
Rasulullah saw. sendiri
menganjur-kan atau
mensarankan suatu amalan, tetapi
belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah
mengerjakannya secara langsung.
Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara
dicontohkan, melainkan dengan
diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk
fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji
pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits
Rasulullah saw. yang
menganjurkan orang untuk belajar
berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus
berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah
yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh
Rasulullah saw. Misalnya ibadah
shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan
tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw.
melakukannya, kemudian
meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah
ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah
memerintahkannya dengan
lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini
seringkali disebut dengan sunnah
taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah
kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah
dikerjakan oleh
Rasulullah saw. atau para
sahabatnya, tetapi diamalkan
oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama
belakangan) misalnya
mengadakan majlis maulidin Nabi
saw., majlis tahlilan/ yasinan
dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah
kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau
dalil-dalil tentang
pahala-pahala bacaan dan amalan
ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab
asalkan tidak tidak bertentangan
dengan apa yang telah digariskan oleh
syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh golongan tertentu,
disitu sering didengungkan
kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu
dianjurkan oleh Allah SWT. dan
Rasul-Nya. Semuanya ini
mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan
apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak
mengerjakan sesuatu itu adalah
apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ
فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah
dikerjakannya
(oleh Rasulullah), maka
berhentilah
(mengerjakannya) ’.
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا
أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا
مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka
lakukanlah semampumu dan jika aku
melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah
saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka
jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua
hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang
diada-adakan
(muhdatsah) adalah… dan hadits
Barangsiapa yang didalam
agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa
keterangan dari
Rasulullah saw. didalam
hadits-hadits yang lain dimana
beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah
(prakarsa) yang dianggap sesat
ialah yang mensyari’atkan
sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS Asy-Syura :21)
serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun
sunnah Rasulullah saw., contohnya yang
mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam
dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja;
Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain
sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena
bertentangan dengan apa yang
telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah
saw. diatas yang mengatakan,
mengada-adakan sesuatu
itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah.
Saya ambil perumpamaan lagi yang
mudah saja, ada orang mengatakan bahwa
sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama
menetapkan lima kali
sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa
wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut
tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan
menambah dan mengada-adakan
agama. Jadi bukan masalah-masalah
nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا
أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي
يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي
يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي
يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي
يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai
daripada yang telah Kuwajibkan
kepadanya, dan selagi hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan
nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku
mencintainya, maka jika Aku
telah mencintainya. Akulah yang
menjadi pendengarannya dan
dengan itu ia mendengar, Akulah
yang menjadi penglihatannya dan
dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul
(musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon
kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan
wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu
yang mana kata ini tidak harus berarti
semua/setiap , tapi bisa
berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba
Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin
yang bermata pencaharian
dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas
semua perahu” .
Ayat ini menunjukkan
tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih
dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja
membocorkan perahu
orang-orang miskin itu agar
terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu.
Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah
safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah
diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah
hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah
(semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfirman : “Angin taufan itu telah
menghancurkan segala
sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini
tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan
segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak
terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi
Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia
menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya ”. Kalimat ‘apa yang telah
diusahakannya’ mencakup semua
amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal
yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT.
tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa
dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang
mengatakan bahwa semua orang ( di
Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang
(an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara
harfiahnya, tetapi hanya untuk
kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang
memerangi Rasulullah saw. dan kaum
Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang
Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah
adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh
ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as
dan bundanya yang dipertuhankan
oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh
kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka
bermusyawarah dalam suatu urusan…”.
Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan
termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan
dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah SWT. tidak
memerintahkan Rasul-Nya supaya
memusyawarahkan soal-soal
keagamaan atau keukhrawian
dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala
sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak
membukakan pintu rahmat bagi
mereka (orang-orang kafir durhaka).
Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud
khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan
seterusnya “. Firman Allah
ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami
ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi
tidak menggunakannya untuk
mendengarkan
firman-firman Allah; mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi
(QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia,
tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan
lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun
didalamnya terdapat keumuman
namun ternyata keumumannya itu tidak
terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
menunaikan sholat sebelum matahari
terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits
ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh
hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh
dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya
!
Ibnu Hajar mengatakan;
‘ Hadits-hadits shahih yang
mengenai satu persoalan2 harus
dihubungkan satu sama lain untuk dapat
diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang
muqayyad. Dengan demikian maka semua yang
di-isyaratkan oleh
hadits-hadits itu semuanya dapat
dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam
Al-Muwattha
terdapat penegasan Rasulullah
saw. yang menyatakan bahwa jasad
semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr
rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut
keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi
dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan
syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun
Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain
dikhususkan maksud dan maknanya,
demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada
sekelompok ulama
mengatakan; ‘Hal yang umum
hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin
dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka
disimpulkanlah bahwa tidak
semua bid’ah (prakarsa) itu
dholalah/sesat ! Mereka
juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua
perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun
yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan
perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas.
Bagaimanakah cara kita memahami semua
persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua
bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-hadits yang lain yang
lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar
ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh
jumhurul-ulama. Untuk itu tidak
ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu
sebagaimana yang telah
dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan
lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran
kita untuk mengetahui bid’ah
mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan
membaca buku Pembahasan Tuntas
Perihal Khilafiyah oleh H.M.H
Al-HAMID – AL-HUSAINI.
6. Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya
Sebagian golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak
dikerjakan pada waktunya. Mereka
ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang
mengatakan tidak sah
orang yang ketinggalan sholat
fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus
menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan- nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu
Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-hadits dibawah ini dan ijma’
(kesepakatan) para ulama pakar
diantaranya Imam Hanafi, Malik
dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang
meninggalkan sholat baik dengan
sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha
sholat berikut ini
:
- HR.Bukhori
, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksana kan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksana kan)nya, maka kifaratnya a) adalah melakukann ya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangka n makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalk annya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah)untuk melaksanak an sholat, dan dia harus melakukann ya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah
Rasulullah saw. bagi orang yang
ketinggalan sholat karena lupa dan
tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja
ditinggalkan itu malah lebih
utama/wajib untuk
menggadhanya. Maka bagaimana dan
darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja
ditinggalkan itu tidak
wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak
berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa
besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku
baginya.
- Rasulullah
saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-ba gikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/ qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhor i, Muslim dari Ummu Salamah).
- Rasulullah
saw. bersabda: ‘Barangsia pa tertidur atau terlupa dari mengerjaka n shalat witir maka lakukanlah . (HR.Tirmid zi dan Abu Daud).(dik utip dari at-taj 1:539) - Rasulullah
saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantik annya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah kalau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat
malam yang tidak dikerjakan pada
waktunya itu diganti/diqadha
oleh Rasulullah saw. pada waktu
setelah sholat Ashar dan waktu-waktu
lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja
ketinggalan itu lebih utama
diganti dari- pada sholat-sholat
sunnah ini.
- HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan
bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulullah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungny a. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulullah saw. bersabda: Naiklah (ketunggan gan masing-mas ing) dan kami menunggang i (tunggang- an kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanak an sholat (shubuh yang ketinggala n). Rasulullah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangan nya.
Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan)
terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulullah saw. bersabda: ’Bukankah aku sebagai teladan bagi
kalian’?, dan selanjutnya
beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti
tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang
dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak
melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat
lainnya….’. (Juga Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah,
dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori
dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan
lalai/meng-
gampangkan sholat ialah bila
meninggalkan sholat dengan
sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau
lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang
ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits
ini tidak menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang
ketinggalan kecuali selain dari
yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi
orang yang meninggal- kan sholat
karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits
larangan untuk menggadha sholat !
- Jabir bin Abdullah ra.meriway
atkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperanga n) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulullah , aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulullah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksana kan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukann ya. Beliau saw. (melakukan ) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanak an sholat Maghrib. (HR.Bukhor i dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatk annya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
- Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab
25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiap
a ketinggala n shalat fardhu maka ia wajib menggantin ya/ menggadhany a. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan
lainnya), perselisihan antara mereka
ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang
gila, pingsan dan orang mabuk.
- Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa
Indonesia)
jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangka n: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalk an sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalka n (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangka n panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-had its diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen .).
Kesimpulan
:
Kalau kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan
demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng- gantikan sholat yang
ketinggalan baik secara
disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib,
sebagaimana yang
diutarakan oleh
ulama-ulama pakar yang telah
diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu
Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja
dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah
qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa
menjadikan manfaat bagi kita
semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/anutannya yang paling benar.
7. Dalil Sholat
sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian orang telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut
pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti
cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i
dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan
sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti
hadits-hadits yang berkaitan
dengan sholat sunnah diantaranya :
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin
Mughaffal al-Muzanni, ia
berkata; Rasulullah saw. bersabda:
‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud
antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih-
annya karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh
Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami
bahwa Nabi saw. menganjurkan
supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk
dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan
pengingkar tidak
mengamalkan amalan sunnah ini karena
mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud
bahwasanya beliau melakukan shalat
sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah)
jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua,
dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa
amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32
H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw.
mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi
saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin
Mas’ud tersebut mengatakan:
“Secara dhohir (lahiriyah)
apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah
berdasarkan petunjuk langsung dari
Nabi Muhammad saw.”
Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan
ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak
beramal sebagaimana yang diamalkan
oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra.
bahwasanya ia
senantiasa
memanjangkan shalat qabliyyah
jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia
menceriterakan
bahwasanya
Rasulullah saw.
senantiasa melakukan hal yang
demikian”. (Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah : Imam
Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya
shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul
Ar-Risalah berkata:
‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam
Al-Khulashah
mengatakan : ‘Hadits
tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah
dikeluarkan oleh Ibnu Hibban
dalam shohihnya’.
Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari
Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulullah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw. bertanya
kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at
sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw.
bersabda; ‘Shalatlah
kamu dua raka’at dan ringkaskan
shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulullah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at
dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan
shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat
tahiyyatul masjid. Hal ini
dikarenakan
tahiyyatul masjid
tidak boleh dikerjakan dirumah
atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang yang
mengatakan bahwa yang
disabdakan oleh Nabi itu mungkin
sholat tahiyyatul masjid, maka dapat
dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan
nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat
sebelum (dirumahnya) datang kesini ?
(Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut
mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’
menunjukkan bahwa
sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah
tahiyyatul
masjid“.(Nailul Authar III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ;
‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’ . Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata:
‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari
Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang
fardhu kecuali disunnahkan
sebelumnya shalat dua raka’at’
“. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa
disunnahkan juga shalat
qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi
mengatakan : ‘Ini adalah hadits
shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’.
Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat
untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah
jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni
hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya:
‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali
disunnahkan
sebelumnya shalat dua raka’at’
“.
Demikianlah beberapa hadits
yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah
jum’at.
Sedangkan kesimpulan beberapa
ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah
qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang
disunnahkan untuknya. Maka
disunnahkan sebelum jum’at itu
empat raka’at dan sesudahnya juga
empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan shalat
sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at
ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at
qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat
sebelum Jum’at sebagaimana shalat
sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai
sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa
ini semua adalah sunnah Rasulullah
saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah
SWT.
8. Dalil
mengangkat
tangan waktu berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahkan mengangkat kedua tangan waktu berdo’a.
Sebenarnya ini sama sekali tidak
ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulullah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga
ulama-ulama pakar dari berbagai
madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab
atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah SWT.
Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj
cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah hadits berikut ini:
Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulullah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan
ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah saw. turun dari kendaraannya, kemudian
mengangkat
kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali,
kemudian bangun mengangkat
kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali,
diulanginya perbuatan itu tiga kali.
Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya
di-izinkan
memberikan syafa’at
(bantuan) bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku,
kemudian saya mengangkat kepala
dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian
saya mengangkat kepala berdo’a minta
untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’.
(HR.Abu Dawud).
Dalam hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah saw. tiga kali berdo’a sambil
mengangkat tangannya setiap
berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah
Rasulullah saw.
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa
Indonesia) jilid 4 cetakan
pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan riwayat Abu Daud
dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah SWT.) hendaklah dengan
mengangkat
kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira
setentangnya, dan jika istiqhfar
(mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah
jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya
mengangkat tangan
waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan,
melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istighfar.
Diriwayatkan dari Malik
bin Yasar bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak
tanganmu, jangan dengan punggungnya !”
Sedang dari Salman, sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia
menadahkan
tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits ini Allah SWT. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu
berdo’a sambil menadahkan tangan
kepadaNya, dengan demikian do’a
kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra.
menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulullah saw. mengangkat dua tangan
keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan
hadits-hadits diatas ini, cukup buat
kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah SWT. Bagi
saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi
janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang
mengangkat tangan waktu berdo’a
!. Karena mengangkat tangan waktu
berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada
Allah SWT. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan
mengenyampingkan hadits lainnya.
Semuanya ini amalan-amalan
sunnah, siapa yang mengamalkan
tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena
membid’ahkan sesat sama saja
mengharamkan amalan tersebut.
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahkan
panggilan Sayyidinaa
atau Maulana didepan nama Muhammad
Rasulullah saw., dengan alasan
bahwa Rasulullah saw. sendiri
yang menganjurkan kepada kita
tanpa mengagung-agungkan dimuka
nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang
dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan
hadits-hadits
Rasulullah saw. yang berkaitan dengan
kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu
Dala’ilul-Mahabbah Wa
Ta’dzimul-Maqam
Fis-Shalati Was-Salam ‘AN
Sayyidil-Anam dengan tegas
mengatakan: Menyebut nama
Rasulullah saw. dengan tambahan kata
Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap
muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut
menunjukkan kemuliaan martabat
dan ketinggian kedudukan beliau.
Allah SWT.memerintahkan ummat
Islam supaya menjunjung tinggi
martabat Rasulullah saw.,
menghormati dan
memuliakan beliau, bahkan
melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara
sebagaimana kita menyebut nama
orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk
menjaga kehormatan dan kemuliaan
Rasulullah saw. Allah
SWT.berfirman :
“Janganlah kalian
memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang
diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi
mengatakan: Makna ayat itu ialah
janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulullah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai
Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut
namanya atau memanggilnya dengan
penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi,
tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik
dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali
keharibaan Allah SWT. Yang sudah
jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak
mengindahkan larangan Allah
dalam Al-Qur’an. Sikap demikian
bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah
mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63) Allah
memerintahkan ummat Islam supaya
memuliakan dan
mengagungkan
Rasulullah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi
mengatakan: Dengan turunnya ayat
tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau
hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya
Rasulullah atau Ya
Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan
atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah
wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat
penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang
diriwayatkan oleh
Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat
tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulullah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai
Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah SWT. melarang mereka menyebut atau
memanggil Rasulullah saw. dengan
ucapan-ucapan tadi. Mereka
kemudian menggantinya dengan kata-kata
: Ya Rasulallah, dan Ya
Nabiyallah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai
pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya
melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan
sebagaimana yang dilakukan orang
sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang
mengisyaratkan makna tersebut
diatas. Antara lain firman Allah SWT. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath :
8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain
sebagainya. Dalam ayat-ayat ini
Allah SWT. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan
memuliakan
Rasulullah saw., bahkan menyebut
mereka sebagai orang-orang yang
beruntung. Juga firman Allah
SWT. mengajarkan kepada kita
tatakrama yang mana dalam firman-Nya
tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai
Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau
Hai Nabi.
Firman-firman Allah
SWT. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah SWT. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina
atau junjungan kita Muhammad Rasulullah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali
dengan kata yang menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan
pengagungan yang
selayaknya kepada kedudukan dan
martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39
Allah SWT. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan
kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang
sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa
nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak
dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah SWT.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah mentaati para
pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka
menyesatkan kami dari jalan yang
benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid,
sebagaimana yang terdapat dalam firman
Allah SWT. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang
hingga koyak, kemudian kedua-duanya
memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah
ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa,
penolong dan lain sebagainya.
Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat
Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula
(pelindung) tidak dapat
memberi manfaat apa pun kepada maula (yang
dilindunginya) dan mereka
tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah SWT. dalam Al-Maidah : 55
disebutkan juga kalimat Maula untuk
Allah SWT., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya
putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga
digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan
seseorangalasan apa yang dapat
digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi
Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan
kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang
Nabi yang diimani dan dicintainya
dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi
pemerintahan, kepada para
president, para raja atau menteri,
atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak
dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang
mengatakan, bahwa sikap menolak
penggunaan kata sayyid atau
maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martab at beliau saw. Atau
sekurang-kurang hendak
menyamakan kedudukan dan
martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita
ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama
Rasulullah saw. tanpa diawali
dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw.).
Menyebut nama Rasulullah dengan
cara demikian menunjukkan sikap
tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh
orang-orang diluar Islam,
seperti kaum orientalis barat
dan lain sebagainya. Sikap kaum
orientalis ini tidak boleh kita
tiru.
Banyak hadits-hadits
shohih yang menggunakan kata
sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi
isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori
dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam
yang paling tinggi martabatnya
dan paling mulia kedudukannya disisi
Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits,
bahwasanya
Rasulullah saw.
memberitahu para
sahabatnya, bahwa pada hari
kiamat kelak Allah SWT. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah
Ku-muliakan dan
Ku-jadikan sayyid ?” (alam
ukrimuka wa usaw.widuka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah SWT. telah
memberikan kemuliaan dan
kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan
dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan
Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan
martabatnya daripada manusia
lainnya ? Kalau manusia-manusia biasa
saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula
?
Dalil-dalil orang
yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi:
“Laa tusayyiduunii
fis-shalah” artinya “Jangan
menyebutku (Nabi Muhammad saw.)
sayyid didalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan
Rasulullah saw. untuk
mempertahankan
pendiriannya itu lupa atau memang
tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata
kerja tusayyidu.
Tidak ada kemungkinan
sama sekali Rasulullah
saw.mengucapkan kata-kata dengan
bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi
bahasanya saja, hadits itu tampak jelas
kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat
membuktikan
kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat
yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam
Jalaluddin
As-Suyuthi menjawab tegas :
“Tidak pernah ada (hadits tersebut),
itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi
dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin
Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli,
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami,
Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan
lain-lainnya, semuanya
mengatakan : “Hadits itu sama sekali
tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang
semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan
mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.)
di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz
Al-‘Ajluni dengan tegas mengata-
kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul
Kanzul-‘Ifah
menyatakan tentang
hadits ini: “Kebohongan yang
diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni
jangan mengagungkan aku di
masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan
tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan
tersebut diucapkan oleh Rasulullah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal
itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa
Rasulullah
saw.bersabda : “Aku sayyid anak
Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin
ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam
segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang
dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan,
bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling
mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah
dapat dikalahkan oleh
amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan
At-Turmudzi,
Rasulullah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber
riwayat lain yang diketengahkan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim,
mengatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Aku
sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulullah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada
hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Aku
sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab
Dala’ilun-Nubuwwah
mengatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid
kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama
Rasulullah saw. diawali dengan kata
sayyidina diketengahkan
oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak . Hadits yang mempunyai isnad shohih ini
berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulullah saw. naik keatas mimbar. Setelah
memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut:
Rasulullah ! Beliau bertanya lagi:
‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad
bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau
kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid
anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah saw. lebih suka kalau para
sahabatnya menyebut nama beliau dengan
kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para
Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari
semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum
muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan
lagi bahwa menggunakan kata
sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. merupakan suatu yang
dianjurkan bagi setiap muslim yang
mencintai beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam
Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah
mengetengahkan sebuah hadits,
bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya :
“Barangsiapa aku menjadi
maula- nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah
maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun
mengetahui dengan jelas bahwa
Rasulullah saw. adalah
sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga
para ahlu-baitnya
(keluarganya), semua adalah
sayyidina.
Al-Bukhori
meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. pernah berkata kepada
puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au
sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau
tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum
orang-orang yang beriman) atau
sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa
tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya :
“Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah
mu’mininat (kaum wanitanya
orang-orang yang beriman) atau
sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au
nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum
wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya
terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain
radhiyallahu ‘anhuma.
Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada
suatu hari Rasulullah saw.
bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang
sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan
hadits-hadits diatas itu kita
menyebut puteri Rasulullah saw. Siti
Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu
Rasulullah saw. Al-Hasan dan
Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah
(setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya
datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa
sayyidikum au ilaa
khoirikum” artinya :
“Berdirilah
menghormati sayyid (pemimpin)
kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah saw. menyuruh
mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit
sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad
turun dari keledainya, karena
dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu
Rasulullah saw. tidak menyuruh
mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk
berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya–
Rasulullah saw. melarang para
sahabatnya berdiri
menghormati beliau saw., tetapi
beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri
menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah
artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa
yang dikehendaki oleh
Rasulullah saw. dengan larangan
dan perintahnya
mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru
yang secara terang-terangan minta
dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid
harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian
juga Rasulullah saw. sekalipun
beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah SWT, beliau tidak
menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat
Rasulullah saw., harus merasa
wajib menghormati,
memuliakan dan
mengagungkan beliau saw.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi
orang-orang yang beriman, Nabi
(Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para
isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua
orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak
memerlukan
penjelasan apa pun juga, bahwa
Rasulullah saw. lebih utama dari semua
orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai
ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan
tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh
berbuat bid’ah? Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian
mengucapkan shalawat dengan
sebaik-baiknya. Kalian tidak
tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu
ucapkanlah : ‘Ya Allah,
limpahkanlah
shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu
kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan
Rasulullah) dan
Imamul-Muttaqin
(Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama
masing-masing, sebagai tanda
saling hormat-menghormati dan
harga-menghargai. Didalam
Al-Mustadrak
Al-Hakim mengetengahkan sebuah
hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam
Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi” . Atas
pertanyaan seorang sahabat ia
menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam
bukunya Miftahul-Falah
mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi
mewanti-wanti
pembacanya sebagai berikut:
“Hendak- nya anda berhati-hati
jangan sampai meninggalkan lafadz
sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang
tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama
pakar cara sebaik-baiknya
membaca sholawat pada Rasulullah saw.
yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai
penggunaan kata sayyidina atau
maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang
menerangkan persoalan itu yakni
menggunakan kata awalan
sayyid, apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama beliau saw.?, dan
apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah saw. sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang
yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.?
Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan
pengingkar ini sendiri yang memanggil
nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil
sayyid dimuka nama mereka !
10.
Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering yang kita dengar dari golongan muslimin
diantaranya dari madzhab
Wahabi/Salafi dan
pengikutnya yang melarang orang
menggunakan Tasbih
waktu berdzikir.
Sudah tentu sebagaimana
kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa
Rasulullah saw. para sahabat
tidak ada yang menggunakan tasbih
waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama
‘Subhah’ adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk
menghitung jumlah banyaknya
dzikir yang diucapkan oleh seseorang,
dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut
dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih. Ada yang
mengatakan bahwa tasbih berasal
dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari
kebiasaan orang-orang Hindu. Ada
pula orang yang mengatakan bahwa
pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India.
Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan
Wisnuisme, yaitu 108 butir.
Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga
menggunakan tasbih, meniru
biksu-biksu Budha. Semuanya ini
terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga
kepada Allah SWT. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.. Perintah dzikir bersifat
umum, tanpa pembatasan jumlah
tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah SWT.
dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi,
umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain
sebagainya.
Sehubungan dengan itu
terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga
kali dengan ucapan Subhanallah , tiga puluh tiga kali
Alhamdulillah dan tiga
puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian
dilengkapi menjadi seratus dengan
ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali
itu terdapat pula hadits-hadits
lain yang menerangkan keutamaan
berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya
hadits-hadits yang
menetapkan jumlah dzikir seperti
itu maka dengan sendirinya orang
yang berdzikir perlu mengetahui
jumlahnya yang pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara
menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim
berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan:
“Rasulullah saw.
menghitung dzikirnya dengan
jari-jari dan menyarankan para
sahabatnya supaya mengikuti cara
beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah,
seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian
senantiasa bertasbih
( berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan
menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an
Allah SWT.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid.
Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh
Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikanlah : Anjuran
menghitung dengan jari dalam hadits
itu tidak berarti melarang orang
menghitung dzikir dengan cara
lain !!!. Untuk mengharamkan
atau memunkarkan suatu amalan
haruslah mendatangkan nash yang khusus
tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah
yang mengatakan: “Bahwa pada
suatu saat Rasulullah saw.
datang kerumahnya. Beliau melihat
empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan
oleh Shofiyyah untuk menghitung
dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘
Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi;
‘Sesungguhnya engkau dapat
berdzikir lebih banyak dari itu’ . Shofiyyah menyahut; ‘Ya
Rasulullah, ajarilah aku’.
Rasulullah saw. kemudian berkata;
‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits
hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim
yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang
mengatakan:
“Bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat
banyak batu kerikil yang biasa
dipergunakan oleh wanita itu
untuk menghitung dzikir. Beliau
bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih
afdhal/utama ? ’ Sebut
sajalah kalimat-kalimat sebagai
berikut :
‘Subhanallahi ‘adada
maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi,
subhanallahi ‘adada maa baina
dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa
laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu
dzaalika’ ”.
Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak
makhluk-Nya yang dibumi, Maha
suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji
syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan
tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulullah saw. melihat Shofiyyah
menggunakan biji kurma
untuk menghitung
dzikirnya, beliau saw. tidak
melarangnya
atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan
jari-jarinya, malah beliau saw.
berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !!
Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang
menggunakan batu
kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak
mengatakan kepada wanita itu,
buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan
jari-jarimu !
Beliau saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca.
Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak
ditentukan oleh
Rasulullah saw. jadi terserah
kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum
salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil,
bundelan-bundelan benang
dan lain sebagainya untuk
menghitung dzikir yang dibaca.
Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya
meriwayatkan bahwa seorang sahabat
Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil.
Riwayat ini dikemukakan juga oleh
Imam Al-Baihaqi dalam
Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulullah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong
berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari.
Setelah itu ia menyingkirkannya.
Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya
lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatkan;
‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu
kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh
seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan
menghitungnya dengan batu-batu
kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis
dipergunakan, hamba sahayanya
menyerahkan kembali batu-batu
kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang
mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah
mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur
setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud
mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra.
mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai
sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’
.
Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra
menghitung dzikirnya dengan batu
kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang
mengatakan; ‘bahwa Fathimah
binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110
H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia
menghitung
raka’at-raka’at sholat sunnahnya
dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu
Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam
kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk
menghitung dzikir, antara lain
Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani
dan lain-lain’.
Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini
baru dipergunakan orang mulai
abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi
yang mengutip keterangan dari gurunya
didalam kitab Tajul-‘Arus
. Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang
memandang penggunaan tasbih
untuk menghitung dzikir sebagai
hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah
bertanya pada seorang Waliyullah
yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah
orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab:
‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah SWT. tidak akan
kutinggalkan’ .(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun
beribadah. Tidak ada berita
riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf
(generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan
penggunaan tasbih , dan
tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah
butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang
disebut-sebut dalam
hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih
ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulullah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu
juga untuk menghitung jumlah
dzikir agama Islam tidak
menetapkan cara
tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat
menghitung yang tidak yang
dilarang menurut Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah saw. itu
mustahab/baik untuk
diamalkan.
Berdasarkan
riwayat-riwayat hadits yang
telah dikemukakan diatas
jelaslah, bahwa menghitung dzikir
bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa
pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap
menggunakan tangan atau jarinya
juga , bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga
digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun
kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi masalah menghitung
dengan butiran-butiran tasbih
sesungguhnya tidak perlu
dipersoalkan, apalagi kalau ada
orang yang menganggapnya sebagai
‘bid’ah dholalah’. Yang
perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik,
menghitung dzikir dengan jari
tanpa menggunakan tasbih ataukah
dengan menggunakan tasbih
?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil,
biji kurma dll) lebih afdhal/utama.
Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung
dengan menggunakan jari, itulah yang
afdhal. Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui,
bahwa menghitung dzikir dengan
tasbih disunnahkan
menggunakan tangan
kanan, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut
dalam hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
lain-lain. Dalam soal dzikir
yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati
mengikutinya. Maksudnya bila
lisan mengucapkan
Subhanallah maka dalam hati juga
memantapkan kata-kata yang sama
yaitu Subhanallah. Allah
SWT. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang
digunakan untuk menghitung
dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri
apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah
dholalah/sesat dn lain
sebagainya ??? Semoga Allah SWT.
memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi serta pengikutnya dan keterangan bid’ah yang singkat ini
insya-Allah bisa membuka hati
kita masing-masing agar tidak
mudah mensesatkan,
mengkafirkan dan
sebagainya pada saudara muslim
kita sendiri yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan
madzhab kita.
11. Bagaimana hukum
menyuguhkan makanan baik kepada
para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para
pentakziah?
Ada dua pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan hukum
menyuguhkan makanan dari pihak
keluarga si mayit kepada para jamaah tahlilan maupun orang-orang yang datang bertakziyah.
a. Pendapat yang menyatakan makruh. Hal ini didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn
Majah dengan sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami
menganggap berkumpul pada
keluarga mayit dan penyuguhan
makanan dari pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan)." Berdasarkan hadits ini, para ulama madzhab Hanafi
berpendapat makruh
memberikan makanan pada hari
pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziyah sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar
juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidzi, al-Hakim dan lain-lainnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Buatkan makanan bagi keluarga
Ja'far, karena mereka sekarang sibuk mendengar kematian Ja'far." Para ulama
berpendapat, bahwa yang
disunnatkan
sebenarnya adalah tetangga
keluarga mayit atau kerabat-kerabat mereka yang jauh membuatkan makanan bagi keluarga mayit yang sedang berduka,
yang cukup bagi kebutuhan mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini
diikuti oleh mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib
al-arba'ah. Dan ini juga
merupakan praktek warga Nahdliyin, saat ada tetangga meninggal, maka para tetangga takziyah dengan membawa beras,
uang serta membantu memasak untuk keluarga musibah dan memasak bagi yang
bertakziah yang mana makanan itu
berasal dari tetangga2 sekitar dan sama sekali tidak mengambil harta dari
keluarga musibah.
b. Ulama yang lain berpendapat bolehnya menyuguhkan makanan dari pihak keluarga mayit bagi para
jamaah tahlilan maupun para pentakziyah, meskipun pada masa-masa tiga hari hari pertama
pra meninggalnya si mayit. Hal
ini didasarkan pada beberapa dalil
antara lain:
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatkan dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata:
"Setelah Khalifah Umar bin al-Khaththab ditikam, maka beliau
menginstruksikan agar Shuhaib
yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan
memerintahkan
menyuguhkan makanan bagi
orang-orang yang datang
bertakziyah." Menurut al-Hafizh
Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar,
al-Mathalib
al-'Aliyah fi Zawaid
al-Masanid
al-Tsamaniyah, juz 1, hlm. 199, hadits
no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam Thawus (ulama
salaf dari generasi tabi'in), yang berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang meninggal dunia itu diuji oleh di dalam
kubur mereka selama tujuh hari. Mereka (para generasi salaf)
menganjurkan
mengeluarkan sedekah makanan
untuk mereka selama tujuh hari tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini
kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 710).
