Bismillahirrohmaanirrohiim
Download Aplikasi persembahan PISS-KTB dan Islamuna 👉 Download!

0165. KHILAFIYAH HUKUM SHALAT JAMA'AH

Oleh Koes Safi'i
Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing.
1. Pendapat Pertama : Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa : Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah : Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya." (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah SAW, `Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi imam.(HR Muslim 292 - 674).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Al-Khatthabi dalam kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.
2. Pendapat Kedua : Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah halaman 50).
Dalilnya adalah hadits berikut : Dari Aisyah ra berkata, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya. (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
3. Pendapat Ketiga : Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah. (lihat Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah halaman 83). Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu As-Shaghir jilid 1 halaman 244 berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini : Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini : Dari Abi Musa ra berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda, `Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. (lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat : Syarat Syahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatnya (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah (lihat Al-Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah : Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAw bersaba, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al-Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata, "Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah SAW berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah SAW memanggilnya dan bertanya, `Apakah kamu dengar azan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah SAW. (HR Muslim 1/452).

Ibarot :
[النووي ,روضة الطالبين وعمدة المفتين ,1/339]
اعْلَمْ أَنَّ أَرْكَانَ الصَّلَاةِ وَشُرُوطِهَا، لَا تَخْتَلِفُ بِالْجَمَاعَةِ وَالِانْفِرَادِ، لَكِنَّ الْجَمَاعَةَ أَفْضَلُ. فَالْجَمَاعَةُ فَرْضُ عَيْنٍ فِي الْجُمُعَةِ، وَأَمَّا فِي غَيْرِهَا مِنَ الْمَكْتُوبَاتِ، فَفِيهَا أَوْجُهٌ. الْأَصَحُّ: أَنَّهَا فَرْضُ كِفَايَةٍ. وَالثَّانِي: سُنَّةٌ. وَالثَّالِثُ: فَرْضُ عَيْنٍ قَالَهُ مِنْ أَصْحَابِنَا، ابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ خُزَيْمَةَ. وَقِيلَ: إِنَّهُ قَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ.

[الكاساني ,بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع ,1/155]
وَذَكَرَ الْكَرْخِيُّ أَنَّهَا سُنَّةٌ، (وَاحْتَجَّ) بِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ: «صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلَاةِ الْفَرْدِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، وَفِي رِوَايَةٍ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً» ، جَعَلَ الْجَمَاعَةَ لِإِحْرَازِ الْفَضِيلَةِ وَذَا آيَةُ السُّنَنِ.