Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

F0026. KHILAFIYYAH BASMALLAH

Salah satu hukum fiqh yang sering di perdebatkan tanpa faidah adalah hukum membaca basmalah saat membaca surat al-Fatihah baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Sebagian dari saudara kita ada yang senang memperdalam wilayah khilafiyyah dan nafsu tampil beda, tanpa sadar ternyata hal tersebut menjadi penyebab perpecahan umat Islam.
Kerap kali kali kita mendengar ucapan sebagian orang "Jika shalat pakai basmalah itu pasti orang NU dan jika tanpa basmalah pasti orang Muhammadiyyah dll". Inilah salah satu ucapan yang menurut kami, menjadi biang keladi ketidak harmonisan umat Islam di tanah air. Hal itu muncul akibat kebodohan mereka dalam memahami fiqh Islam secara mendalam sehingga yang muncul adalah syahwat tampil beda lantaran ego dan fanatik buta. Klimaksnya, umat Islam menjadi terkotak-kotak akibat korban beda pandangan serta nafsu tidak dapat menghargai satu sama lain.
Syaikh Hasan Yamani berkata, "Sungguh seorang pencari ilmu ketika ilmu fiqh dan pandangannya tentang madzhab-madzhab bertambah, maka akan sedikit pengingkarannya terhadap masyarakat"
Hadits mengenai membaca basmalah saat membaca surat al-Fatihah mempunyai riwayat yang berbeda-beda. Secara kesimpulan dapat di klasifikasikan menjadi 3 yaitu :
1.Riwayat Muslim dari Anas bahwa Rasulallah, Abu Bakar dan Umar dalam shalatnya tidak menyebut basmalah baik di awal atau akhir bacaan.
2.Riwayat Ahmad, an-Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah bahwa Rasulallah, Abu Bakar dan Umar tidak mengeraskan membaca basmalah (lirih).
3.Riwayat an-Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah dari Nu'aim al-Mujmir bahwa Abu Hurairah (hadits mauquf) dalam shalatnya membaca basmalah sebelum membaca surat al-Fatihah. Begitu juga riwayat ad-Daraqathni dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah memerintahkan membaca basmalah saat membaca surat al-Fatihah .
Dari hadits-hadits di atas, khilafiyyah antar madzhab-madzhab Islam tidak dapat dihindarkan.
Menurut madzhab Malik, al-Auza'i dan Abu Hanifah, basmalah tidak termasuk dari bagian ayat surat al-Fatihah maupun surat yang lain. Menurut madzhab asy-Syafi'i dan sejumlah ulama, basmalah termasuk bagian ayat surat al-Fatihah dan surat-surat lain.
Sedangkan dalam lingkungan madzhab Ahmad, masih terjadi silang pendapat, dan pendapat masyhur di kalangan madzhab tersebut, basmalah tidak termasuk bagian ayat surat al-Fatihah . Dan tentu semua mempunyai argumen masing-masing.
Adapun hukum membacanya, madzhab Hanafi dan madzhab Hanbali mensyariatkan membacanya dengan lirih baik dalam shalat jahriyyah (Maghrib, Isya' dan Shubuh) atau sirriyyah (Zhuhur dan Ashar ).
Madzhab asy-Syafi'i mensyariatkan membacanya lirih saat dalam shalat sirriyyah dan membacanya keras saat dalam shalat jahriyyah. Sedangkan menurut madzhab Maliki, terjadi silang pendapat, sebagian mengatakan makruh membacanya dengan keras dan membacanya lirih di kalangan madzhab tersebut juga terjadi silang pendapat .
Menurut madzhab Maliki sendiri, membaca basmalah dalam shalat hukumnya bisa sunat apabila ada tujuan menjaga khilafiyyah ulama, sebagaimana di jelaskan oleh mayoritas ulama bahwa menjaga khilafiyyah adalah di syariatkan.
Dalam tafsir Zad al-Masir, Ibnul Jauzi mengatakan bahwa membaca keras basmalah yang menurut Syafi'iyyah di sunatkan adalah riwayat dari Mu'awiyyah, Atha' dan Thawus.
Lalu bagaimana dengan hukum sholat bagi pengikut madzhab asy-Syafi'i yang berma'mum dengan pengikut madzhab Hanafi yang tidak membaca basmalah? Menurut ulama-ulama fiqh, sebagaimana dalam kitab-kitabnya, masih terjadi perbedaan pendapat. Pendapat mayoritas ulama menilai tidak sah jama'ahnya, sedangkan pendapat lain mengatakan sah. Dan pendapat yang terakhir tersebut baik untuk di ikuti demi menjaga persatuan umat Islam yang kian hari semakin surut dan luntur.

Sah makmum dengan orang yang berbeda madzhab jika makmum mengetahui imam melakukan apa-apa yang wajib menurut makmum; demikian pula jika makmum tidak mengetahui. Jika imam yang berbeda tadi melakukan kesalahan dengan perkara yang wajib menurut aqidahnya makmum, maka tidak sah bermakmum dengannya menurut pendapat Syaikhain (Imam Nawawi dan Imam Rafi'i), dan hukumnya sah menurut Imam Qaffal. Imam Subki berkata: Pendapat yang dishahihkan oleh Syaikhain adalah pendapat mayoritas, akan tetapi pendapat Imam Qaffal lebih mendekati dalil dan perbuatan ulama salaf ". [ Kitab Ghoyatu Talkhisil Murad min Fatawa Ibni Ziyad, Hamisy Bughyatul Mustarsyidin halaman 99 ].