Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

1919. HUKUM TERKAIT PENGGUGURAN SHALAT

oleh Hakam Ahmed ElChudrie
Ketahuilah, sesungguhnya menggugurkan shalat adalah diperbolehkan seperti yang telah dijelaskan oleh para fuqaha’ kita. Allah ta’ala berfirman,
وَ عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
“Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. al-Baqarah, 184)
Fidyah shalat telah tetap dengan petunjuk nash, karena shalat itu lebih penting dari puasa, dan fidyahnya tiap-tiap shalat adalah seperti fidyahnya puasa. Shalat witir adalah shalat tersendiri.
Jadi, shalat sehari semalam ada enam. Ketika enam dikalikan dengan harinya tahun syamsiyyah (365 hari), maka hasilnya adalah 2190 shalat. Fidyahnya satu shalat adalah sebesar zakat fitrah, yaitu satu sha’ kurma atau syair dan setengah sha’ dari hinthah.
Seandainya apa yang telah diwasiatkan dari kewajiban mayit tidak mencukupi, maka perkara itu diserahkan kepada orang fakir sehingga perkara itu bisa menggugurkan dari mayit dengan kadar pemberian itu. Lalu si fakir menyerahkannya kepada wali dan wali itu menerimanya kemudian menyerahkannya kembali kepada fakir sehingga perkara itu menggugurkan shalatnya mayit dengan kadarnya. Lalu fakir menyerahkannya kembali kepada wali dan wali menerimanya kemudian menyerahkannya kepada fakir lagi dan seperti itu seterusnya hingga semua kewajiban mayit yang menjadi tanggungannya menjadi habis, yaitu dari puasa dan shalat.
Syeikhul Masyayih Abu Mas’ud al-Sayyid Mahmud Syah berkata dalam Wajiz al-Shirath, “Masing-masing dari wali dan fakir berkata kepada yang lainnya, “Aku hibbahkan harta ini untuk menggugurkan apa yang menjadi tanggungan mayit ini, yaitu dari shalat, puasa dan lainnya.”
Al-Allamah al-Syami berkata dalam Hasyiyah al-Durr al-Mukhtar dalam bab zakat fitrah, (“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama’ mazhab Hanafi berkata, bahwa satu sha’ adalah tempat yang bisa menampung delapan ratl dari kacang adas dan kacang masy, dan tidak bisa menampung delapan ratl (: kati) dari hinthah, karena hinthah lebih berat dari keduanya. Satu ratl adalah separuh mann, dan satu mann bila ditakar kedalam dirham adalah dua ratus enam puluh dirham, dan kedalam itsar adalah empat puluh.
Satu itsar diubah kedalam ukuran dirham adalah enam setengah, dan dengan ukuran mitsqal adalah empat setengah. Mud dan Mann adalah sama, masing-masing adalah seperempat sha’ kati, seratus tiga puluh dirham syara’. Satu sha’ adalah seribu empat puluh dirham syara’ dan satu dirham syara’ adalah empat belas qirath dan satu qirath adalah lima biji syair”).
Dalam al-Anwar li A’mal al-Abrar, fiqih mazhab Syafi’i, pengarang berkata, (“Satu sha’ dengan timbangan adalah enam ratus sembilan puluh empat dirham, dan zakat fitrah dari semua makanan pokok adalah satu sha’ dan kadar fidyah adalah satu mudd”).
[Al-Faqir Husein Hilmi bin Said al-Astanbuli telah mencoba dan melihat bahwa lima biji syair adalah dua puluh empat centi gram. Satu dirham syar’i menurut mazhab Hanafi adalah tiga gram dan tiga puluh enam centi gram. Setengah sha’ adalah 1750 gram. Jadi, fidyahnya shalat setahun menurut mazhab Hanafi adalah 3833 kilo gram khinthah].
Dalam bab Qadla’ al-Fawait dijelaskan, “Seandai-nya ada orang mati dan dia punya tanggungan shalat dan puasa, dan dia berwasiat untuk menebusnya, maka walinya membeli hinthah itu atau harganya yang berupa emas yang sudah dicetak atau perhiasan dari sepertiga hartanya mayit. Lalu umur mayit dihitung setelah menggugurkan 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan, karena perempuan lebih sedikit masa balighnya atau lebih cepat.
Kemudian wali menyerahkannya kepada orang fakir lalu dia meminta supaya barang itu dihadiahkan kepadanya (: wali) dan fakir menyerahkannya kepada wali supaya penghibahan itu menjadi sempurna. Lalu wali menyerahkannya lagi kepada fakir itu atau kepada fakir yang lain, sehingga disetiap sekali pemberian kepada fakir akan menjadi kafarat setahun.
Dalam kafarat sumpah harus diserahkan kepada sepuluh orang miskin dan tidak sah memberikannya kepada seorang lebih dari satu sha’ atau harganya (dari emas) dalam sehari. Berbeda dengan fidyahnya shalat dan puasa, karena diperbolehkan memberikan fidyahnya shalat dan puasa kepada satu orang saja. Kemudian sebaiknya setelah sempurna pengguguran itu supaya wali bersedekah kepada para fakir dengan sesuatu dari harta itu.