Ketiga, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku
melihat Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam
berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga
luaskanlah pada bagian
kepalanya”, Maka tatkala telah
kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red)
mengundang
(mengajak)
Rasulullah, maka
Rasulullah datang seraya
didatangkan
(disuguhkan) makanan yang
diletakkan dihadapan
Rasulullah, kemudian
diletakkan juga pada sebuah
perkumpulan
(qaum/sahabat), kemudian
dimakanlah oleh mereka. Maka
ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan
bersabda:
“aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin
pemiliknya”. Kemudian wanita itu
berkata : “wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku telah mengutus
ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada
tetanggaku untuk membeli
kambingnya kemudian agar di
kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk
membelinya) dan ia kirim kambing
itu kepadaku, maka Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda : “berikanlah makanan
ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ;
Misykaatul Mafatih [5942]
At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih
syarh Misykah al-Mashabih [5942]
karangan al-Mulla ‘Alial-Qari,
hadits tersebut dikomentari
shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasulullah menerima
ajakan wanitanya, yakni istri dari
yang wafat”.)
12. Hukum Duduk Bersama Untuk
Berdzikir
Alhamdulillah, di bumi
Sunni Syafi`i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang
mengamalkan ajaran Nabi saw.,
antara lain yang disebutkan
dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda :
Maa qa`ada qaumun lam yadzkurullaha fiihi walam yushallu `alan nabiyyi
shallallahu alaihi wasallam,
illaa kaana alaihim hasratan yaumal qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di
suatu tempat, dan tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula
bershalawat untuk Nabi saw.,
kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat). Yang dinamakan kaum dalam
hadits di atas adalah sekelompok
orang yang duduk bersama dalam suatu majelis. Jika saja yang
dimaksudkan adalah
perorangan, maka Nabi saw. cukup
mengatakan maa qa`ada rajulun
(tidaklah seseorang yang duduk), tetapi Nabi saw. mengatakan qaumun (suatu kaum).
Artinya baik mereka membacanya secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bahkan pemahaman yang lebih dekat dengan
kebenaran, adalah secara
bersama-sama, baik dengan suara
pelan dan lirih, yang hanya dapat didengarkan oleh dirinya sendiri, maupun dengan
mengangkat suara secara wajar
sehingga terdengar suara lantunan-lantunan dzikir yang menentramkan jiwa, hal ini sama seperti yang dilakukan umat
Islam di saat menggemakan
takbiran di malam Hari Raya secara bersama-sama dengan suara keras. Semua cara dalam
menghidupkan majelis dzikir dan
shalawat yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sama, tidak ada larangan secara spesifik baik dari Alquran
maupun hadits shahih manapun.
Karena itu, kegiatan masyarakat Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan,
perkampungan, maupun perkotaan
dalam mengadakan majelis dzikir kepada
Allah, majelis shalawat untuk Nabi saw., maupun majelis ta`lim untuk memahami
ajaran syariat Islam adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Jadi mari kita bersama-sama lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis
ta`lim di wilayah kita masing-masing, agar tidak ada penyesalan pada hari Qiyamat nanti.
13. Dalil Nyekar
Bunga Di Kuburan
Barangkali telinga
masyarakat Indonesia tidaklah
asing dengan istilah nyekar. Adapun arti nyekar adalah menabur beberapa jenis
bunga di atas kuburan orang yang diziarahinya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati,
dan bunga lainnya yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan
sanak keluarga, namun tak jarang pula kuburan orang lain yang
dikenalnya. Nabi saw. sendiri
pernah berziarah kepada dua kuburan muslim yang sebelumnya tidak dikenal oleh beliau saw.
Sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
bahwasannya suatu saat Nabi SAW.
melewati dua kuburan muslim, lantas beliau SAW. bersabda:
Sesungguhnya kedua orang ini
sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena suatu masalah yang besar,
tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa
tidak bersesuci (tidak cebok) jika habis kencing . Kemudian beliau
saw. mengambil pelepah kurma yang masih segar dan memotongnya, untuk dibawa saat menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau saw.
menancapkan potongan pelepah
kurma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala
masing-masing, seraya bersabda :
Semoga Allah meringankan
siksa dari kedua mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar .
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam
Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersuci).
Berkiblat dari hadits shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi
saw. untuk menziarahi kuburan
sanak famili dan orang-orang
yang dikenalnya untuk mendoakan
penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar
pengamalan nyekar bunga di atas
kuburan.
Tentunya kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi saw. masih hidup,
sangat berbeda dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi saw. saat itu melakukan nyekar dengan
menggunakan pelepah kurma,
karena pohon kurma sangat mudah didapati di sana, dan
sebaliknya sangat sulit menemui
jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa yang
terpenting dalam melakukan
nyekar saat berziarah kubur, bukanlah faktor pelepah kurmanya, yang kebetulan
sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon,
termasuk juga jenis bunga dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi
dampak positif bagi mayyit yang berada di alam kubur, yaitu dapat
memperingan siksa kubur sesuai sabda
Nabi saw.
Karena Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi
masyarakat untuk menanam
pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka
masyarakat
Indonesia-pun menjadi kreatif,
yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan menggunakan berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma
harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di
Indonesia, maka
masyarakat juga rajin menanam
berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka hanya satu yaitu
mengamalkan hadits Nabi SAW.,
dan mengharapkan
kelanggengan
peringanan siksa bagi sanak
keluarga dan handai taulan yang telah terdahulu menghuni tanah
pekuburan. Karena dengan menanam
pohon ini, maka kualitas kesegarannya
pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.
Memang Nabi SAW. tidak mencontohkan secara langsung penanaman pohon di tanah
kuburan. Seperti halnya Nabi SAW. juga tidak pernah mencontohkan berdakwah lewat media cetak,
elektronik, bahkan lewat dunia
maya, karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan Nabi SAW. melakukannya. Namun para ulama kontemporer dari segala macam aliran
pemahaman, saat ini marak
menggunakan media cetak,
elektronik, dan internet sebagai
fasilitas penyampaian ajaran
Islam kepada masyarakat luas,
tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW., namun dengan
asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh
masyarakat luas, sehingga
pundi-pundi pahala bagi para
ulama dan da’i akan lebih banyak pula dikumpulkan. Yang demikian ini memang sangat
memungkinkan dilakukan pada jaman
modern ini.
Jadi, sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan
masyarakat muslim di
Indonesia, mereka bertujuan
hanya satu, yaitu mengikutijejak
nyekarnya Nabi SAW., namun mereka menginginkan agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih
langgeng, maka masyarakt-apun
menanam pepohonaan di tanah
pekuburan, hal ini
dikarenakan sangat
memungkinkan dilakukan di negeri yang
bertanah subur ini, bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.
Ternyata dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak dikenal, dan
memberikan solusi amalan nyekar
dengan penancapan pelepah korma
di atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasnan siksa kubur yang tengah mereka hadapi,
menunjukkan bahwa
keberadaan Nabi SAW. adalah
benar-benar rahmatan lil alamin,
rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun
alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.
(Literatur tunggal:
Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan Abuya
Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad 21)
14. Dalil Tentang Bolehnya
Bertabaruk
Bertabarruk yang
dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah
dari sesuatu yang diyakini baik, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.Adakalanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap
sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu dengan
tujuan mencari barakah.Ada
seseorang yang menjalankan
bisnis milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari
barakah, karena si pemilik modal tiada lain adalah kiai/ustadz/guru agama-nya. Ada juga yang sengaja mencium tangan atau bahkan
dada seseorang yang dianggap shaleh maupun `alim dengan tujuan mencari barakah.
Atau mendatangi seorang yang
shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa
kesembuahan dan
sebagainya, senuanya itu
bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya.
Adapun amalan-amalan
yang tertera di atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi saw.
sebagaimana yang ditulis para ulama
salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :
(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang
disebutkan juga dalam kitab
Almathaalibul
\`Aaliyah, 4:90 :
Diriwayatkan dari Ja`far bin
Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang
tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong
dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru,
melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala
Rasulullah saw. berumrah, beliau
saw. mencukur rambutnya saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya, mereka berebut rambut
Rasulullah saw., kemudian aku
bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak
aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah saw. ini, maka tidak pernah aku memimpim
peperangan kecuali selalu diberi
kemenangan oleh Allah.
(2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad,
meriwayatkan dari Almasur bin
Makhramah dan Marwan, mengatakan
bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhatikan perilaku para shahabat Nabi SAW., lantas
mengkhabarkan kepada
kawan-kawannya sesama kafir
Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para
raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi,
tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam
menghormati para raja itu,
seperti cara para shahabat dalam menghormati Muhammad (SAW.), demi tuhan, setiap Muhammad
meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-lebar untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang
mendapatkan ludah itu pasti
langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad memrintahkan sesuatu, mereka bergegas
menjalankannya. Jika Muhammad
berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk
(bertabarruk)
mendapatkan air bekas wudlunya.
Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahkan suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad
dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya.
(3). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi saw. datang
ke Mina, lantas melaksanakan
lempar Jumrah, kemudian mencukur rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk
mengumpulkan
rambutnya, dan beliau saw.
membagikannya kepada
masyarakat muslim.
(2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi,
yang mengatakan bahwa Nabi saw.
menyerahkan potongan rambutnya
kepada Abu Thalhah dan beliau saw. memerintahkan : Bagikanlah kepada orang-orang.
(3). Imam Muslim meriwayatkan juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu
saat Nabi saw. beristirahat
tidur di rumah kami sehingga beliau saw. berkeringat, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung
tetesan keringat Nabi saw., kemudian Nabi saw. terbangun dan bersabda : Wahai
Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan
keringatmu ini sebagai parfum, bahkan
ia lebih harum dari semua jenis parfum.
(4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim
istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi saw. bersabda :
Engkau benar.
(5). Imam Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, berkata : Tatkala
Rasulullah saw.
berhijamah
(canthuk), beliau saw. bersabda
kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang
liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawa menjauh dan aku minum,
kemudian aku ceritakan kepada beliau saw., maka beliau tertawa.
(6). Imam Thabarani juga meriwayatkan hadits penguat, Nabi saw. bersabda :
Barangsiapa yang darah
(daging)-nya bercampur dengan darahku,
maka tidak bakal disentuh api neraka.
(7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir
ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum)
menggantung, lantas beliau saw.
meminumnya secara langsung dari
bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut
untuk bertabarruk dari sisa bekas
tempat minum Nabi saw.
(8). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits
Aldzimaari berkata : Aku menemui
Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat
Rasulullah dengan tanganmu ini ?
Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanlah tanganmu untukku, dan aku akan
menciumnya. Kemudian beliau
memberikan tangannya kepadaku,
dan akupun menciumnya. (HR.
Atthabarani).
(9). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah, lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada
Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami
ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurkan tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi
saw. dengan kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya
yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya.
(10). Imam Bukhari meriwayatkan dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang
mengeluarkan baju jubbahnya Nabi
SAW. dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw., yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga
`aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi saw. mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya
khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan (dengan bertabarruk dari air bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau
memperbolehkan amalan mengusap
mimbar masjidnya Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan, karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in
seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota
Madinah juga mengusap mimbar Nabi saw. tersebut.
Masih banyak bukti hadits-hadits Nabi saw. tentang bolehnya
bertabarruk kepada
barang-barang milik Nabi saw.,
serta milik orang-orang shalih,
dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi saw.
dan para wali serta orang-orang
shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah karena
mempertuhankan
barang-barang tersebut, tentunya
diharamkan oleh syariat Islam.
Termasuk diharamkan juga adalah
perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi sesajen kepada
tempat-tempat maupun
kuburan-kuburan angker yang
diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal
tempat-tempat tersebut bukanlah
tempat yang berbarakah dalam standar
syariat Islam.
15. Bagaimana hukumnya
membaca manaqib?
Mengertikah saudara arti
kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak
dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan
amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak
terpujinya
seseorang. Oleh sebab itu
kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia:manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib,
manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain
sebagainya. Tidak boleh dan tidak
benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib
DN. Aidit dan lain sebagainya.
Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap
menanyakan hukumnya
manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu
terlalu berlebih-lebihan,
sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu
keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya
berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi
teruskanlah. Misanya cerita
tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar
bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh
dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular,
cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang
bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang
semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul
Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?Baik Nabi Allah
maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob,
kesemuanya itu
masing-masing tidak bisa
menimbulkan hal-hal yang tidak
masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat
menghalang-halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang
dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau
timbul dari wali Allah namanya karomah.Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan
menimbulkan hal-hal yang
menyimpang dari adat atau tidak masuk
akal?
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah
Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ
أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ
مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ
فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ
رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata
memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk
dimintai pertolongan, apakah itu
tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil untuk
dimintai pertolongan baik kepada
wali yang sudah mati atau kepada bapakc ibu saudara yang masih hidup dengan
penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai
kekuasaan untuk dapat memberikan
pertolongan yang terlepas dari
kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik. Akan tetapi kalau dengan i’tikad
bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada
halangannya, apalagi sudah jelas
bahwa kita meminta pertolongan
kepada para wali itu maksudnya adalah bertawassul minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung
atau dengan perantaraan
(tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha
Mengetahui dan Maha
Mendengar. Saudara jangan mengira
bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali
itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan
perantaraan Kepala Kantor
saudara. Pengertian
tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti
mengalihkan pandangan terhadap
yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai
kepercayaan terhadap kekuasaan
pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak
perantara. Tawassul kepada
Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui
Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan
memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan
melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan
Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ
لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan
memurnikan kepadanya akan agama.
(Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ
لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا
أَخَرَ
Dan orang-orang yang
tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan
pengertian
sebagaimana yang telah saya
terangkan tadi. Coba saja perhatikan
contoh di bawah ini:
Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai
perusahaan besar, saudara sudah
kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat
dengannya. Saya ingin diterima
bekerja di perusahaannya. Untuk
melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya
bersama-sama, dan saya berkata,
“Bapak pimpinan perusahaan yang
mulia. Kedatangan saya bersama
guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di
perusahaan bapak. Saya ajak guru saya
menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati
dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba perhatikan! kepada
siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap
majikan besar itu?Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua
anaknya yang masih kecil-kecil.
Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara
dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara
tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya
perhatikan. Kalau begitu adakah
gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada
siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih
kecil-kecil jugakah pengemis itu
meminta?
Salah satu budaya mengenang sejarah dan autobiographi wali adalah manaqib. Manaqiban atau membaca
manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk terus-menerus menyambung tali silaturahmi dengan Syekh Abdul Qadir al Jailany yang dikenal
dengan sultanul aulia. Bagaimana dan apa seputar manaqib itu. Tulisan ini
sekedar pendapat pribadi.
Ayat di bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di
belakang orang-orang yang selalu
berada dalam jalan kembali kepada Allah SWT.
واتبع سبيل من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu
kerjakan." (QS Luqman: 15)
Bersyukur kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa
mendengar tausiah atau nasehat para ulama yang tidak bosan-bosannya mendorong manusia agar
meningkatan kualitas iman
ruhaninya. Bukan sekedar
kata-kata, prilaku dan contoh
kehidupannya merupakan pelajaran
yang amat berharga yang semestinya dijadikan teladan bagi para
murid-muridnya atau para
simpatisannya. Semoga upaya para
ulama ini dapat kita ikuti baik yang mengaku murid-muridnya atau yang menyukai perjalan ruhani menuju Mahabbah
kepada Allah.
Salah satu tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren adalah
mengamalkan manaqib. Manaqib
yang dibaca adalah seputar prikehidupan Syeikh Abdul Qodir al Jilany q.s.a yang dikenal
dengan Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib yang dibaca adalah Manaqib Syeikh
Abdul Qadir al Jilany.
Dalam pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang
terdapat dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya dengan khusu’
mendengarkan secara aktif dengan
memuji Allah dengan kalimat-kalimat yang terdapat dalam Asmaul Husna. Bagi yang
mengerti bacaannya dapat menye¬lami lebih dalam maksud dan
pelajaran-pelajaran dari isi
kitab tersebut. Sebab di dalamnya berisi perikehidupan, kebiasaan dan kelebihan-kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak
mengerti akan diterangkan oleh
gurunya.
Pembacaan manaqib ini mempengaruhi tingkat kerohanian para pengamal thareqah. Karena dengan membaca
manaqib diharapkan dapat
menda¬patkan limpahan kebaikan
dari Allah SWT (berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh Abdul
Qadir Al Jilani terdapat autobiographi (catatan perjalanan kehidupan) tentu saja di dalamnya terdapat sejarah, nasihat,
prilaku yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh Abdul Qoadir q.s.a
Pengertian dan
Manfaat Manaqib
Menurut kamus Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan
kata jama’ yang berasal dari kata Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal jalan
menuju gunung atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahuan tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul karimah.
Dari pengertian ini manaqib
dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatkan limpahan kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara
memahami kebaikan-kebaikan para
kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan para
wali sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuunallah wayubibbuhum).
Sebagaimana ditulis dalam
quran:
"Hai orang-orang
yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (Al Maidah (5):
54)
Ensiklopedi Islam
mengartikan manakib sebagai
sebuah sejarah dan pengalaman
spiritual seorang wali Allah SWT. yang di dalamnya terdapat
cerita-cerita, ikhtisar hikayat,
nasihat-nasihat serta
peristiwa-peristiwa ajaib yang
pernah dialami seorang syekh. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat atau para
pengagumnya dan dirangkum dari
cerita yang bersumber dari murid-muridnya, orang terdekatnya, keluarga dan sahabat-sahabatnya (Ensiklopedi Islam: 152).
Jadi, manakib adalah kitab sejarah atau autobiographi yang bersifat hagiografis (menyanjung) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan
teladan bagi pembacanya
disamping juga tujuan tabarruk (mengharap berkah) dan tawassul (membuat perantara pembaca dengan
Allah).
Manaqib adalah Tawasul
Mengenai masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi
menyampaikan bahwa tawassul dan
tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau dalam Ushul Fiqh disebut
dengan tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan bagian-bagian kecil (tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke dalam induk tersebut. Namun, al-Buthi dengan
tegas mengata¬kan bahwa tawassul
adalah tindakan sunnah dengan bukti banyaknya dalil nash hadits yang shahih.
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Ummu Salamah
bahwa beliau pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut tersebut beliau
simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah Nabi (Fiqh
al-Sirah:177-178).
Pada masa Rasulullah
saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana Rasulullah saw. pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui
Uways al Qarny r.a untuk memintakan
ampunan kepada Allah SWT. Karena uways ini menurut Nabi saw. akan menjadi salah
satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. .
bahwa Rasulullah saw. bercerita
dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu intinya adalah ada tiga orang
yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah batu besar menutupi mulut gua.
Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah agar batu bisa
tersingkir. Ketika satu demi
satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh masing-masing; orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah
memberikan susu kepada ibudanya
padahal anaknya sangat membutuhkan; “Aku lebih menguta¬makan ibu terlebih dahulu dari pada
anak-anakku meskipun anaku
merengek meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua
ini menghentikan niat hendak mau
menggauli sepupu perem¬puannya
padahal sudah memberikan uang
100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuan¬nya meminta menikahkannya, akhirnya membatal¬kan niat jahat tersebut. Sedangkan orang ketiga
memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak gaji pegawai. Ketika ditegur
“takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Karena merasa takut kepada Allah, setelah
sekian lama orang ini memberikan
ganti uang hak pegawai itu berupa peternakan lembu dan anak-anaknya yang telah berkembang biak yang modalnya diambil dari hak pekerja
tersebut. Dari ketiga wasilah orang tersebut Allah mengge¬rakkan batu besar yang menutupi gua sehingga mereka
bertiga bisa lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang
dapat mengantarkan kita kepada
Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan pertolongan terhadap derita seorang hamba karena tertimpa musibah
seperti derita tiga orang yang terjebak di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati Allah dengan cara mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: “.... dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah
kembalimu, maka
Ku-beritakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.”