Wajib atas wali untuk melakukannya dengan sesuatu dari sepertiga harta mayit, jika dia berwasiat, dan jika dia tidak berwasiat maka tidak wajib atas wali. Seandainya mayit tidak meninggalkan harta atau harta yang diwasiat-kan tidak mencukupi atau tidak berwasiat sama sekali dan ahli waris ingin bertabarru’, maka sudah bisa mencukupi, dia menghutang emas dan melakukan perputaran seperti di atas, tapi itu tidaklah wajib atas ahli waris. Seandainya selain ahli waris bertabarru’, maka juga bisa mencukupi. (Imdad).
Ahmad bin Muhammad Isma’il al-Thahthawi berkata dalam Syarah al-Durr al-Mukhtar, “Apa yang telah dilakukan dizaman sekarang ini, yaitu dari memutarkan kafarat diantara orang-orang yang hadir dan masing-masing berkata kepada yang lainnya, “Aku hibbahkan dirham atau mitsqal ini untuk menggugurkan tanggungan Fulan dari shalat dan puasa,” dan yang lainnya menerimanya adalah shahih.”
Al-Faqih Imamul Huda Abu al-Laits al-Samarqandi berkata, “Telah bercerita kepadaku Al Abbas bin Sufyan dari Ibnu ‘Aliyyah dari Ibnu ‘Aun dari Muhammad dari Abdullah, dia berkata, “Umar berkata: “Wahai orang-orang mukmin, jadikanlah al-Qur’an sebagai wasilah untuk keselamatan orang-orang yang sudah meninggal, maka berkumpullah dan berdo’alah, Ya Allah, ampunilah mayit ini dengan kemuliaan al-Qur’an.”
Dan dari Ibnu Umar ra dari Nabi SAW, beliau bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرِ رِمَضَانَ فَلْيُطْعِمْ مَكَانَ كُلِّ يَومٍ مِسْكِيْناً
Artinya : “Barang siapa meninggal dan dia punya tanggungan puasa bulan ramadlan, maka berilah makan sebagai ganti setiap satu hari (yang dia tinggalkan) satu orang miskin.”
Dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
لاَ يَصُومُ اَحَدٌ عَنْ اَحَدٍ وَ لاَ يُصَلِّي عَنْ اَحَدٍ وَ لَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ
Artinya : “Seorang tidak boleh berpuasa sebagai ganti orang lain dan tidak boleh shalat sebagai ganti orang lain, tetapi dia memberi makan sebagai gantinya.” (HR. al-Nasa’i, al-‘Aini, Majmu’ah Rasail al-Syami, Majma’ al-Anhar Shaum hal 242, al-Sunan al-Kubro, Jawahir al-Niqa’ juz 4, al-Zaila’i hal 492 dan al-Dirayah hal 177).
Syair, “Seandainya kamu tidak tahu, maka itu adalah suatu musibah // dan seandainya kamu sudah tahu maka musibahnya akan semakin besar.”
Jika shalat yang menjadi tanggungan mayit terlalu banyak dan hinthah yang dimilki sedikit, maka wali memberikan tiga sha’ sebagai ganti dari shalat sehari semalam beserta witir kepada orang fakir lalu fakir itu menyerahkannya kepada ahli waris kemudian ahli waris memberikannya kepada fakir lalu fakir memberikannya kepada ahli waris, itu dilakukan berkali-kali hingga shalat dan semisalnya terpenuhi semua.” (Kabair Fawait hal 583 dan Jauhar al-Nafis).
Seandainya harta ahli waris tidak mencukupi, maka dia meminta hibbah dari orang lain atau meminta pinjaman untuk dia serahkan kepada orang fakir lalu dia meminta dihibbahkannya harta itu dari fakir dan seperti itu seterusnya hingga menjadi sempurna apa yang dia maksud. (Majma’ Rasail al-Syami, Minnah al-Jalil juz 1 hal 312).
Seandainya wali bertabarru’ (: beramal karena Allah dengan inisiatif sendiri) dengannya maka diperbolehkan. (al-Fatawi al-Hujjah karangan Qadlikhan, al-Dlidyah, Kubairi, al-Maraqi, al-Thahthawi, al-Lubab, al-Jauharah Shaum hal 436, al-Fatih Shaum hal 78 dan ‘Aini al-Hidayah Shaum).
[Dalam Risalah (Naf’ul al-Anam fi Isqath al-Shalat wal Shiyam) pengarang berkata, “Al-Bajuri (: Ibrahim al-Bajuri, salah satu guru al-Azhar) berkata, “Barang siapa meninggal dan dia punya tanggungan shalat atau i’tikaf, maka orang lain tidak diperbolehkan untuk melakukannya sebagai ganti dari dia bahkan tidak ada fidyah baginya menurut qaul mu’tamad bagi kita, dan dia yang mengatakan dia (mayit) di fidyahi untuk setiap shalatnya satu mud dan tidak apa-apa bertaklid dengan pendapat itu. Seandainya dia bertaklid kepada mazhab Hanafi dalam masalah pengguguran shalat yang telah masyhur maka akan lebih baik.”]

[ DIKUTIP DARI KITAB DLIYA' AL-SHUDUR KARANGAN DZAHIR SYAH MIYAN AL-MADANI AL-HANAFI AL-QADIRI AL-MAYAJUKHILII ]