Tafsir al Qurthuby mengartikan “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT)
yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan demikian maka mengikuti jalan
orang-orang sholeh apalagi para
ulama dan aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekha¬watiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Jadi dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah
meru¬pakan salah satu jalan
tempuh untuk memperoleh rakhmat
dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal,
memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifat wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk
diteladani.
Kalau Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup
setelahnya patut kita contoh.
Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany (Allah telah
mensuci¬kan sir nya) yang dikenal
dengan sultanul auliaa (Penghulu para wali).
Diantara para pembaca manakib ada yang mengamalkan pembacaan manaqib ini secara berkala mingguan,
bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendaki. Atau dalam moement-moment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir
anak atau acara walimahan. Tentu
saja harapannya adalah agar
memperoleh
keberkahan dalam kehidupan jasmani dan
rohani dunia wal akhirat. Jadi tunggu apalagi, makiban yuks! Wallahu ‘alam
(MK)
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan
ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini
bermanfaat.
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
Banyak pemahaman saudara-saudara kita muslimin yang perlu
diluruskan tentang tawassul,
tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih,
malaikat, atau orang-orang mukmin.
Tawassul kepada Rasulullah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64,
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika
Menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” Dalam ayat ini,
dijelaskan bahwa Allah SWT
mengampuni dosa-dosa orang yang
dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya)
Rasulullah SAW.
Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir, “Berkata Al-Imam
Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur
As-Shibagh dalam kitabnya
As-Syaamil dari Al-Ataby;
berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW. maka datanglah seorang Badui dan ia
berkata: Assalamu’alaika ya
Rasulullah! Saya telah mendengar Allah
berfirman;
Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri
mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul
memintakan ampun untuk mereka,
mereka pasti mendapatkan Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang ; dan saya telah datang kepadamu
(kekuburan
Rssulullah) dengan meminta ampun
akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian
ia membaca syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya
ketiduran dan melihat Rasulullah dalam
tidur saya, beliau bersabda, “Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi
sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya. ”
Tawassul merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul
saw., tak pula oleh Ijma Sahabat radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para
Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan
perantara, dan tak ada yang
menentangnya, apalagi
mengharamkannya, atau bahkan
memusyrikkan orang yang
mengamalkannya.Pengingkaran hanya muncul pada abad ke 20 ini, dengan
munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikkan orang-orang yang bertawassul, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw.,
sebagaimana hadits shahih dibawah ini
:
"Wahai Allah, Demi orang-orang yang berdoa kepada Mu, demi
orang-orang yang
bersemangat menuju
(keridhoan) Mu, dan Demi
langkah-langkahku ini kepada
(keridhoan) Mu, maka aku tak
keluar dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat
kerusuhan, tak pula keluarku ini
karena Riya atau sumah.. hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn
Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam
Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn Majah dengan sanad Shahih).
Hadits ini kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa
menuju masjid dan doa safar.
Tujuh Imam Muhaddits meriwayatkan hadits ini, bahwa Rasul saw. berdoa dengan
Tawassul kepada orang-orang yang
berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-orang yang bersemangat kepada keridhoan Allah, dan barulah
bertawassul kepada Amal shalih
beliau saw. (demi langkah2ku ini
kepada keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits?, Muhaddits adalah seorang ahli hadits yang sudah
hafal minimal 40.000 (empat puluh ribu) hadits beserta hukum sanad dan hukum
matannya, betapa jenius dan briliannya
mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw.,
sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum sanad
dan hukum matannya.
Lalu hadits diatas diriwayatkan oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat
madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan
orang-orang yang dianggap
muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits , dan
kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka hanyalah pencaci, apalagi
memusyrikkan
orang-orang yang beramal dengan
landasan hadits shahih. Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul
adalah sunnah Rasululloh saw.,
sebagaimana hadits yang
dikeluarkan oleh Abu Nu'aim,
Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda
dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu
disebutkan Rasul saw.
rebah/bersandar
dikuburnya dan berdoa : "Allah
Yang Menghidupkan dan
mematikan, dan Dia Maha Hidup
tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan
bimbinglah hujjah nya
(pertanyaan di kubur), dan
luaskanlah atasnya kuburnya,
Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu, Sungguh Engkau Maha Pengasih dari
semua pemilik sifat kasih sayang.",Maka jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa
Rasululloh saw.
bertawassul di kubur, kepada para Nabi
yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw. (Istri Abu Thalib).
Demikian pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa
meminta hujan kepada Allah : Wahai Allah.. kami telah
bertawassul dengan Nabi kami
(saw.) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman beliau (saw.) yang melihat beliau
(saw.), maka turunkanlah hujan".
maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama
pada Shahih Bukhari hadits no.3508).Umar bin Khattab ra melakukannya, para sahabat tak menentangnya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak
satupun mengharamkannya, apalagi
mengatakan musyrik bagi yang
mengamalkannya, hanyalah
pendapat sekte sesat ini yang memusyrikkan orang yang bertawassul, padahal Rasululloh saw. sendiri bertawassul.
Apakah mereka memusyrikkan Rasululloh saw.?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra
bertawassul, apakah mereka
memusyrikkan Umar?,
Naudzubillah dari pemahaman sesat
ini.
Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih
hidup, maka entah darimana pula mereka mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka
mengatakan bahwa orang yang
sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang
jelas-jelas datang dari
pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian
tauhid. Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat
terkecuali dengan izin Allah
SWT, lalu mereka mengatakan
bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati
mustahil?, lalu dimana kesucian
tauhid dalam keimanan mereka?Tak ada
perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan
izin Allah,
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan
mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan Allah SWT atas
orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan
orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari
manusia, tetapi dari Allah Robbil alamin, yang telah memilih orang tersebut
hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat ilahi atau membatasi kemampuan Allah,
karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau
mereka telah wafat.Contoh lebih
mudah nya sbb, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda
mendatangi seorang saudagar kaya, dan
kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang
selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin
mengemis pada saudagar itu, anda berkata : "Berilah saya tuan.. (atau) terimalah
lamaran saya tuan, saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan.
Bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati?, bagaimana
dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi
manfaat??,
jelas-jelas saudagar akan sangat
menghormati atau menerima
lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama
orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus
selama saudagar itu masih hidup., pun seandainya ia tak memberi,
Namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahmaan
Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni?? dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari
kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar,
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan
ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini
bermanfaat.
17. Hukum Maulid Nabi
Tradisi merayakan maulid Nabi SAW. 12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang
mengatakan 9 Rabiul Awwal, juga
ada yang mengatakan 17 Rabiul
Awwal) tidak hanya ada di Indonesia,
tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan awam di antara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka
yang sedikit mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara ini tidak termasuk
bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual
peribadatan dalam syariat.
Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang
sangat bervariasi tanpa ada
aturan yang baku. Semangatnya
justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit
membedakan antara ibadah dengan syi’ar
Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi ) yang datang dari Allah SWT, tetapi
syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan
situasional serta mubah. Perlu
dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi
mengatakan dalam
menananggapi hukum perayaan maulid
Nabi SAW., “Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW., yaitu manusia
berkumpul, membaca al-Qur’an dan
kisah-kisah teladan Nabi SAW.
sejak kelahirannya sampai
perjalanan hidupnya. Kemudian
dihidangkan makanan yang
dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang
dilakukan, tidak lebih. Semua
itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang
melakukannya diberi pahala
karena mengagungkan derajat Nabi
SAW., menampakkan suka cita dan
kegembiraan atas kelahiran Nabi
Muhamad saw. yang mulia .” (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h.
251-252)
Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaskan, “Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang
diada-adakan (dalam agama)
bertentangan dengan
Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW.,
prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun
sesuatu yang diada-adakan adalah
sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku
sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik). ” (Fathul
Bari, juz XVII: 10)
Membaca Sholawat
Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi
orang-orang NU, disamping
amalan-amalan lain. Ada shalawat
“Nariyah”, ada sholawat Badr,
ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib”
dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan
cita-cita kepada Rasulullah sekaligus
ibadah.
Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah sabda
Rasulullah, “Siapa membaca
shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10
derajat baginya. Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan
shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca shalawat
kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulkan 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di
dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat
memecahkan masalah dan
menghilangkan kesedihan . Demikian
seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah di alam
barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan
menjawabnya sesuai jawaban yang
terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits.
Rasulullah SAW. bersabda:
Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian
membicarakan dan juga
dibicarakan, amal-amal kalian
disampaikan kepadaku; jika saya tahu
amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada
Allah . (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat
‘ala an-Nabi). Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid
meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa
Rasulullah
memintakan ampun umatnya
(istighfar) di alam barzakh.
Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti
bermanfaat.
18. Dalil Membaca
dzikir dan syair sebelum pelaksanaan
shalat berjama'ah
Amalan ini adalah baik dan dianjurkan, dengan alasan.
1. Dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan
sesuatu yang dilarang oleh agama. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad, pada masa
Rasulullah SAW., para sahabat juga
membaca syair di Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika
Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang
melantunkan syair di masjid.
Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah
melantunkan syair di masjid yang
di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu
Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya.‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah saw., jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku
telah mendengarnya). ”
Mengomentari hadits ini, Syaikh
Isma’il az-Zain menjelaskan
adanya kebolehan melantunkan
syair yang berisi puji-pujian,
nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili
Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2. Dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar
agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk
menyebarkan ajaran Islam di
tengah masyarakat.
19. Berzikir dengan pengeras
suara
Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita
laksanakan setiap saat,
dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus
dilaksanakan dengan sepenuh
hati, jiwa yang tulus, dan khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan
hati yang khusyu' itu diperlukan
perjuangan yang tidak ringan,
masing-masing orang memiliki
cara tersendiri. Bisa jadi satu
orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat,
sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara
berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir
tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah
melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat.
Maksudnya, hukumnya sunnah
membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat
sendirian,
berjema’ah, imam yang tidak
bermaksud mengajarkannya dan
tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka. " (Fathul
Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan
membimbing jama’ah maka hukumnya
boleh mengeraskan suara dzikir dan
doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi saw. yang
menganjurkan untuk berdzikir
dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Contoh hadits yang
menganjurkan untuk
mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas
berikut ini, "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka
selesai melaksanakan shalat dan
hendak meninggalkan masjid. ” (HR
Bukhari dan Muslim). Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya berjalan bersama
Rasulullah
saw. lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid
yang sedang mengeraskan suaranya
untuk berdzikir. Saya berkata,
wahai Rasulullah mungkin dia
(melakukan itu) dalam keadaan
riya'. Rasulullah
saw. menjawab, "Tidak, tapi dia sedang mencari
ketenangan." Hadits lainnya
justru menjelaskan keutamaan
berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan
(sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana
menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
Imam Nawawi menkompromikan
(al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang
mensunnahkan
mengeraskan suara dzikir dan
hadist yang mensunnahkan
memelankan suara dzikir
tersebut, bahwa memelankan
dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan
mengeraskan dzikir lebih utama
jika lebih banyak mendatangkan
manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin
mendengar, dapat
mengingatkan hati orang yang
lalai, terus merenungkan dan
menghayati dzikir,
mengkonsentrasikan
pendengaran jama’ah,
menghilangkan ngantuk serta
menambah semangat." (Ruhul
Bayan, Juz III: h. 306).
20. Hukum
Meng-Hadiah-kan
Fatihah
Di antara tradisi umat Islam adalah membaca surat
al-Fatihah dan
menghadiahkan pahalanya untuk
Rasulullah
sallallahu alaihi
wasallam . Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah boleh.
Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali
mengatakan,
"Disunnahkan
menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada
Nabi saw.”
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa
perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua semua amal umatnya
otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia
bershalawat terhadap Nabi saw.
kemudian Allah memerintahkan
kita untuk bershalawat kepada
Nabi.
Al Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam
al-Matin, hhm. 270, mengatakan, "Menurut saya boleh saja seseorang
menghadiahkan bacaan Al-Qu'an
atau yang lain kepada baginda Nabi saw., meskipun beliau selalu
mendapatkan pahala semua
kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal
tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang .”
21. Hukum
Bacaan al-Qur’an, Doa
(Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati
Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan
Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak
sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut,
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS
An-Najm 53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW., “Jika anak Adam mati,
putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu
yang dimanfa’atkan, dan anak
yang sholeh yang mendo’akan
dia. ”
Mereka sepertinya,
hanya secara parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa
menghubungkan dengan
dalil-dalil lain. Sehingga
kesimpulan yang mereka ambil,
do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh
dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu
bertentangan dengan banyak ayat
dan hadits Rasulullah SAW.
beberapa di antaranya, “Dan
orang-orang yang datang setelah
mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah
saudara-saudara kami yang telah
mendahului kami dengan
beriman. ” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith
dijelaskan, “Bertanya
seorang laki-laki kepada Nabi saw.; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya,
seandainya saua
bersedekah untuknya?
Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk
ibumu. ” (HR Abu Dawud).
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm ayat 39 di atas
diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah
masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata,
“Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami,
kami yang menanggung siksaanmu di
akhera.t ” Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa
menanggung dosa orang lain, bagi
seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti
do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang
berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya
tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para
ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh
orang yang hidup.
Dr. Ahmad as-Syarbashi,
guru besar pada Universitas al-Azhar,
dalam kitabnya, Yas`aluunaka
fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut, “Sungguh para ahli
fiqh telah berargumentasi atas
kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia,
dengan hadist bahwa sesungguhnya
ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., seraya berkata: Wahai
Rasulullah,
sesungguhnya kami
bersedekah untuk keluarga kami
yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka;
apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka?
Rasulullah saw. bersabda:
Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan
sesungguhnya mereka itu
benar-benar
bergembira dengan kiriman pahala
tersebut, sebagaimana salah
seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut
dikirimkan
kepadanya!".
Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang
meninggal, hukumnya boleh
(mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah
yang terpuji dan dianjurkan.
Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang
dianjurkan oleh Islam yang
pahalanya dihadiahkan pada orang
telah meninggal. Dan lebih dari itu,
ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if
(menghormati tamu),
bersabar menghadapi musibah dan
tidak menampakkan rasa susah dan
gelisah kepada orang lain.
22. Tahlilan/Kenduri
Arwah, Mana dalilnya?
Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci
Al-Qur’an,
dzikir(Tasbih, tahmid, takbir,
tahlil, istighfar, dll),
Sholawat dan lain sebagainya yg
bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb (karena
keterbatasan ruang & waktu
maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan
disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama
ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak
menyetujui adanya acara tahlilan
diantaranya pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka
berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami ”
(QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka
memohonkan ampun
(istighfar) untuk
orang-orang beriman sebelum
mereka. Ini menunjukkan bahwa orang
yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit
dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar
Rasulullah SAW. – setelah
selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya,
sayangilah dia,
maafkanlah dia,
sehatkanlah dia,
muliakanlah tempat
tinggalnya,
luaskanlah
kuburannya,
mandikanlah dia dengan air es
dan air embun, bersihkanlah dari
segala kesalahan sebagaimana
kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari
tempat tinggalnya, keluarga yang
lebih baik dari keluarganya,
pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR
Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW. apabila
selesai menguburkan mayyit
beliau beridiri lalu bersabda:”
mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena
sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain
diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia
bertanya kepada Nabi SAW.:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW. menjawab,
“Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan
semoga Allah memberikan rahmat
kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya
meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW.
unntuk bertanya:” Wahai
Rasulullah SAW.
sesungguhnya ibuku telah
meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya
bersedekah untuknya
bermanfaat baginya ? Rasul saw.
menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku
sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW. bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang
kepada Nabi saw. dan bertanya:”
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk
hajji, namun belum terlaksana
sampai ia meninggal, apakah saya
melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai
hutang, apakah kamu membayarnya ?
bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR
Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah
bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya hutang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini
berdasarkan hadits Abu Qotadah
dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua
dinar. Ketika ia telah membayarnya
nabi saw. bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia
menghadiahkan kepada
saudaranya yang muslim, maka hal
itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan
membebaskan utang setelah
wafatnya.
Islam telah memberikan
penjelasan sampainya pahala
ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya
puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada
mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa
perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu
seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits
marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid
yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk
bershadaqah untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati
itu akan mendapat fitnah (ujian) di dalam alam kubur mereka tujuh hari. Maka
mereka (para sahabat) itu menganjurkan
untuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Terjadi fitnah kubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang
munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang
munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selama tujuh hari, sejak
dikuburkan tidak
memisahinya.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu
mengulangi
pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam
soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsuraiya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty
dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Tambahan:
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dalil Hadiah Pahala
Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah
Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah
pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian
muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini
sebelumnya termasuk orang yang
mengingkari sampainya pahala
dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari
orang-orang
kepercayaan tentang wasiat ibnu
umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa
beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada
nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan
tabiuttabi’in) pada berkumpul
disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah
meninggal, maka jadialah ia ijma
. (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh
syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar
menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan
akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu
adalah wasiat sedangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk
kepekuburan lalu membaca
qulhuwallahu ahad (surat al
ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiapa
melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian
menghadiahkan pahalanya kepada
orang-orang yang telah mati
(dipekuburan itu), maka ia akan diberi
pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar
Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Jika mati salah seorang dari
kamu, maka janganlah menahannya
dan segeralah membawanya ke
kubur dan bacakanlah Fatihatul
kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda:
“Bacakanlah surat yaasin untuk orang
yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke
pekuburan, maka bacalah
Fatihatul kitab, al-ikhlas, al
falaq dan an-nas dan jadikanlah
pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang
lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah,
sampaikanlah pahala ayat yang telah
aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara
sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya
sebagaimana sampainya pahala
puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya mayyit
itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan
seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal
hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada
hal. 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang
bertahlil,
bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada simayat muslim lantas
ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih,
takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus
serta baik.
Mengapa Wahhabi menolak dan menyesatkan amalan ini.
Di atas adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juz 24 hal.
324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan
menghadiahkan kepada si mayat
muslim lantas ibnu taimiah mengatakan
amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:
“sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah,
istighfar, berdoa untuknya dan
berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan
tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya
(yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid
I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam
kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata :
Menceritakan kepada kami Abbas
bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in,
menceritakan kepada kami
Mubassyar al-halabi,
menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin Ala’ bin
al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan
ucapkanlah bismillah dan baca
permulaan surat al-baqarah
disamping kepalaku karena seungguhnya
aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama :
“Mengabarkan kepadaku Hasan bin
Ahmad bin al-warraq,
menceritakan kepadaku Ali-Musa
Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku
bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit
dimakamkan, seorang lelaki kurus
duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah
bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin
Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang
tsiqah (terpercaya), apakah
engkau meriwayatkan sesuatu
darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari
Abdurahman bin a’la bin
al-laj-laj dari bapaknya bahwa
dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan
surat al-baqarah dan akhirnya
dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”.
Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya
diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim
al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir
: “ Tokoh-tokoh madzab hanafi
berpendapat bahwa tiap-tiap
orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain
demikian daripada macam-macam
kebaikan, boleh baginya menghadiahkan
pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka yang
meninggal, maka mereka
berbondong-bondong ke kuburnya
sambil membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu
qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf
dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya
makruh. Namun ulama-ulama
mutakhirin
berpendapat boleh dan dialah
yang diamalkan. Dengan demikian,
maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa
pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk
orang-orang yang sudah meninggak
hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut
jumhur fuqaha islam Ahlusunnah
wal-jamaah walaupun dengan
adanya imbalan berdasarkan pendapat
yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala
sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam
hal bacaan al-qur’an, doa dan
istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh
hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlussunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang
dihadiahkan untuk mayyit
(muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu
panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafii
Untuk menjelaskan hal
ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 :
“Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang
masyhur dari madzab Syafii dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam
ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafii berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah
si pembaca menghaturkan doa :
“Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini
untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj:
“Dalam Madzab syafii menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi
menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar
disampaikan pahala bacaan
tersebut. Dan seyogyanya
memantapkan pendapat ini karena dia
adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak
dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh
si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal
pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul
masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria
Al-anshari
mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19
:
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab syafii itu
dibawa atas pengertian : “Jika
alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala
bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman
al-jamal mengatakan dalam kitabnya
Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat
salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya,
2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni
memohonkan agar pahalanya
disampaikan
kepadanya, 3. Meniatkan
samapainya pahala bacaan itu
kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan
oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74
:
“Kesimpulan Bahwa
jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan
sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia
membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala
bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan
pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping
meniatkan untuk si mayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab
tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang
membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat atau
anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist
tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena
dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a
intifa’uhu (terputus
keadaannya untuk
memperoleh manfaat). Hadits
itu hanya mengatakan
“inqatha’a ‘amaluhu
(terputus amalnya)”. Adapun
amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalkan itu kepadanya maka
akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal
ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari
tanggungan hutang. Akan tetapi
bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya. Jadi
terbayarlah hutang itu bukan
oleh dia telah memperoleh manfaat
(intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan
kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah
memenuhi kewajibannya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang
diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap
digunakannya ayat tersebut
sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara
jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat,
melahirkan banyak anak, menikahi
beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah
orang-orang itu yang
menyayanginya.
Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri.
Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam
ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya
kemanfaatan dari
masing-masing kaum muslimin kepada
yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum
muslimin yang lain.
Dalam satu penjelasan
disebutkan bahwa Allah SWT
menjadikan iman sebagai sebab
untuk memperoleh
kemanfaatan dengan doa serta
usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman,
maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian
pahala ketaatan yang dihadiahkan
kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya
bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya
kemanfaatan untuk seseorang
dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan
“kepemilikan seseorang terhadap
usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak
akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahakannya. Jika dia mau,
maka dia boleh memberikannya
kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada
lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban
yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam
(umat Nabi Muhammad SAW.), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan
juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan
Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini
dikarenakan pangkal ayat tersebut
berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan
kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah
memenuhi kewajibannya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang
diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam
menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah
SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka
dimasukanlah anak ke dalam sorga
berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat
an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang
lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang
yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami
hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah
mengurangi
sedikitpun dari amal mereka.
Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya,
berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata :
“Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min
thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi
seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah
penafsiran dari surat An-jam
ayat 39. Banyaknya penafsiran
ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali
dalil-dalil baik dari al-qur’an
maupun hadits-hadits shahih yang
ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai
sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan
kesanggupannya. Baginya apa yang
dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada
kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah
tidak mengandung unsur hasr
(pembatasan). Oleh karena itu artinya
cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya
demikian ini, maka kandungannya
tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan :
“Seseorang akan
memperoleh harta dari
usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan
memperoleh harta dari pusaka
orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan
para sahabatnya. Lain halnya
kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya
mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka
kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena
pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi
sedikitpun dan seseorang tidak akan
diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa
yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan
diberikannya pahala terhadap
seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah
thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku
argumentasi Ulama
syafi’iyah terhadap tuduhan
bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman,
halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat
23. Hukum Membaca Al-Barzanji
Di Indonesia,
peringatan Maulid Nabi (orang
banjar menyebutnya
*Ba-Mulud’an*)
sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan, dan majelis
taklim bersiap memperingatinya dengan
beragam cara
dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni
akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga
ritual-ritual yang sarat
tradisi (lokal).
Di antara yang berbasis tradisi adalah:
*Manyanggar Banua,
Mapanretasi di Pagatan, Ba’Ayun
Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan
Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya.
Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab
al-Barzanji. Membaca Barzanji
seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap peringatan Maulid Nabi. Pembacaannya
dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang
mengaturnya.
Al-Barzanji adalah karya
tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya dari masa kanak-kanak
hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang
dimilikinya, serta berbagai peristiwa
untuk dijadikan teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam perkembangannya, nama
pengarangnyalah yang lebih masyhur
disebut, yaitu Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad
al-Barzanji. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang
orientalis dari
Universitas
Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
saw. *(INIS, 1994).
Menurutnya, Maulid Nabi pada
mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar
keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaannya.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin
pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperingati karena
dinilai *bid’ah *(mengada-ada
dalam beribadah).
Di Indonesia, tradisi
Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada
peringatan Maulid Nabi, namun
kerap diselenggarakan pula pada
tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut,
pernikahan, syukuran, dan
upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji,
terdapat pula kitab-kitab
sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual-Durar, karya
al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah, karya
al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahman al-Diba’iy.
Inovasi Baru
Esensi Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai
satu-satunya idola teladan yang
seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari
idealisme,
kristalisasi dari berbagai
falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di
bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya Kitab al-Barzanji merupakan
salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial itu, yakni ‘menghidupkan’
tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalahannya sekarang,
sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah al-Barzanji sehingga
menjadikannya
inspirator dan motivator
keteladanan? Barangkali, bagi kalangan
santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari
al-Barzanji, yaitu kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman mereka semakin komprehensif.
Bagaimana dengan masyarakat
awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu. Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya.
Akibatnya, penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang
tersakralkan.
Barangkali, kita perlu
berinovasi agar
pesan-pesan profetik di balik bait al-Barzanji menjadi
tersampaikan kepada pelakunya
(terutama masyarakat awam) secara utuh menyeluruh.
Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa
al-Barzanji ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga mempertimbangkan
kesiapan masyarakat menerima inovasi
baru terhadap aktivitas yang kadung tersakralkan itu.
Inovasi dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan menekankan aspek keteladan. Dilakukan
secara gradual pasca-membaca dan
melantunkan syair al-Barzanji. Atau
mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti dipertunjukkan W.S.
Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor, Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan,
semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang
penting) juga mampu menggerakkan
pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik
sebagaimana Nabi. Dan semoga, Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana Shalahuddin Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang
dalam pertempuran.
Garis Keturunan Syekh al-Barzanji :
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul
ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain
ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz
ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq
ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn
Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina
Fatimah binti Rasulullah saw.
Dinamakan Al-Barjanzy
karena dinisbahkan kepada nama
desa pengarang yang terletak di Barjanziyah kawasan Akrad (kurdistan). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd
al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya
kalung permata) sebagian ulama menyatakan bahwa nama karangannya adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid
anNabiyyil Azhar”. yang disusun
untuk meningkatkan kecintaan
kepada Nabi Muhammad saw., meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama
penulisnya.
Beliau dilahirkan di
Madinah Al Munawwarah pada hari
Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1960 M) (1766 beliau menghafal
Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran
(mujawwad) kepada syaikh Yusuf
Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada
ulama-ulama masjid nabawi
Madinah Al Munawwarah dan
tokoh-tokoh qabilah daerah
Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh,
Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu
mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu
dipelajari selama beliau ikut
duduk belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan ketika umurnya mencapai 31
tahun atau bertepatan 1159 H barulah
beliau menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanji” ini telah disyarahkan oleh al-’Allaamah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal
dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang
memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid
al-Barzanji” yang telah banyak kali
diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara
yang masyhur mensyarahkannya
ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala
Mawlid al-Barzanji”. Beliau ini
adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan
menjalankan Thoriqah
asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada
tahun 1217H (1802M) dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal
sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak
karangannya, yaitu Sayyidul
‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi
al-Bantani al-Jawi turut menulis
syarah yang lathifah bagi “Mawlid al-Barzanji” dan karangannya itu dinamakannya “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid
Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain
yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, telah juga menulis syarah bagi “Mawlid
al-Barzanji” tersebut yang
dinamakannya
“al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar
fi Mawlidin Nabiyil Azhar”.
Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar
asy-Syarif. Beliau juga
merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il
Ramadhan”,
“Mashaabiihul Ghurar ‘ala
Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”.
Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far
al-Barzanji dalam kitabnya
“ar-Raudhul A’thar fi Manaqib
as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga
menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia
tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi
juga dengan kekeramatan dan
kemakbulan doanya. Penduduk
Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada
musim-musim kemarau.
Diceritakan bahawa satu ketika
di musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta beliau
beristisqa` memohon hujan. Maka
dalam khutbahnya itu beliau pun
berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun
dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi
s.a.w. dahulu. Menyaksikan
peristiwa tersebut, maka sebahagian
ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang
berbunyi:-
سقى الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanji
wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau
dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w.
Karangannya membawa umat
ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w.,
membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali
karangannya dibaca, pasti
sholawat dan salam dilantunkan
buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang
telah berjasa menyebarkan keharuman
pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu …
Allah.
اللهم اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu
hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama
muqarrabin
berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahannya
Segala kekurangan dan
kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap
dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarnya
و صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah:
Penghormatan terhadap Nabi SAW.
dalam Islam (1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel,
menerangkan bahwa teks asli
karangan Ja’far al-Barzanji,
dalam bahasa Arab, sebetulnya
berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi
untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan
Afrika, tak terkecuali
Indonesia. Tidak
tertinggal oleh umat Islam
penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun
dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil
terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad
Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum
sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita
sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW.
Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian
“Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan
mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW., mulai dari saat-saat
menjelang paduka dilahirkan
hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian.
Sementara, bagian “Nadhom” terdiri
atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir
“nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya
keterpukauan sang penyair oleh
sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain
diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan:
Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idiom
yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti
matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga
melahirkan sejumlah besar
metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya,
dilukiskan sebagai “untaian
mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya Ja’far
al-Barzanji pun, ada
bagian-bagian
deskriptif yang mungkin
terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaimana yang diterjemahkan oleh HAA Dahlan, kita
mendapatkan lukisan demikian:
Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang
fasih.
Betapapun, kita dapat
melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari
perspektif penyair.
Pokok-pokok
tuturannya sendiri, terutama
menyangkut riwayat Sang Nabi,
terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian
mencurahkan kembali rincian kejadian
dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga
pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak
berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala
potensinya, karya ini kiranya
telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri
menghormati sosok dan
perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya
mancung,jenggotnya yang
tebal,Mempunyai akhlak yang
terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah,
wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan
bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikasi mengajarkan ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW.
sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota madinah
Munawwarah.
“Al-’Allaamah
al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid
Ja’far bin Hasan al-Barzanji
adalah MUFTI ASY-SYAFI`IYYAH di
Kota Madinah al-Munawwarah.
Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal
pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana
Imam az-Zubaidi pernah berjumpa
dengan beliau dan menghadiri
majelis pengajiannya di Masjid Nabawi
yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan
paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di
Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang
menghafalnya dan mereka
membacanya dalam
waktu-waktu tertentu.
Kandungannya merupakan
khulaashah
(ringkasan) sirah
nabawiyyah yang meliputi kisah
lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak,
peperangan sehingga kewafatan
baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun
1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga
Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah disyarah
(dijelaskan) oleh
ulama-ulama besar seperti Syaikh
Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl
al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad
Nawawi al-Bantani al-Jawi
“Madaarijush Shu`uud ila
Iktisaa-il Buruud”.